Bulan sabit memerah. Pucat serupa sabit berdarah, mengental. Bergerak perlahan. Sangat pelan menyapa penghuni mayapada.
Jam dinding kuno berdetak sebelas kali, sinar bulan sabit meredup. Awan-awan nan gelap menutupi, beriringan. Kegelapan menyelimuti rimbun pepohonan, ranting-ranting, dan dedaunan. Merupa makhluk-makhluk semu yang seakan bermunculan.Â
Sebuah rumah besar dan kuno. Seakan enggan mengantuk. Masih tegar menunggu keganjilan yang dijanjikan.
Di beranda, seorang perempuan tua tengah memangku bayi. Punggungnya yang setengah bungkuk, betah bersandar di tiang beton yang mulai kusam.
"Andaikan saja...." Gumam perempuan tua.
Mata keringnya sedikit berkaca-kaca. Tak sanggup meneruskan keluh-kesah. Hanya memandang bulan sabit yang kembali menyembul dan semakin memerah.
****
"Andaikan kenapa, Mbok?"
Mbok Sum menoleh ke samping kanan. Dilihatnya sosok perempuan muda. Perempuan semampai berbalut kain putih. Kain yang menutupi tubuhnya dari pundak hingga ujung kaki.
"Kau kah, Surti?"
"Ya, Mbok."
Sosok semampai. Mata memerah dan bibir memucat. Kulit wajah nan seputih kapas, perlahan tersenyum. Berubah cantik mempesona.
"Mbok. Kok diam saja?"
Hening. Mbok Sum kembali memandang bulan sabit. Bibirnya masih terkunci. Entah apa yang dipikirkannya.
"Surti." Suara Mbok Sum memecah keheningan.
"Kudengar, Bu Broto meninggal dunia"
Surti menunduk, terdiam. Tidak ada sedikitpun suara ke luar dari bibirnya. Hanya hembusan angin tipis terasa semakin pengap. Tangan Surti bergerak perlahan mengambil bayi di pangkuan Mbok Sum. Menimang-nimang dengan lembut. Lalu duduk di samping Mbok Sum.
"Menurut warga, Bu Broto meninggal tidak wajar. Jantungnya hilang seakan dicabut paksa dan darah berceceran di kamarnya."
Surti kembali menunduk. Wajahnya yang tertutup rambut terjurai terlihat berguncang.
"Wajah Bu Broto seperti orang yang sangat ketakutan dan kesakitan. Biji matanya seakan ingin lepas."
"Mbok tahu dari siapa?" Tanya Surti perlahan sembari menatap bulan sabit.
Mbok Sum terdiam dan menatap Surti yang kembali menunduk.
"Priyo. Waktu kemarin memetik kopi di kebun belakang. Masih menurut Priyo, tubuh Bu Broto ditemukan tertancap mata tombak. Tepat di bawah jantungnya."
Mbok Sum menatap tajam Surti yang masih menunduk.
"Surti. Ada yang ingin kau sampaikan?"
"Tidak ada, Mbok." Jawab Surti singkat dan kembali mulutnya terkunci rapat.
Mbok Sum ikut terdiam. Masih lekat di ingatan wanita tua itu, bagaimana Surti dulu mati, sehari setelah melahirkan.
Di rumah ini pula, Mbok Sum menyaksikan Surti meregang nyawa dengan perut semakin membuncit. Membesar tidak wajar seakan ingin meletus. Hingga orang-orang bergunjing, matinya Surti karena santet.
****
Surti. Sosok gadis bersahaja. Tinggi semampai. Bunga desa nan cantik jelita. Banyak laki-laki yang berusaha merebut hatinya. Termasuk Hendra, anak Bu Broto.
Hanya seorang pemuda yang mampu meluluhkan hati Surti. Gibran, pemuda desa sebelah. Teman SMA Surti. Pemuda yang sukses merantau ke Jakarta.
Setelah menikah, Gibran memboyong Surti ke Jakarta. Sewaktu Surti hamil dan hampir melahirkan, Surti minta pulang ke desa.
Rupanya, Hendra masih menaruh dendam. Terutama Bu Broto, juragan kopi yang ketus dan pendendam. Bahkan bukan rahasia lagi, Bu Broto akan membalas sakit hati Hendra dengan cara apapun, kepada Surti dan Gibran.
Ancaman dari Hendra dan Bu Broto, mendorong Gibran memboyong Surti ke Jakarta. Kematian Surti yang tidak wajar menjadi gunjingan warga, bahwa sebenarnya Bu Broto telah menyantet Surti. Sehari setelah melahirkan.
Gibran, terlambat datang dari Jakarta. Kematian Surti yang tragis, betul-betul memukul batinnya. Hingga menimbulkan dendam nyawa dibalas nyawa. Namun, dendam Gibran tidak pernah terlaksana, sebab Gibran dibunuh orang suruhan Hendra.
***
Kedua perempuan kembali mematung cukup lama. Sesekali memandangi bulan sabit yang masih memerah.
"Apakah Mbok kecewa kepadaku?" Tanya Surti. Kembali memecah keheningan.
"Benarkah engkau yang membunuh Bu Broto, anakku?"
Kali ini Mbok Sum bertanya dengan suara lirih. Seakan berbisik. Mata teduh Surti yang seakan pasrah menatap Mbok Sum, dan mengangguk pelan. Â
"Apakah Mbok kecewa dan membenciku?"
"Tidak! Anakku. Aku sangat bersyukur. Semoga perempuan laknat itu mengerak di neraka!"
Surti terdiam sesaat dan segera berdiri. Berkali-kali diciumnya bayi yang digendongnya, lantas diserahkannya kembali ke Mbok Sum.
"Mbok, izinkan aku pergi. Seandainya tak pernah kembali lagi, maafkan Surti."
Mbok Sum tak menjawab. Seakan sudah paham dengan makna perkataan Surti. Hanya sedikit air bening di matanya yang tersisa sebagai jawaban yang tak pernah terucapkan. Selamanya.
***
Pagi hari, kehebohan terjadi. Hendra ditemukan tergantung dengan leher terjerat tali tampar di pohon beringin besar, tepat di pinggir makam Surti dan Gibran. Lidahnya menjulur ke luar dan bola matanya lenyap.