“Kita harus optimis lik, guwa paham resikonya seperti apa, tetapi harus kita coba. Bismillah,” jawab bang Ricko kembali.
Mereka berdua berjalan menghampiri kami yang sudah dibariskan dengan rapih oleh fajar. Malik memberi tahukan kepada semua nya tentang tugas dan peran kami semua dalam upacara bendera senin depan, aku diberi tugas sebagai pengibar bendera.
Latihan persiapan upacara bendera diawali dengan baris berbaris, lalu aku melakukan Langkah untuk menuju tiang bendera. Fajar mengingatkan ku berkali kali tentang posisi ikatan bendera agar bendera tidak terbalik, aku grogi, tanganku berkeringat namun aku terus fokus agar tidak sampai terjadi insiden terbaliknya bendera.
Setiap hari, kami berlatih selepas sholat Asar, mengulang ulang apa yang telah dilakukan mulai dari hari pertama kami berlatih. Di hari Sabtu dan Minggu pun kami berlatih, walau setiap hari kami berlatih, tetap rasa cemas dan grogiku pun masih tetap ada dan semakin kuat menuju hari Senin.
***
Hari itu pun tiba, Senin dimana upacara bendera setiap minggunya diadakan. Setiap hari Senin, aku selalu tidak perduli dan kadang datang pas waktu, kali ini aku datang satu jam lebih dulu, perasaanku campur aduk, tetapi aku terus mencoba menenangkan diri agar tugas ini dapat kulakukan dengan baik. Senin itu aku bangun lebih pagi dari pada hari Senin – senin yang lain, menjadi petugas upacara bendera membuatku tidak bisa tenang. Ketidak tenanganku ternyata merupakan firasat, upacara bendera pada hari senin itu menjadi upacara bendera yang tidak dapat dilupakan oleh diriku, bang Ricko bahkan satu sekolah.
Bersambung…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H