~ Ratapan dan Harapan ~
Sampai di rumah, Koma kecil masih lelap tak terganggu. Asih membaringkan tubuh mungil anaknya di atas dipan kayu. Dipan beralas kasur kecil cukup keras yang hanya cukup untuk seorang dewasa dan bayinya. Asih menatap Koma, lalu mengecup keningnya. Beberapa titik air meluncur di sudut mata. Asih memalingkan pandangan dari bocah lugu itu dan menjauh dari dipan. Isaknya pelan. Asih tak ingin Koma terbangun dan menyaksikan ibunya menangis.
"Ya Allah, kasihan sekali nasibmu Nak! Harus menanggung cobaan yang berat seperti ini," ratap Asih dalam hati.
Satu sisi, dalam rasa kemanusiaan yang melemah, yang terkadang ada saat-saat berkeluh, dia merasa hidupnya selalu dibayangi kesedihan. Pertanyaan yang selalu terbetik di hati manakala berkeluh kesah sendiri, mengapa Allah juga menimpakan ujian berat itu pada anaknya. Asih ikhlas menerima, ujian, cobaan atau hukuman sekalipun, tapi dia tak cukup rela jika Koma kecil harus ikut menanggungnya.
Kalaupun sebuah karma, balasan atas kesalahan yang pernah diperbuat, sengaja atau tidak sengaja, Asih hanya ingin menanggungnya sendirian. Anaknya tak berdosa sama sekali. Koma kecil hanya bayi yang bersih, belum sekalipun mengerti dosa dan nista. Asih merasa sangat bersalah, bocah malang itu ikut menanggung derita.
Dosa berzina sangat besar, tidak saja di akhirat, di dunia pun akan diganjar hukuman berat, Asih teringat kata-kata itu. Kata-kata yang dia dengar saat mengaji dari salah seorang ustadz di surau desa.
"Zina, apakah itu berzina? Jangankan menginginkan, bermimpi pun tidak," rutuk Asih dalam hati. Rekaman adegan pemerkosaan itu terputar kembali di ingatannya. Sedih, dan ketakberdayaan yang terbeberkan dalam benak.
Saat semakin dalam mengenang peristiwa itu, penyesalan kian menggunung, mengapa pada saat itu tak ada siapa pun atau apa pun yang dapat menolong. Misalkan, ada seseorang memergoki lelaki itu akan berniat jahat pada Asih lalu berusaha menghentikannya. Atau misalkan pula, ada kekuatan merasuk yang membuat Asih dapat menandingi kekuatan lelaki itu, dan dapat menghindarkannya. Apa daya, sudah terlanjur. Waktu tak mungkin bisa diputar balik.
"Ya Allah, aku sudah berusaha menghindari. Aku sudah berusaha sekuat tenaga menolaknya. Aku, sama sekali, tak mengharapkannya!" Kesedihan dan penyesalan semakin terasa begitu deras meluap.
"Kalaupun itu karma atas dosa keluarga atau leluhurku, ini tidak adil. Kenapa aku yang harus menanggungnya. Aku tidak menanam, kenapa justru aku dan anakku yang menuainya. Tapi, aku akan berusaha menerima. Kupaksakan ikhlas, tapi tidak pada anakku," keluh Asih, berlumur airmata.
Asih merunut dalam pikiran, berbagai peristiwa janggal yang menimpanya. Cinta yang bersemi kepada Warya adalah janggal. Cinta yang akan menemui berbagai rintangan kesulitan bila tetap dilanjutkan dalam kondisi keluarga yang tidak mempersilahkan. Lelaki yang telah menanam benih anak di rahim Asih, menghilang seolah ditelan bumi. Asih harus bertanggungjawab, membesarkan anaknya, sendirian. Tak ada yang dapat melacak jejak keberadaan si pemerkosa itu, dan itu pun dia rasa begitu janggal.