Dua puluh menit lewat. Tak ada tanda-tanda kemunculan sosok Ki Wiro dan Pak Wongso. Seakan mereka juga lenyap ditelan bumi. Rombonganpun saling pandang. Gerah dan resah terasa.
Mbah Sanimin tiba-tiba mendekat maju ke arah Kampung Amat dan Kampung Suadi. Ia berbicara lirih pada dua pemimpin kampung. Mbah Sanimin segera menghadap pada rombongan. Wajahnya tegang dan sepertinya sesuatu ingin ia sampaikan secepatnya.
“Saudara-saudara…. Saya rasa suara gagak hitam tiga kali adalah suatu tanda. Bukan hanya sekedar suara. Tanda agar kita tersadar. Cukup sudah tiga jiwa, kita korbankan untuk tumbal hutan belantara ini. Cukup kita hentikan pada angka 703 sesuai petunjuk Ki Wiro dari Pertapa tua hutan ini. Dan marilah kita kembali pulang. Kembali pada keluarga yang sedang menunggu!” Lantang suara Mbah Sanimin jelas terdengar.
“Tapi Mbah…. Bagaimana dengan Pak Wongso dan Ki Wiro?” Pak Darso menyela.
“Apakah kita akan terus mencari atau bertahan di tempat ini hingga pagi? Hahh!.... Berpikirlah dengan waras. Tidak cukupkah petunjuk dari pertapa tua penunggu hutan ini untuk kita ikuti?” Kembali Mbah Sanimin bersuara lantang. Tatapannya yang tajam menghunjam. Menyepikan suasana. Tak ada lagi suara yang menyela.
Kampung Amat dan kampung Suadi segera memerintahkan rombongan untuk pulang. Meninggalkan beringin tua dengan keangkerannya. Juga meninggalkan dua tumbal yang tak lagi bersama. Pada rombongan.
Seiring gerimis yang turun. Rombongan bergerak menjauh dari pohon beringin tua yang kokoh berdiri ratusan tahun lamanya di kaki hutan Gunung Raung. Rombongan bergerak tanpa kata. Hanya 703 jiwa melayang. Tumbal hutan belantara kaki Gunung Raung. Ada di benak mereka.
Banyuwangi, 28 April 2016