"Ditulis saja ya Pak Dokter! Nanti saya hafalkan."
"Baiklah, saya tulis saja. Nanti bu asih hafalkan. Awas, jangan sampai lupa ya!" Dokter Budi menyobek selembar kertas dari sebuah buku catatan dan meraih pulpen yang terselip di saku jas putihnya. Beberapa menit Dokter Budi mencatat, Asih sabar menunggu dan memperhatikan dengan polosnya. Keringat kecil mengucur di sudut kiri kening Dokter Budi.
"Ini Bu Asih catatannya," Dokter Budi menyodorkan pada Asih. "Bagaimana Bu Asih, tulisannya jelas kan?" Tanya Dokter Budi.
"Jelas Dokter. Ini saja ya?"
"Ya!"
Interkom di ruang menyuarakan panggilan darurat, Dokter Budi bergegas. "Bagaimana Bu Asih, sudah cukup jelas kan? Maaf! Saya ada tugas lagi, ini cukup penting."
"Ya Pak Dokter, saya juga permisi! Terima kasih Pak Dokter!"
***
Usai menyelesaikan administrasi di loket rumah sakit, Asih melangkah tertatih pelan. Matanya terpusat pada kalimat demi kalimat catatan dari Dokter Budi. Kepala Koma kecil yang lelap di gendongannya tertutupi kertas. Sambil berjalan, mulut Asih bergumam menghafal. Saking fokus membaca, hampir saja dia menabrak perawat yang berpapasan menuju ke arahnya.
Sampai di luar gerbang rumah sakit, Asih menyebrang jalan dan mencegat angkutan umum untuk langsung pulang. Di dalam angkutan, perhatian Asih kembali terpusat pada kertas yang digenggamnya. Cukup lama tertegun pada catatan itu, tujuan perhentiannya terlewat. Asih tersadar setelah sopir mengingatkan angkutan sudah masuk perhentian terakhir, terminal Dago. Asih menengok sekitar angkutan, tinggal dirinya seorang dan bocah yang terlelap di gendongannya. Dia bergegas turun, membayar ongkos lalu naik angkutan jurusan yang sama menuju tujuannya, pulang ke rumah baru, tempat tinggal baru sesuai saran Mak Acem. Rumah mendiang Mak Anih, sahabat karib Mak Acem.
Sembilan Belas