Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumbal

28 April 2016   21:04 Diperbarui: 28 April 2016   23:37 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar seratus meter dari pohon beringin tua. Tangan Ki Wiro direntangkan. Rombongan segera berhenti. Ki Wiro adalah paranormal yang khusus didatangkan oleh keluarga Pak Untung.

“Kalian tunggulah di sini sebentar. Aku akan masuk agak ke dalam untuk bersemadi”

Suasana hening. Nun di kejauhan. Di kaki hutan Gunung Raung. Terdengar suara gerombolan anjing liar melolong. Saling bersahutan. Tak lama kemudian Ki Wiro muncul dari semak belukar depan rombongan. Matanya yang tajam menatap pada rombongan.

“Hutan ini sangatlah angker dan perawan. Dalam semadiku datang lelaki tua. Jenggotnya putih terjuntai. Pakaiannya putih telanjang dada. Bertongkat kepala harimau. Beliau berpesan bahwa hutan ini sejak dulu entah kapan meminta tumbal seribu orang. Baru tercapai 701 orang. Termasuk Pak Untung”

Rombongan hanya terdiam tanpa kata. Hanya Kampung Suadi yang angkat bicara,”Lantas apa yang harus kami lakukan Ki Wiro?”

“Lekaslah gagak hitam itu disembelih. Tusuk badannya dengan bambu kuning ini. Jangan lupa kepalanya tancapkan di pucuk bambu ini”

Tanpa menunggu perintah lagi, beberapa pemuda menyembelih gagak hitam. Pada saat disembelih terdengar suara gagak hitam tiga kali sebelum melepas nyawa. Sesudahnya, badannya ditusuk dengan bambu kuning dan dipanggang pada bara api. 

Sate gagak hitam diberikan pada Ki Wiro. Segera Ki Wiro membakar kemenyan. Mulutnya komat-kamit membaca mantra. Sejurus kemudian sate gagak hitam diserahkan ke Pak Wongso, orang tua Pak Untung yang hilang tanpa jejak.

“Kalian tunggulah di sini. Hanya aku dan Pak Wongso yang akan menuju beringin tua. Jangan ada yang bergerak kemanapun hingga kami kembali”

Ki Wiro dan Pak Wongso bergerak ke arah beringin tua. Tanpa obor sebagai penerang. Hanya disinari rembulan sesabit. Bau kemenyan menebar aroma harum padupan. Diiringi bunyi burung hantu yang entah darimana asalnya.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun