Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumbal

28 April 2016   21:04 Diperbarui: 28 April 2016   23:37 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh menit lewat. Rombongan menunggu dengan perasaan berkecamuk. Hingga tiba-tiba bumi bergetar. Tempat yang rombongan pijakpun bergetar. Gempa bumi dirasakan. Meluruhkan sebagian dedaunan pohon liar di sekelilingnya. Sebagian orang gaduh dan merapat. Obor yang masih menyala dipegangnya erat.

Seiring bumi yang kembali tenang. Sosok Ki Wiro muncul dari rerimbunan pohon perdu depan rombongan. Tak nampak sosok Pak Wongso. Hanya sosok Ki Wiro dengan menggenggam keris luk sembilan tanpa warangka.

“Mana Pak Wongso Ki Wiro?” Tanya Kampung Suadi dengan wajah tegang.

Ki Wiro tak segera menjawab. Ditariknya napas dalam. Hingga keluar endusan ibarat banteng ketaton.

“Entahlah…. Tiba-tiba sosok Pak Wongso lenyap digulung angin dari arah beringin tua” Jawab Ki Wiro kecut. Dia segera membalikkan badan. Menatap tajam pada beringin tua. Mulutnya kembali komat-kamit. Entah apa yang ia mantrakan.

“Kalian tetaplah di sini. Aku akan kembali ke pohon beringin tua. Menjemput Pak Wongso” Kata Ki Wiro. Kali ini suaranya keras. Seakan membentak. Kakinya dijejakkan tiga kali. Dan kembali merangsek ke depan. Tak seorangpun dalam rombongan angkat bicara. Mereka terdiam. Terhipnotis kegelapan yang memagut dalam.

Lima menit berlalu. Kembali bumi berguncang. Kali ini lebih hebat. Diselingi gemuruh angin yang kembali merontokkan dedaunan pinggiran hutan. Dan pada saat bumi terdiam. Tiga kali suara gagak hitam parau terdengar. Menyepikan suasana.

Sepuluh menit lewat. Sosok Ki Wiro dan Pak Wongso tak jua muncul dari arah belukar depan rombongan. Hanya kepak dan suara burung malam mencicit kepiluan. Dari arah pohon beringin besar.

Lima belas menit lewat. Dua sosok yang rombongan nantikan tak jua menampak. Gaduhlah suasana.

“Pak Kampung…. Bagaimana ini? Apa kita harus terus menunggu?” Tanya Pak Gimin.

“Saudara-saudara…. Kita tunggu lima menit lagi” Tiba-tiba Kampung Amat ke depan menghadap rombongan angkat bicara. Diikuti Kampung Suadi yang berdiri disampingnya. Rombonganpun kembali terdiam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun