Asih berat membuka mata. Rintihannya makin menjadi. Kontraksi semakin terasa di perut. Sang bayi seakan sudah bosan di dalam perut dan berontak untuk keluar seolah tak sabar segera melihat dan merasakan alam dunia.
"Ini Ema, Neng! Istighfar, nyebut Neng! Nyebut!" Mak Acem menenangkan Asih.
"Nampaknya akan melahirkan, mari kita bantu!" perempuan berkerudung cokelat tua itu bergegas mengambil komando, seakan dia memahami apa yang seharusnya dilakukan pada ibu hamil kritis di ambang persalinan.
"Tunggu bidan atau dokter rumah sakit saja Bu!" cegah perempuan pengupas bawang.
"Tak ada waktu banyak! Kita tidak bisa menunggu lagi, kondisinya semakin parah, ketubannya sudah pecah, dia akan segera melahirkan!"
"Tapi bagaimana caranya? Ibu tahu? Ibu seorang bidan?"
"Bukan, tapi saya tahu sedikit," jawab perempuan berkerudung coklat tua.
"Ayo renggangkan kakinya!" suruh perempuan berkerudung cokelat tua pada Asih.
Perempuan berkerudung cokelat tua itu pernah bekerja di Bidan Yani sebagai pembantu rumah tangga, tempatnya di sebelah Terminal Cicaheum. Dia seringkali menyaksikan Bidan Yani menangani proses persalinan, dan tak jarang ikut membantu. Asih dan beberapa orang mengikuti instruksi perempuan berkerudung cokelat tua itu.
"Tarik nafas! Dorong...!"
Asih menuruti instruksi perempuan berkerudung cokelat tua itu. Nafas Asih tak beraturan, kadang cepat dan kadang lambat, diiringi keringat yang meluncur deras di kening.