Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 2 - Delapan Belas & Sembilan Belas

22 Juli 2013   22:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:11 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Delapan Belas

~ Catatan Dokter ~

Sesuai janji minggu lalu, siang ini Asih akan menerima hasil pemeriksaan dari dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin. Ketimbang terlambat, satu jam sebelumnya Asih bersama Koma sudah  siap menunggu. Jam di dinding lobi rumah sakit menunjukkan pukul satu lewat tujuh menit. Dengan harap-harap cemas dia tak sabar ingin tahu hasil diagnosa kesehatan Koma kecil dari dokter di rumah sakit itu.

Asih dipersilahkan menunggu. Di bangku depan lorong menuju ruang UGD Asih menunggu, hanya duduk termenung, sesekali bangkit, mengintip ke kaca jendela ruang dokter spesialis saraf. Sedangkan Koma kecil lelap tak terganggu. Lebih dari satu jam menanti, pintu ruang dokter spesialis saraf terbuka. Dua orang keluar, disusul kemudian seorang suster mempersilahkan Asih masuk.

***

"Apakah anak saya baik-baik saja? Bisakah anak saya sembuh Pak Dokter?" belum juga duduk, Asih memberondong Dokter Budi dengan pertanyaan penuh penasaran.

"Sebentar, silahkan duduk dulu Bu Asih!" Sang dokter menangkap kecemasan dari roman muka Asih.

"Bagaimana Pak Dokter? Tidak ada penyakit yang parah kan dengan anak saya? Apakah anak saya bisa sembuh Pak Dokter?" Asih membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman.

Dokter Budi memberikan sebuah map merah tua, di dalamnya berisi dua lembar catatan. Asih langsung menyambar dan membukanya tergesa. Segera dia baca, lembar pertama dari tulisan paling atas, belum dimengertinya. Beralih pada lembar kedua, diselusuri kalimat demi kalimat, hingga bagian bawah kesimpulan hasil pemeriksaan menerangkan Koma kecil mengidap epilepsi. Epilepsi, begitu asing di telinga Asih. Bahkan baru kali itu dia temukan dari catatan pemeriksaan Dokter Budi. Yang dia tahu hanya sakit tipes, pilek, batuk, atau rematik -penyakit yang diderita Mak Acem bertahun-tahun.

Mata Asih tertuju lagi pada kata "epilepsi" dan kembali mencari-cari kelanjutan keterangan yang lebih memperjelas apa sebenarnya epilepsi itu. Kata per kata, kalimat per kalimat, dengan cermat, tapi masih saja tak dia mengerti. Separuh tulisan banyak istilah-istilah kedokteran yang tak difahami Asih.

"Anak saya mengidap epilepsi?"

"Menurut pemeriksaan, kami menyimpulkan anak Bu Asih mengidap epilepsi."

"Epilepsi itu apa Pak Dokter?" tanya Asih. Kekhawatiran semakin menyeruak di hati dan pikirannya.

"Epilepsi itu penyakit yang terjadi karena ketidaknormalan sinyal dari neuron ke otak, sehingga mengganggu saraf otak dan dampaknya bisa menyebabkan anak Bu Asih mengalami kejang-kejang. Penyakit ini bukanlah penyakit menular, dan..." Dokter Budi menghentikan penjelasannya. Dia mendapati alis mata Asih mengerut, yang membuatnya tak kuasa melanjutkan.

Sejak awal membaca laporan hasil pemeriksaan, dahi mengerut, alis turut mengerut, hidung dan telinga merekah, bahkan dahi Asih semakin mengerut lagi manakala Dokter Budi memberikan penjelasan yang sulit dia cerna.

"Aduh Pak Dokter, saya tak mengerti!" polos Asih. Tergelitik dengan keluguan pasiennya, Dokter Budi tersenyum sedikit naif namun berusaha tetap ramah.

"Jadi begini Bu Asih, epilepsi itu semacam sakit kepala yang cukup parah. Karena itu anak Bu Asih sering mengalami kejang-kejang," jelas Dokter Budi, berharap penjelasan sesederhana itu dapat dimengerti Asih.

"Astagfirullah, apakah bisa disembuhkan pak dokter?"

Dilematis, satu sisi sebagai dokter, harus memberitahukan yang sebenarnya, di satu sisi lain, Dokter Budi tak tega. Dia merasa tak enak hati akan membuat Asih lebih khawatir.

"Pak Dokter, apa sakit anak saya bisa sembuh?" tanya Asih lagi.

"Insya Allah, kita sama-sama berusaha mengupayakannya," Dokter Budi sedikit diplomatis.

"Jadi bagaimana Pak Dokter? Anak saya bisa sembuh atau tidak?" Asih butuh kepastian.

"Sulit untuk disembuhkan seratus persen, tapi intensitas kekambuhannya bisa ditekan, mudah-mudahan bisa sampai tidak kambuh. Saya tak dapat menjamin dan memastikannya. Semua tergantung kepada kehendak Allah, serta segenap usaha kita untuk mengikhtiarkan pengobatannya," sang dokter meyakinkan.

"Jadi saya harus bagaimana Pak dokter?"

"Bu Asih jangan putus asa. Yakinlah jika berusaha dengan sebaik-baiknya dan tawakal kepada Allah, Insya Allah bisa sembuh. Salah satu cara untuk membantu pengobatan anak Bu Asih, ibu harus mengikuti saran dan anjuran saya!" jelas Dokter Budi.

"Ya Pak Dokter! Supaya anak saya bisa sembuh, saya akan menuruti kata-kata pak dokter."

"Saya sudah catatkan resep obat, nanti Bu Asih bisa tebus di apotek. Obatnya harus diminum dengan rutin dan teratur." Sang Dokter menunjukkan secarik kertas kecil resep obat yang dilampirkan di dalam map itu.

"Ya Pak Dokter! Terus saya harus bagaimana lagi?" Asih semakin antusias.

Dokter Budi menghela nafas, bersiap memberikan penjelasan yang cukup panjang. Lagi-lagi di dalam hati dia merasa sangsi apakah Asih dapat mengerti dan mengingatnya.

"Begini Bu Asih, pertama, jaga kondisi fisiknya. Anak ibu tidak boleh terlalu lelah dan istirahatnya harus cukup. Hindari aktivitas berlebihan yang dapat menguras tenaganya. Kedua, Bu Asih harus memperhatikan makanannya. Anak ibu harus banyak mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Jangan terlalu banyak makan daging. Dan usahakan juga agar dapat buang air besar dengan teratur. Ketiga, awasi dengan hati-hati. Jangan biarkan bermain api, memanjat pohon, berdiri di pinggir sungai atau di kolam, karena itu bisa membahayakan anak Bu Asih." Dokter Budi jeda sejenak mengambil helaan nafas. Asih mangut-mangut kecil, berusaha mengingatinya.

"Keempat, kalau terlihat gejala penyakit anak Bu Asih akan kambuh, segera berikan satu hingga dua sendok garam dan dihirupkan bau bawang putih, itu untuk mencegahnya kambuh. Kelima, kalau anak Bu Asih sudah pingsan, segera baringkan telentang dan pakaiannya dilonggarkan, bila perlu sumpal mulutnya dengan kain bersih yang sudah dilipat atau benda apa saja yang halus agar lidahnya tidak tergigit. Bagaimana, Bu Asih mengerti dan bisa mengingat apa yang saya jelaskan barusan?"

"Aduh Pak Dokter, saya tak bisa mengingatnya. Terlalu panjang." Asih menggaruk pipi.

"Hmm," Sekian panjang dan jelas menerangkan, Asih tak mampu mengingatinya. Sang dokter tergelitik, dongkol sekaligus geli melihat respon Asih.

"Ditulis saja ya Pak Dokter! Nanti saya hafalkan."

"Baiklah, saya tulis saja. Nanti bu asih hafalkan. Awas, jangan sampai lupa ya!" Dokter Budi menyobek selembar kertas dari sebuah buku catatan dan meraih pulpen yang terselip di saku jas putihnya. Beberapa menit Dokter Budi mencatat, Asih sabar menunggu dan memperhatikan dengan polosnya. Keringat kecil mengucur di sudut kiri kening Dokter Budi.

"Ini Bu Asih catatannya," Dokter Budi menyodorkan pada Asih. "Bagaimana Bu Asih, tulisannya jelas kan?" Tanya Dokter Budi.

"Jelas Dokter. Ini saja ya?"

"Ya!"

Interkom di ruang menyuarakan panggilan darurat, Dokter Budi bergegas. "Bagaimana Bu Asih, sudah cukup jelas kan? Maaf! Saya ada tugas lagi, ini cukup penting."

"Ya Pak Dokter, saya juga permisi! Terima kasih Pak Dokter!"

***

Usai menyelesaikan administrasi di loket rumah sakit, Asih melangkah tertatih pelan. Matanya terpusat pada kalimat demi kalimat catatan dari Dokter Budi. Kepala Koma kecil yang lelap di gendongannya tertutupi kertas. Sambil berjalan, mulut Asih bergumam menghafal. Saking fokus membaca, hampir saja dia menabrak perawat yang berpapasan menuju ke arahnya.

Sampai di luar gerbang rumah sakit, Asih menyebrang jalan dan mencegat angkutan umum untuk langsung pulang. Di dalam angkutan, perhatian Asih kembali terpusat pada kertas yang digenggamnya. Cukup lama tertegun pada catatan itu, tujuan perhentiannya terlewat. Asih tersadar setelah sopir mengingatkan angkutan sudah masuk perhentian terakhir, terminal Dago. Asih menengok sekitar angkutan, tinggal dirinya seorang dan bocah yang terlelap di gendongannya. Dia bergegas turun, membayar ongkos lalu naik angkutan jurusan yang sama menuju tujuannya, pulang ke rumah baru, tempat tinggal baru sesuai saran Mak Acem. Rumah mendiang Mak Anih, sahabat karib Mak Acem.

Sembilan Belas

~ Ratapan dan Harapan ~

Sampai di rumah, Koma kecil masih lelap tak terganggu. Asih membaringkan tubuh mungil anaknya di atas dipan kayu. Dipan beralas kasur kecil cukup keras yang hanya cukup untuk seorang dewasa dan bayinya. Asih menatap Koma, lalu mengecup keningnya. Beberapa titik air meluncur di sudut mata. Asih memalingkan pandangan dari bocah lugu itu dan menjauh dari dipan. Isaknya pelan. Asih tak ingin Koma terbangun dan menyaksikan ibunya menangis.

"Ya Allah, kasihan sekali nasibmu Nak! Harus menanggung cobaan yang berat seperti ini," ratap Asih dalam hati.

Satu sisi, dalam rasa kemanusiaan yang melemah, yang terkadang ada saat-saat berkeluh, dia merasa hidupnya selalu dibayangi kesedihan. Pertanyaan yang selalu terbetik di hati manakala berkeluh kesah sendiri, mengapa Allah juga menimpakan ujian berat itu pada anaknya. Asih ikhlas menerima, ujian, cobaan atau hukuman sekalipun, tapi dia tak cukup rela jika Koma kecil harus ikut menanggungnya.

Kalaupun sebuah karma, balasan atas kesalahan yang pernah diperbuat, sengaja atau tidak sengaja, Asih hanya ingin menanggungnya sendirian. Anaknya tak berdosa sama sekali. Koma kecil hanya bayi yang bersih, belum sekalipun mengerti dosa dan nista. Asih merasa sangat bersalah, bocah malang itu ikut menanggung derita.

Dosa berzina sangat besar, tidak saja di akhirat, di dunia pun akan diganjar hukuman berat, Asih teringat kata-kata itu. Kata-kata yang dia dengar saat mengaji dari salah seorang ustadz di surau desa.

"Zina, apakah itu berzina? Jangankan menginginkan, bermimpi pun tidak," rutuk Asih dalam hati. Rekaman adegan pemerkosaan itu terputar kembali di ingatannya. Sedih, dan ketakberdayaan yang terbeberkan dalam benak.

Saat semakin dalam mengenang peristiwa itu, penyesalan kian menggunung, mengapa pada saat itu tak ada siapa pun atau apa pun yang dapat menolong. Misalkan, ada seseorang memergoki lelaki itu akan berniat jahat pada Asih lalu berusaha menghentikannya. Atau misalkan pula, ada kekuatan merasuk yang membuat Asih dapat menandingi kekuatan lelaki itu, dan dapat menghindarkannya. Apa daya, sudah terlanjur. Waktu tak mungkin bisa diputar balik.

"Ya Allah, aku sudah berusaha menghindari. Aku sudah berusaha sekuat tenaga menolaknya. Aku, sama sekali, tak mengharapkannya!" Kesedihan dan penyesalan semakin terasa begitu deras meluap.

"Kalaupun itu karma atas dosa keluarga atau leluhurku, ini tidak adil. Kenapa aku yang harus menanggungnya. Aku tidak menanam, kenapa justru aku dan anakku yang menuainya. Tapi, aku akan berusaha menerima. Kupaksakan ikhlas, tapi tidak pada anakku," keluh Asih, berlumur airmata.

Asih merunut dalam pikiran, berbagai peristiwa janggal yang menimpanya. Cinta yang bersemi kepada Warya adalah janggal. Cinta yang akan menemui berbagai rintangan kesulitan bila tetap dilanjutkan dalam kondisi keluarga yang tidak mempersilahkan. Lelaki yang telah menanam benih anak di rahim Asih, menghilang seolah ditelan bumi. Asih harus bertanggungjawab, membesarkan anaknya, sendirian. Tak ada yang dapat melacak jejak keberadaan si pemerkosa itu, dan itu pun dia rasa begitu janggal.

Meski beberapa kali gagal, namun Asih belum menutup hati untuk siapapun lelaki yang ingin serius menikahinya. Jika kelak menyatu dalam ikatan pernikahan, alasan utama Asih karena anaknya. Itu keharusan, agar jangan sampai Koma terus-terusan hidup dengan ketidakjelasan siapa bapaknya, dan supaya anak belajar menjadi lelaki sejati pada ayahnya. Bagaimanapun buruknya, dan siapa pun, lelaki yang menjadi ayah dapat belajar menjadi lelaki sejati yang manis manakala bersama anaknya, dan lupa bahwa di luar rumah dia adalah macan buas.

Asih pikir, mungkin, bapak asli si Koma juga menanggung hukuman yang tak jauh beda dengan dirinya, di tempat lain, di tempat yang tak diketahui dan tak bisa dikunjungi siapa pun, atau lebih tepatnya mungkin sudah mati.

Bahkan terlintas di diri Asih, mungkin pula itu kutukan. Kutukan-kutukan yang merintangi Asih untuk memperbaiki semuanya. Kutukan itu membuat Kosim jatuh sakit, membuat Dadang terkena cacar, dan telah membunuh Mardi. Kutukan itu membuat warga terhasut Darman, lalu mengusir Asih, menjauhkan dia dari perlindungan yang paling aman, keluarga dan rumahnya. Kutukan yang membuat anaknya lahir lebih cepat dengan persalinan dramatis, di waktu dan tempat yang kurang pas. Kutukan itu juga yang memisahkannya dari manusia jelmaan malaikat penolong yang telah menyayanginya dengan luar biasa, dialah Mak Acem.

Tapi, kutukan itu membuat kehamilan Asih terjaga. Tak ada sesuatu pun yang menghalangi pertumbuhan janin di rahimnya. Tidak ada apa pun yang menggagalkan kelahiran bayinya. Kutukan itu membuat Koma kecil bertahan hidup dengan tubuh yang bersemayam epilepsi. Dan, kutukan itu pula yang membuat Mirja berusaha memperkosa, memutarbalikkan fakta, hingga leluasa memfitnah sekaligus menjadi lantaran Asih secara tak langsung terusir, untuk kedua kalinya dia harus terpisah dengan sosok seorang ibu.

***

"Aku hanya manusia lemah. Aku tidak berdaya tanpa pertolonganMu. Ya Rabb, tolong hamba, beri hamba kekuatan agar dapat menghadapi ujian ini dengan tabah."

Hari-hari Asih senantiasa berusaha diisi dengan ketabahan diiringi ketaatan yang intensif. Doa-doa tak dia lewatkan dalam setiap peribadatannya, menjadi harapan untuk menjaring kesabaran dan kekuatan diri melalui hari-hari sulit. Selebihnya, doa-doanya adalah kumpulan harapan paling besar untuk Koma kecil agar lebih kuat dalam menjalani hari dengan epilepsinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun