Terjadi saling sahut antara Idur dan Haut. Sedangkan yang lain menyimak ala murid-murid zaman kolonial.
“Begini. Sebab bin musabab tanaman tomat di Gang Sapi ini subur makmur, tidak lepas dari peran kotoran……...”
Belum sempat Haut menjelaskan lebar kali panjang, Engkong muncul dari arah timur. Semua terdiam menunggu situasi dan kondisi kedaruratan seiring semakin dekatnya Engkong ke pos ronda.
***
Suasana hening, seibarat mengheningkan cipta. Burung-burung emprit yang cerewet kebangetan beterbangan menjauh. Kodok dan kadal yang sejatinya ingin melanjutkan pertarungan di palagan bebatuan, tak jadi mendekat. Bahkan gesit bergerak dan melompat, menelusup ke kebun jagung nan rimbun.
“Kok sepi.” Kata Engkong. Sembari memainkan klontong sapi kuningan yang gagah tergantung di lampu sepeda ontelnya.
Semua saling pandang. Lirik kanan lirik kiri. Idur yang biasanya paling iseng saat ada Engkong, memandang ke langit, seakan melihat barisan bidadari turun dari langit lapis sembilan.
“Engkong dari mana?” Iwur memberanikan menyiram kebekuan. Mencairkan suasana.
“Ngapain nanyak-nanyak.”
“Yaelah, biar kagak sepi, Kong.”
Engkong menatap Iwur. Kali ini tatapan Engkong agak pucat. Seperti menahan sesuatu yang cukup membuatnya kurang berwibawa, di mata warga Gang Sapi.