Ancaman dari Hendra dan keluarganya, mendorong Zibran memboyong Kunti ke Jakarta. Kematian Kunti yang tidak wajar, menjadi gunjingan, bahwa sebenarnya Bu Kades telah menyantet Kunti. Sesaat setelah Kunti melahirkan.
Hendra, terlambat datang dari Jakarta. Kematian Kunti yang tragis, betul-betul memukul batinnya. Hanya anak semata wayang sebagai penghibur satu-satunya. Anak dari Kunti yang dibawanya pergi jauh ke Jakarta. Jauh dari desa tempat Kunti meregang nyawa.
“Pak. Bagaimana menurut pendapatmu” Kembali Painem memecah kesunyian.
Paijo masih terdiam. Bulir air lepas dari sudut mata keriput. Dalam hati, Paijo malah bersyukur. Jika benar Bu Kades telah mati. Meskipun, baginya masih tanda tanya, siapa orang yang telah membunuh perempuan raja tega itu.
“Aku bersyukur. Semoga perempuan itu mengerak di neraka!”
Suara Painem meledak. Membuat burung yang sedang tidur di dahan-dahan pohon berhamburan. Terbang tak tentu arah.
***
“Mbok. Lingsir wengi. Waktunya istirahat. Bapak juga ya….” Lirih suara Kunti. Memohon.
“Kamu sendiri bagaimana, Kunti?” Tanya Paijo singkat.
“Biarkan Kunti sendiri. Jangan khawatir. Tiap bulan purnama, Kunti akan menemui Mbok dan Bapak”
Painem bahunya berguncang. Untuk kali kedua dia menangis. Tangis yang hampir sama saat Kunti melepas nyawa.