Ilustrasi: e-kaki.net
Perempuan muda segera keluar lewat pintu belakang yang terbuka. Matanya tak berkedip mencari sesosok orang, yang sekilas dilihat di samping rumah bambunya. Ditolehnya arah kiri. Tak ada sosok itu. Hanya desiran angin ia rasakan dari semak belukar belakang rumahnya. Dilihatnya arah kanan. Masih tak ditemukan sosok yang ia cari. Hanya hamparan pasir dan bebatuan. Debu sedikit berhamburan diterpa angin buritan.
Dadanya berdegup. Agak cepat ia rasakan. Dengan perlahan dan berjingkat. Dilangkahkan kakinya ke belakang rumah bambu. Matanya membelalak tak berkedip. Sosok yang ia cari meringkuk kedinginan. Tanpa busana. Selembarpun tak melekat kain pada tubuh sosok menggigil. Sosok yang kedinginan.
“Siapakah bapak?” Tanya perempuan muda dengan suara lirih. Sosok lelaki ringkih itu masih meringkuk. Wajahnya ditelungkupkan pada dua tangan. Sementara tubuhnya semakin terlihat gemetar. Menahan dingin. Meski siang, gelap terselubung awan. Pertanda hujan akan turun.
“Pak…. Apa yang bapak cari? Siapakah Bapak?” Kembali perempuan muda bertanya.
Wajah sosok terangkat pelan. Diliriknya perempuan muda. Berdiri disamping kiri tubuhnya yang ringkih. Bibirnya yang pucat terlihat bergetar hebat.
“Tolong sampaikan pesanku”
Perempuan muda terkesiap. Sosok di depan sangatlah ia kenal. Sosok lelaki pencari bambu yang sering mampir ke gubuknya untuk minta air. Sekedar mengisi bekal minum, sebelum melanjutkan perjalanan memasuki hutan kaki hutan Raung. Mencari bambu untuk ia buat anyaman peralatan rumah tangga.
Ya…. Sosok lelaki itu adalah Pak Untung. Lelaki yang sudah seminggu lalu menghilang secara misterius. Tidak diketahui keberadaan dan jejaknya. Meskipun sudah dicari penduduk kampung sebelah dengan berbagai cara. Tetaplah hilang tak ditemukan. Seakan ditelan penguasa hutan rimba.
Perempuan muda masih diam tanpa kata. Matanya tetap tak berkedip. Memandang tubuh ringkih di depannya tanpa busana.
“Sampaikan pesanku kepada bapakku di kampung sebelah. Besok malam, tepat malam Jum’at Kliwon. Bawakan aku setusuk sate gagak hitam. Letakkan di bawah pohon beringin besar itu. Agar aku bisa pulang”
Perempuan muda hanya mengangguk. Dan kembali berucap lirih,”Baiklah nanti akan saya sampaikan. Pak Untung tunggu di sini sebentar. Akan saya ambilkan sarung agar bapak tidak kedinginan”.
Sosok lelaki hanya diam. Kembali kepalanya ditelungkupkan pada dua tangannya. Badan yang meringkuk itupun kembali diam mematung.
Bergegas perempuan muda beranjak ke dalam rumah. Ia tak menuju kamar untuk mengambil sarung. Milik suaminya satu-satunya. Melainkan setengah berlari menuju rumah tetangga sebelah. Dilihatnya ada dua perempuan sedang bercengkerama di teras rumah.
“Mbak Asih dan Bude Sum, tolong aku….” Terangah-engah perempuan muda memanggil.
“Ada apa dik? Kok sepertinya ketakutan?” Bertanya Bude Sum.
“Di belakang rumah ada Pak Untung…. Pak Untung yang dicari-cari warga kampung sebelah!”
“Kamu jangan mengada-ada Dik Wati. Yang benar saja kalau bicara” Asih menimpali dengan wajah pucat.
“Benar Mbak Asih. Kalau tidak percaya. Ayo lihat sendiri di belakang rumahku”
Bergegas dua perempuan itu berdiri tanpa diperintah. Mereka berlari ke arah rumah perempuan muda. Menuju belakang rumah.
Sosok lelaki tanpa busana terkejut melihat kedatangan tiga perempuan ke arahnya. Secara reflek ia meloncat ke rimbun semak.
“Tunggu…. Pak Untung tungguuu!” Teriak Asih.
Percuma. Sosok lelaki telanjang telah lenyap di rimbun pepohonan. Meninggalkan tiga perempuan yang ingin menemuinya.
“Bagaimana ini Bude Sum?” Tanya Wati.
“Kita ke ladang…. Beritahu orang-orang tentang kejadian ini!” Sahut Sum.
Dalam sekejap kampung ramai. Para bapak dan pemuda yang semula bertebaran bekerja di ladang. Kini menyebar di sekitar kampung. Mencari sosok bernama Untung. Sosok lelaki pencari bambu yang hilang di kaki hutan Gunung Raung. Seminggu yang lalu.
Hingga menjelang sore. Sosok lelaki yang dicari tidak ditemukan. Para pencari berkerumun kembali di sekitar rumah Paijo, suami Wati. Tampak pula Pak Kampung Suadi.
“Sosok Pak Untung tadi hanya berpesan Pak” Kata Wati datar.
“Apa pesannya?” Tanya Kampung Suadi.
“Agar bapaknya besok malam, tepat pada malam Jum’at Kliwon membawakan setusuk sate gagak hitam. Ia minta letakkan di bawah pohon beringin besar itu” Jawab Wati sambil menunjuk pohon beringin besar nun jauh di utara. Di kaki hutan Gunung Raung yang masih perawan.
****
Pesan itupun tersampaikan pada keluarga Pak Untung. Kesesokan harinya, tepat pada malam Jum’at Kliwon. Selepas Maghrib. Sekitar seratus orang dari dua kampung. Bergerak ke arah pohon beringin tua. Obar-obor dinyalakan. Apinya meliuk-liuk diterpa angin malam. Empat lampu petromak turut dinyalakan memberi penerang.
Semakin mendekat ke arah pohon beringin tua. Suasana mencekam. Suara burung hantu, lengking rusa hutan, dan siulan binatang malam. Terdengar sayup jelas bersahutan. Mengiringi rombongan.
Sekitar seratus meter dari pohon beringin tua. Tangan Ki Wiro direntangkan. Rombongan segera berhenti. Ki Wiro adalah paranormal yang khusus didatangkan oleh keluarga Pak Untung.
“Kalian tunggulah di sini sebentar. Aku akan masuk agak ke dalam untuk bersemadi”
Suasana hening. Nun di kejauhan. Di kaki hutan Gunung Raung. Terdengar suara gerombolan anjing liar melolong. Saling bersahutan. Tak lama kemudian Ki Wiro muncul dari semak belukar depan rombongan. Matanya yang tajam menatap pada rombongan.
“Hutan ini sangatlah angker dan perawan. Dalam semadiku datang lelaki tua. Jenggotnya putih terjuntai. Pakaiannya putih telanjang dada. Bertongkat kepala harimau. Beliau berpesan bahwa hutan ini sejak dulu entah kapan meminta tumbal seribu orang. Baru tercapai 701 orang. Termasuk Pak Untung”
Rombongan hanya terdiam tanpa kata. Hanya Kampung Suadi yang angkat bicara,”Lantas apa yang harus kami lakukan Ki Wiro?”
“Lekaslah gagak hitam itu disembelih. Tusuk badannya dengan bambu kuning ini. Jangan lupa kepalanya tancapkan di pucuk bambu ini”
Tanpa menunggu perintah lagi, beberapa pemuda menyembelih gagak hitam. Pada saat disembelih terdengar suara gagak hitam tiga kali sebelum melepas nyawa. Sesudahnya, badannya ditusuk dengan bambu kuning dan dipanggang pada bara api.
Sate gagak hitam diberikan pada Ki Wiro. Segera Ki Wiro membakar kemenyan. Mulutnya komat-kamit membaca mantra. Sejurus kemudian sate gagak hitam diserahkan ke Pak Wongso, orang tua Pak Untung yang hilang tanpa jejak.
“Kalian tunggulah di sini. Hanya aku dan Pak Wongso yang akan menuju beringin tua. Jangan ada yang bergerak kemanapun hingga kami kembali”
Ki Wiro dan Pak Wongso bergerak ke arah beringin tua. Tanpa obor sebagai penerang. Hanya disinari rembulan sesabit. Bau kemenyan menebar aroma harum padupan. Diiringi bunyi burung hantu yang entah darimana asalnya.
****
Sepuluh menit lewat. Rombongan menunggu dengan perasaan berkecamuk. Hingga tiba-tiba bumi bergetar. Tempat yang rombongan pijakpun bergetar. Gempa bumi dirasakan. Meluruhkan sebagian dedaunan pohon liar di sekelilingnya. Sebagian orang gaduh dan merapat. Obor yang masih menyala dipegangnya erat.
Seiring bumi yang kembali tenang. Sosok Ki Wiro muncul dari rerimbunan pohon perdu depan rombongan. Tak nampak sosok Pak Wongso. Hanya sosok Ki Wiro dengan menggenggam keris luk sembilan tanpa warangka.
“Mana Pak Wongso Ki Wiro?” Tanya Kampung Suadi dengan wajah tegang.
Ki Wiro tak segera menjawab. Ditariknya napas dalam. Hingga keluar endusan ibarat banteng ketaton.
“Entahlah…. Tiba-tiba sosok Pak Wongso lenyap digulung angin dari arah beringin tua” Jawab Ki Wiro kecut. Dia segera membalikkan badan. Menatap tajam pada beringin tua. Mulutnya kembali komat-kamit. Entah apa yang ia mantrakan.
“Kalian tetaplah di sini. Aku akan kembali ke pohon beringin tua. Menjemput Pak Wongso” Kata Ki Wiro. Kali ini suaranya keras. Seakan membentak. Kakinya dijejakkan tiga kali. Dan kembali merangsek ke depan. Tak seorangpun dalam rombongan angkat bicara. Mereka terdiam. Terhipnotis kegelapan yang memagut dalam.
Lima menit berlalu. Kembali bumi berguncang. Kali ini lebih hebat. Diselingi gemuruh angin yang kembali merontokkan dedaunan pinggiran hutan. Dan pada saat bumi terdiam. Tiga kali suara gagak hitam parau terdengar. Menyepikan suasana.
Sepuluh menit lewat. Sosok Ki Wiro dan Pak Wongso tak jua muncul dari arah belukar depan rombongan. Hanya kepak dan suara burung malam mencicit kepiluan. Dari arah pohon beringin besar.
Lima belas menit lewat. Dua sosok yang rombongan nantikan tak jua menampak. Gaduhlah suasana.
“Pak Kampung…. Bagaimana ini? Apa kita harus terus menunggu?” Tanya Pak Gimin.
“Saudara-saudara…. Kita tunggu lima menit lagi” Tiba-tiba Kampung Amat ke depan menghadap rombongan angkat bicara. Diikuti Kampung Suadi yang berdiri disampingnya. Rombonganpun kembali terdiam.
Dua puluh menit lewat. Tak ada tanda-tanda kemunculan sosok Ki Wiro dan Pak Wongso. Seakan mereka juga lenyap ditelan bumi. Rombonganpun saling pandang. Gerah dan resah terasa.
Mbah Sanimin tiba-tiba mendekat maju ke arah Kampung Amat dan Kampung Suadi. Ia berbicara lirih pada dua pemimpin kampung. Mbah Sanimin segera menghadap pada rombongan. Wajahnya tegang dan sepertinya sesuatu ingin ia sampaikan secepatnya.
“Saudara-saudara…. Saya rasa suara gagak hitam tiga kali adalah suatu tanda. Bukan hanya sekedar suara. Tanda agar kita tersadar. Cukup sudah tiga jiwa, kita korbankan untuk tumbal hutan belantara ini. Cukup kita hentikan pada angka 703 sesuai petunjuk Ki Wiro dari Pertapa tua hutan ini. Dan marilah kita kembali pulang. Kembali pada keluarga yang sedang menunggu!” Lantang suara Mbah Sanimin jelas terdengar.
“Tapi Mbah…. Bagaimana dengan Pak Wongso dan Ki Wiro?” Pak Darso menyela.
“Apakah kita akan terus mencari atau bertahan di tempat ini hingga pagi? Hahh!.... Berpikirlah dengan waras. Tidak cukupkah petunjuk dari pertapa tua penunggu hutan ini untuk kita ikuti?” Kembali Mbah Sanimin bersuara lantang. Tatapannya yang tajam menghunjam. Menyepikan suasana. Tak ada lagi suara yang menyela.
Kampung Amat dan kampung Suadi segera memerintahkan rombongan untuk pulang. Meninggalkan beringin tua dengan keangkerannya. Juga meninggalkan dua tumbal yang tak lagi bersama. Pada rombongan.
Seiring gerimis yang turun. Rombongan bergerak menjauh dari pohon beringin tua yang kokoh berdiri ratusan tahun lamanya di kaki hutan Gunung Raung. Rombongan bergerak tanpa kata. Hanya 703 jiwa melayang. Tumbal hutan belantara kaki Gunung Raung. Ada di benak mereka.
Banyuwangi, 28 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H