Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kunti dan Bulan Bulat Sempurna

4 Oktober 2020   08:53 Diperbarui: 7 Oktober 2020   14:36 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pixabay.com

Purnama. Saat bulan bulat sempurna. Malam ini, kembali datang sesuai janjinya. Tanpa diikuti awan-awan yang bergelantungan di atap langit.

Sekitar jam sembilan malam, sinar purnama semakin terang. Menyinari kegelapan. Menembus rimbun pepohonan dan dedaunan. Membentuk rupa semu makhluk-makhluk astral.

Sebuah rumah joglo. Rumah kuno yang cukup besar. Dikelilingi kebun kopi cukup luas. Berpagar batu bata merah. Berlumut, hampir di tiap sudut. Teguh mematung. Menikmati sapa dewi malam.

Di beranda, sepasang suami istri duduk berjarak dan bersebelahan. Dua orang tua, tengah menikmati malam dengan pikirannya masing-masing.

Sang lelaki lebih memperhatikan kepulan asap. Meluncur dari bibir keriput. Bibir yang masih kecanduan rokok linting. Gemeratap diantara bunyi cengkeh. Terbakar bersama gulungan tembakau, seukuran jempol tangan.

“Nem. Bicaralah, jangan diam terus sedari tadi”

Painem masih terdiam. Wajahnya tengadah. Kembali memandang tajam bulan bulat sempurna. Paijo menghela napas dalam-dalam. Menghembuskan perlahan. Tanpa sedikitpun suara terdengar.

“Andaikan saja….”

Paijo kembali mencoba memancing kebekuan. Namun, hanya suara burung malam yang terdengar. Sekilas dan kembali beku.

***

“Andaikan kenapa Bapak?”

Paijo menoleh ke samping kiri. Terlihat sosok perempuan muda. Perempuan semampai berbalut kain putih. Kain yang menutupi tubuhnya dari pundak hingga ujung kaki.

“Kunti?”

“Ya, Bapak”

“Ubahlah wujudmu, Anakku”

Sosok semampai. Mata dan bibir memucat. Kulit wajah nan putih. Seibarat putihnya kapas. Perlahan dan perlahan, berubah. Cantik memesona.

“Mbok. Kok diam saja, sih?”

Painem yang ditanya Kunti. Tetap diam. Kembali memandang rembulan. Bibirnya masih terkunci. Entah apa yang menguncinya.

“Duduklah Kunti. Jangan ganggu Mbokmu”

“Memangnya kenapa, Mbok? Habis bertengkar ya?” Tanya Kunti dan memandang Paijo.

“Ya, ndaklah. Mana pernah Bapak marah sama Mbokmu? Betul khan, Nem?”

Suara tokek dari belakang rumah berbunyi. Memainkan nada alam. Sedang Painem, masih tetap bungkam.

Kunti memainkan kakinya yang menggelantung di beranda. Diayun-ayunkan. Seakan ingin mencairkan suasana. Sedang Paijo, kembali melinting rokok.

****

“Kunti”

Tiba-tiba Painem bersuara. Semua terdiam. Paijo menghentikan melinting rokok. Sedangkan Kunti, melipat kakinya. Bersila.

“Kudengar, Bu Kades meninggal dunia”

Painem menghentikan bicara. Paijo dan Kunti masih diam. Tidak ada sedikitpun suara ke luar dari mereka bertiga. Hanya hembusan angin tipis terasa.

“Menurut warga, meninggalnya tidak wajar. Ada bekas cekikan tangan di lehernya”

Paijo memantik korek api. Kembali menyalakan rokok. Kunti, masih terdiam. Tertunduk mematung. Wajahnya tertutup rambut yang terjurai panjang.

“Wajah Bu Kades seperti orang yang sangat ketakutan. Biji matanya seakan ingin lepas”

“Nem. Kamu tahu dari siapa? Apa tahu sendiri?”

“Sadil. Waktu kemarin memetik kopi. Masih menurut Sadil, mayat Bu Kades ditemukan mengapung di sungai. Dekat jembatan doyong”

Painem menatap tajam Paijo. Membuat Paijo salah tingkah. Lelaki tua itu menatap jauh ke langit. Mengepulkan asap dari rokok yang dihisapnya dalam-dalam.

“Kunti. Ada yang ingin kau sampaikan?”

“Tidak ada, Mbok” Jawab Kunti singkat dan kembali mulutnya rapat terkunci.

Painem kini ikut terdiam. Masih lekat di ingatan. Bagaimana Kunti dulu mati, sehari setelah melahirkan.

Di beranda ini pula, Painem dan Paijo menyaksikan Kunti meregang nyawa dengan perut membuncit. Membesar tidak wajar. Hingga orang-orang bergunjing, matinya Kunti karena santet.

Sedangkan Kunti, masih dapat merasakan kesakitan sangat. Hawa panas dan nyeri di perut yang luar biasa, memaksa Kunti minta tidur di beranda. Dan…., saat bulan bulat sempurna, Kunti meregang dan melepas nyawa.

***

Kunti. Sosok gadis bersahaja. Tinggi semampai. Bunga desa nan cantik mempesona. Banyak laki-laki yang berusaha merebut hatinya. Termasuk Hendra, anak Pak Kades.

Hanya seorang pemuda yang mampu meluluhkan hati Kunti. Zibran, pemuda desa sebelah. Teman SMA Kunti. Pemuda yang sukses merantau ke Jakarta.

Setelah menikah, Zibran memboyong Kunti ke Jakarta. Sewaktu Kunti hamil dan hampir melahirkan, Kunti minta pulang ke desa.

Rupanya, Hendra dan keluarganya menaruh sakit hati. Terutama ibunya Hendra. Sosok Bu Kades yang ketus dan pendendam. Bahkan bukan rahasia lagi, akan membalas sakit hati dengan cara apapun, kepada Kunti.

Ancaman dari Hendra dan keluarganya, mendorong Zibran memboyong Kunti ke Jakarta. Kematian Kunti yang tidak wajar, menjadi gunjingan, bahwa sebenarnya Bu Kades telah menyantet Kunti. Sesaat setelah Kunti melahirkan.

Hendra, terlambat datang dari Jakarta. Kematian Kunti yang tragis, betul-betul memukul batinnya. Hanya anak semata wayang sebagai penghibur satu-satunya. Anak dari Kunti yang dibawanya pergi jauh ke Jakarta. Jauh dari desa tempat Kunti meregang nyawa.

“Pak. Bagaimana menurut pendapatmu” Kembali Painem memecah kesunyian.

Paijo masih terdiam. Bulir air lepas dari sudut mata keriput. Dalam hati, Paijo malah bersyukur. Jika benar Bu Kades telah mati. Meskipun, baginya masih tanda tanya, siapa orang yang telah membunuh perempuan raja tega itu.

“Aku bersyukur. Semoga perempuan itu mengerak di neraka!”

Suara Painem meledak. Membuat burung yang sedang tidur di dahan-dahan pohon berhamburan. Terbang tak tentu arah.

***

“Mbok. Lingsir wengi. Waktunya istirahat. Bapak juga ya….” Lirih suara Kunti. Memohon.

“Kamu sendiri bagaimana, Kunti?” Tanya Paijo singkat.

“Biarkan Kunti sendiri. Jangan khawatir. Tiap bulan purnama, Kunti akan menemui Mbok dan Bapak”

Painem bahunya berguncang. Untuk kali kedua dia menangis. Tangis yang hampir sama saat Kunti melepas nyawa.

Dua orang tua itu beranjak ke dalam rumah. Meninggalkan Kunti. Sendiri di beranda. Menikmati sunyi. Di bawah sinaran bulan bulat sempurna.

Perlahan wajah Kunti yang cantik, berubah. Kembali pucat memutih. Seperti kapas. Matanya yang cekung menghitam. Menatap tajam rembulan. Teman pengharapan Kunti di kesunyian malam.

“Mas Zibran. Kunti kangen Mas…., kangen kamu dan anak kita”

Tidak ada suara. Hening cukup lama. Hingga, sayup-sayup, hanya terdengar tangisan pilu. Menyenandungkan kesedihan. Kepiluan suasana yang selalu hadir di beranda rumah Pak Paijo. Saat purnama. Saat Kunti merindukan suami dan anaknya.

Rumah joglo. Di tengah kebun kopi yang cukup luas. Berpagar batu bata merah. Tempat Kunti menumpahkan segala rasa. Saat bulan bulat sempurna, penduduk sekitar membingkai cerita. Tutur dan titah tentang warna kehidupan. Mahfum pada keadaan.    

Di sebuah jembatan lepas arah laut, seorang lelaki berdiri tegar. Seperti batu karang. Lelaki itu mengambil bungkusan dari dalam tas. Bungkusan berisi sarung tangan. Lantas, sigap dibuang ke laut.

Lelaki itu segera berlalu. Senyum sinis menghias bibirnya. Yah… sinis dalam arti kemenangan. Hanya dalam hatinya seorang.

Kademangan, 03 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun