Dua Belas
~ Si Gila dan Persalinan Prematur Dramatis ~
Jam tiga pagi, kali itu persiapan berjualan diambil alih Asih, sementara Mak Acem masih di rumah. Sebelumnya, Mak Acem melarang Asih membantu sebab tengah hamil tua. Apalagi gerimis sejak sore belum berhenti. Tapi kemauan keras Asih tak mampu dicegah Mak Acem.
Sudah menjadi terbiasa, dalam hidup ini banyak yang tak terduga menimpa begitu saja, tanpa sinyal, aba-aba, kabar, atau peringatan. Sebelum pergi ke pasar, Asih tak mendapati pertanda hari itu akan melahirkan. Perkiraan paraji, bidan puskesmas, dan perhitungan dirinya, kira-kira sebulan lebih menjelang kelahiran bayinya.
Pasar masih cukup sepi, hanya beberapa pedagang bersiap membuka kios dan lapak dagangannya, jaraknya cukup berjauhan. Gerimis tak kunjung mereda. Orang-orang masih cukup malas keluar rumah. Mereka yang hendak berbelanja juga masih terlalu sedikit. Lapak Mak Acem berada di bagian sisi selatan pasar. Asih sendirian mempersiapkan dagangannya.
Lama diguyur gerimis seperti biasa lantai pasar basah dan licin. Satu keranjang tomat telah dipilah-pilah hendak diangkat Asih ke atas lapak. Pijakan tak cukup lekat, Asih terpeleset, braak!!! Dia tersungkur menimpa sekeranjang kubis. Tomat berhamburan. Asih berusaha bangkit namun tertahan rasa sakit di perut, disusul perlahan darah melumuri paha. Asih menoleh ke segenap arah, tak seorang pun dia lihat. Jerit meminta tolong beradu dengan rasa sakit yang menjalar hingga tenggorokan terasa tercekat. Ketakutan besar cepat menyelinap ke dalam hati, ini mungkin akan jadi akhir hidupnya. Yang paling dia takuti adalah bayi yang dikandungnya. Asih pasrah, andai takdir perjalanan hidupnya harus berakhir di pasar, saat itu, dia merelakan, hanya selaksa doa dipanjatkan untuk keselamatan bayinya.
Asih tak mudah menyerah. Dia kumpulkan sisa-sisa tenaga, meronta, meraih tiang lapak, namun tak kuasa bangkit. Mata kunang-kunang, seolah melihat sosok malaikat maut dalam bayangan menghablur. Hidungnya mencium aroma kamatian. Hampir saja kehilangan kesadaran. Seolah rantai besi melilit perut begitu kencang, tak sepatah pun mampu terlontar, apalagi untuk menjerit. Lagi-lagi hanya bisa pasrah menanti pertolongan.
"Ya Rabb! Kalaulah ini waktunya, hamba ikhlas. Tapi bila belum waktunya, tolong hamba! Selamatkan bayi hamba!" lirih Asih.
***
Perempuan berpakaian lusuh setengah telanjang mendapati Asih tergeletak tak berdaya. Usia perempuan itu kira-kira seumuran Asih. Penampilannya eksentrik dengan rambut gimbal berkepang diikat tali rami. Lilitan kantong plastik melingkar di pergelangan tangan, dan aksesoris lain dari sampah-sampah yang mudah dijumpai sekitar pasar. Kulit legam dibaluri debu tebal bercampur aneka rupa kotoran, sukar diterka sudah berapa minggu tak tersentuh sabun mandi.
Si Gila -demikian orang-orang pasar memanggilnya, cukup bersahabat. Kehadiran dia tak menjadi gangguan bagi Asih. Tak seperti penghuni pasar lain, Asih tak menganggap Si Gila manusia tak waras nonkomunikatif yang wajib dihindari. Asih anggap Si Gila sama seperti manusia lain, ia hanya manusia unik dengan dunia unik yang harus disikapi dengan segala permakluman.
Si Gila menghampiri, mengguncang-guncangkan tubuh Asih dengan senyuman kosong dan ucapan tak karuan. Penglihatan Asih masih kabur saat menyelisik sosok di depannya. Dia kira itu malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya. Semakin jelas penglihatan, ditatap kuat sosok perempuan itu, semakin kuat, hingga Asih mengenalinya. Ingin sekali Asih berucap minta tolong pada Si Gila, tapi bibir semakin kelu, suara terasa berat untuk meluncur keluar. Hanya isyarat kesakitan, berharap itu dapat dipahami Si Gila. Tapi tak cukup berhasil. Si Gila masih berkata-kata tak karuan, seperti mengigau, seolah di balik kata-kata itu Si Gila bertanya pada Asih, ada apa, dan kenapa?
Darah belum reda mengucur hingga menembus rok putih Asih. Warna merah yang menyembul tertangkap penglihatan, membuat Si Gila histeris, menjerit-jerit dan masih dengan kata-kata tak karuan. Setengah menit jeritan Si Gila membahana ke seluruh penjuru pasar, tak ada yang menghiraukan. Pikir orang-orang di pasar, sudah biasa, dan memang pada waktu-waktu tertentu Si Gila seringkali menjerit-jerit tak karuan, tak ada yang memahami sebab dan maksudnya.
***
Tiga puluh meter di sudut blok daging, seorang pedagang asyik dengan kesibukannya, tak terganggu, tak peduli sedikit pun pada jeritan yang bersumber dari Si Gila. Dia menganggap tak ada yang istimewa dengan jeritan seorang tak waras. Tindakan janggal apapun yang dilakukan orang gila, sekalipun meresahkan, mau tak mau harus dimaklumi, dan abaikan saja.
Si Gila semakin lantang mewakili Asih menjerit meminta pertolongan. Beberapa pedagang dan orang-orang yang hendak belanja berdatangan, tapi setelah tahu sumber keributan itu berasal dari Si Gila, mereka kembali tak acuh dan seolah berkata "Oh ternyata Si Gila. Ah, dasar! Mengagetkan saja," lalu kembali mengurusi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukannya.
Walaupun tak diacuhkan, Si Gila tak lantas berhenti. Dia menuju ke blok ikan. Jam-jam awal pasar buka, blok ikan sudah ramai orang-orang. Si Gila mencari seseorang yang dapat menolong Asih dengan menjerit dan berkata-kata tak karuan pada siapa saja yang dijumpai, seakan memberitahu apa yang barusan dilihatnya. Seolah menyarankan harus secepatnya ada yang menolong Asih. Sebagian orang yang dihampiri Si Gila menghindar ketakutan, menyangka penyakit Si Gila sedang kumat. Sebagian lagi yang berani, malah menghardik.
Si Gila mencari lagi ke arah lain, menuju blok beras. Hasilnya, hanya bentakan yang didapatkan. Si Gila semakin panik. Dia berinisiatif kembali melihat keadaan Asih. Di ujung blok sayur tak jauh dari lapak Mak Acem, terhalang beberapa jongko, Si Gila melihat perempuan yang sedari tadi tak terganggu, terlalu asyik mengupas bawang merah. Si Gila bergegas menuju perempuan itu. Suara Si Gila sudah melemah, tak lagi mampu menjerit.
Perempuan pengupas bawang itu tak menyadari Si Gila menghampiri, hingga celotehan tak karuan, membuyarkan keasyikan perempuan itu. Perempuan pengupas bawang mengalihkan pandangan sejenak kepada Si Gila, lalu meneruskan pekerjaannya. Dia pun sudah mafhum, "Ah Si Gila, biarkan saja." Hanya mengibaskan tangan sebagai isyarat pengusiran pada Si Gila supaya tak mengganggu dirinya.
Si Gila tetap tak beranjak selangkah pun. Celotehannya tak berhenti, malah semakin cepat, semakin meracau. Spontan Si Gila meraih tangan perempuan pengupas bawang itu. Tak ada keburukan yang terasa pada getaran tangan Si Gila, membuat perempuan pengupas bawang tak merasa ketakutan sedikit pun. Entah kekuatan apa yang dipunyai Si Gila seolah mampu menghipnotis, perempuan pengupas bawang tak menghindar ataupun melawan. Seperti kerbau dicucuk hidung, perempuan pengupas bawang itu membiarkan Si Gila menuntunnya. Dia yakin ada sesuatu yang hendak ditunjukkan Si Gila.
Beberapa meter sebelum sampai di lapak Mak Acem, mata perempuan pengupas bawang langsung menangkap sesosok tubuh tergeletak. Semakin dekat semakin jelas dia melihat wajah itu. Dia yakin itu perempuan yang sering terlihat membantu Mak Acem. Pandangan perempuan pengupas bawang beralih ke kaki Asih. Melihat lumuran darah, tak kepalang dia terperanjat kaget. Cengkraman tangan Si Gila terlepas, setengah berlari perempuan pengupas bawang melesat lebih cepat mendahului Si Gila.
Perempuan pengupas bawang itu segera mendekati Asih. Si Gila masih tertinggal beberapa langkah di belakang. Dia menepuk-nepuk pipi, mencoba membangunkan Asih yang hampir tak sadarkan diri, lalu memeriksa detak jantung, denyut nadi dan embusan nafas Asih. Syukur, dia menemukan masih terdapat tanda-tanda kehidupan pada Asih.
"Tolong...! Tolong...! Tolong...!" teriak perempuan pengupas bawang. Si Gila terpancing ikut histeris, kembali menjerit-jerit dengan suara parau, membantu mengundang perhatian orang sekitar pasar.
"Tolong....!"
Jeritan dua perempuan saling bersahutan, meminta pertolongan, berhasil mengundang perhatian orang-orang di pasar. Beberapa lelaki perempuan, pedagang dan orang-orang yang hendak belanja, berdatangan.
"Ada apa Bu?" tanya seorang lelaki paruh baya.
"Tolong dia!"
Perempuan pengupas bawang bersama dua pria segera membopong dan membaringkan Asih di atas lantai beralas kardus. Seorang perempuan berkerudung cokelat tua ikut mendekati, begitu dekat.
"Kenapa? Apa yang terjadi dengannya?"
"Saya juga tak tahu persis apa yang terjadi. Si Gila ini yang menunjukkan pada saya," jawab perempuan pengupas bawang.
"Sepertinya pendarahan. Mungkin akan segera melahirkan," perempuan berkerudung cokelat tua memeriksa perut dan kaki Asih. "Cepat cari pertolongan, bidan, dokter atau siapa saja yang bisa membantu!" tambahnya, sedikit panik.
"Jang Dedi, tolong panggilkan Mak Ecin! Sekalian juga susul Mak Acem!" pinta perempuan pengupas bawang pada Jang Dedi, pemuda yang ikut membantu membopong Asih. Pemuda itu berdiri melongo, sedikit kebingungan tak tahu apa yang mesti diperbuatnya lagi. Mendengar intruksi dari perempuan pengupas bawang, Jang Dedi bergegas memanggil kedua perempuan yang barusan disebutkan.
Sepuluh menit kemudian pemuda itu datang bersama Mak Acem, tapi tak diikuti Mak Ecin. Paraji itu sedang membantu persalinan di daerah Kiaracondong, lumayan jauh, sekitar dua kilometer dari rumahnya. Tak ada waktu banyak untuk menyusul dan membawa Mak Ecin.
"Astagfirullah ya Allah, apa yang terjadi dengannmu Neng?" Mak Acem menghampiri, membelai kepala dan mengusap-usap pipi Asih. Gurat kesedihan menyembul di kerut keningnya manakala mendapati naas keadaan perempuan yang telah dianggap anaknya sendiri.
"Mak Ecin mana Jang?" perempuan pengupas bawang mencari ke berbagai arah, tak mendapati kehadiran paraji itu yang diharapkan dapat membantu persalinan Asih.
"Tak ada, sedang ke Kiaracondong, ada yang melahirkan di sana," jawab Jang Dedi polos dengan terengah-engah.
"Bagaimana ini?" Perempuan pengupas bawang semakin khawatir.
"Lekas kita bawa saja ke Santo Yusuf!" Seorang penarik becak menyarankan membawa Asih ke rumah sakit terdekat.
"Tak mungkin dibawa dengan becak, kondisinya sangat lemah. Bisa-bisa keguguran!" timpal perempuan berkerudung cokelat tua itu.
"Terus bagaimana Bu?" perempuan pengupas bawang menoleh ke arah perempuan berkerudung cokelat tua.
"Telpon saja rumah sakit biar ambulans datang untuk membawanya!" saran perempuan berkerudung cokelat tua.
Tanpa komando, seorang pria beranjak menuju kantor koperasi pasar. Pikirnya, di tempat ini tak ada pesawat telepon selain di kantor koperasi pasar, letaknya di lantai atas sejajar dengan kios-kios pakaian dan aksesoris. Tak berapa lama pria itu datang mengabarkan kantor koperasi masih tutup. Memang, jam-jam sepagi itu ini kantor koperasi masih tutup, dan baru buka jam enam pagi.
"Bagaimana Ceu?" tanya pria itu, menunggu instruksi selanjutnya. Dia berharap ada saran lain terbaik, secepatnya, untuk membantu Asih yang kian melemah.
"Susul saja ke Santo Yusuf, beritahukan agar ada dokter atau siapapun yang dapat membantu!" cetus perempuan berkerudung cokelat tua itu. Tanpa aba-aba lagi, pria itu bergegas menuju rumah sakit.
Asih berat membuka mata. Rintihannya makin menjadi. Kontraksi semakin terasa di perut. Sang bayi seakan sudah bosan di dalam perut dan berontak untuk keluar seolah tak sabar segera melihat dan merasakan alam dunia.
"Ini Ema, Neng! Istighfar, nyebut Neng! Nyebut!" Mak Acem menenangkan Asih.
"Nampaknya akan melahirkan, mari kita bantu!" perempuan berkerudung cokelat tua itu bergegas mengambil komando, seakan dia memahami apa yang seharusnya dilakukan pada ibu hamil kritis di ambang persalinan.
"Tunggu bidan atau dokter rumah sakit saja Bu!" cegah perempuan pengupas bawang.
"Tak ada waktu banyak! Kita tidak bisa menunggu lagi, kondisinya semakin parah, ketubannya sudah pecah, dia akan segera melahirkan!"
"Tapi bagaimana caranya? Ibu tahu? Ibu seorang bidan?"
"Bukan, tapi saya tahu sedikit," jawab perempuan berkerudung coklat tua.
"Ayo renggangkan kakinya!" suruh perempuan berkerudung cokelat tua pada Asih.
Perempuan berkerudung cokelat tua itu pernah bekerja di Bidan Yani sebagai pembantu rumah tangga, tempatnya di sebelah Terminal Cicaheum. Dia seringkali menyaksikan Bidan Yani menangani proses persalinan, dan tak jarang ikut membantu. Asih dan beberapa orang mengikuti instruksi perempuan berkerudung cokelat tua itu.
"Tarik nafas! Dorong...!"
Asih menuruti instruksi perempuan berkerudung cokelat tua itu. Nafas Asih tak beraturan, kadang cepat dan kadang lambat, diiringi keringat yang meluncur deras di kening.
Keramaian pasar terpusat di blok sayur, tepat di lapak Mak Acem. Orang-orang penasaran datang dan berlalu. Sebagian yang berada di sana terpaku mengamati, berdoa dan berharap yang terbaik bagi Asih. Sebagian lagi menyiapkan sesuatu yang dibutuhkan untuk kelancaran persalinan sesuai inisiatif masing-masing. Ada yang membawa kain, yang menyiapkan air hangat di warung kopi sebelah blok beras. Sebagian lagi yang merasa itu tak lebih penting dari tujuan mendasarnya, pergi menghindar, sekedar memberi ruang agar tak terlalu sesak. Sedangkan Si Gila hanya terpaku, tak juga berkata-kata. Mungkin dalam hati, Si Gila memanjatkan doa berharap Asih baik-baik saja, dan melahirkan dengan lancar.
"Ayo tarik nafas lagi yang panjang! Dorong! Mengejan yang kuat!" instruksi perempuan berkerudung cokelat tua.
Semakin mengejan, seolah belenggu di perut Asih seakan kian mengencang. Satu dorongan kecil di perut cukup menguras separuh tenaga yang tersisa. Asih sempat ingin menyerah, tak sanggup lagi. Rasa sakit sudah memuncak, tak kuasa lagi ditahan. Tapi semangat dan doa orang-orang, termasuk Mak Acem, seakan memercikan tenaga baru untuk Asih.
"Terus, lebih kuat! Sedikit lagi."
***
Fajar awal tengah beranjak, tangis bayi laki-laki menggelegar ke segenap penjuru pasar. Persalinan prematur yang cukup dramatis. Beberapa saat suasana menjadi sedikit berbeda. Gerimis yang mengguyur sejak kemarin sore, mendadak reda. Angin bergemuruh kecil serta merta menyahuti tangis pertama sang bayi menyapa dunia. Pertama kali mendengar suara bayinya, senyum mengembang di sudut bibir Asih. Tak terasa lagi kelelahan luar biasa itu, tak terasa lagi sakit itu, terganti oleh sebuah kebanggaan luar biasa sebab dia resmi menjadi seorang ibu.
Semua yang menyaksikan lega dari ketegangan. Si Gila menyeringai, seakan merasakan kelegaan yang sama dengan perempuan pengupas bawang ataupun perempuan berkerudung cokelat tua, dan orang-orang sekitar tempat itu. Tangis sang bayi mereda. Jang Dedi spontan meraih bayi merah itu, dengan tali ari-ari masih menjuntai. Tak ada rasa jijik atau risih, seakan bapaknya si bayi, Jang Dedi mengumandangkan azan di telinga kanan lalu ditimpali azan subuh dari masjid-masjid saling bersahutan.
"Cucuku!" bahagianya Mak Acem, dia mengusapi ubun-ubun si bayi perlahan.
Mak Acem menemukan ada yang berbeda pada bayi Asih, sedikit janggal. Ekspresi wajah bayi itu terasa kaku. Jarang berkedip dengan pandangan mata terasa kosong. Sangat jarang geliat-geliat pergerakan seperti bayi pada umumnya. Bayi itu minim bergerak, kaku seperti boneka. Menangis pun, hanya sekali saat lahir saja. Tapi lenguh nafasnya masih terasa, pertanda ada kehidupan pada si bayi. Mak Acem tak larut dalam kepenasaran mendapati kejanggalan bayi Asih, dia larut dalam kebahagiaan punya cucu baru, walaupun bukan bayi dari anak kandungnya sendiri.
"Punten-punten! Tolong beri jalan lewat!"
Seorang bidan jaga terlambat datang segera menghampiri. Dia tampak kerepotan menjinjing sekotak penuh peralatan, membelah kerumunan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Disusul dua pria berpakaian putih-putih, berjibaku dengan beberapa orang di lorong sempit pasar kerepotan membawa tandu. Asih segera dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih baik. Karena kondisi kelahiran prematur membuatnya rawan, sang bayi harus ditempatkan di inkubator untuk beberapa waktu mengikuti perawatan sang ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H