Keramaian pasar terpusat di blok sayur, tepat di lapak Mak Acem. Orang-orang penasaran datang dan berlalu. Sebagian yang berada di sana terpaku mengamati, berdoa dan berharap yang terbaik bagi Asih. Sebagian lagi menyiapkan sesuatu yang dibutuhkan untuk kelancaran persalinan sesuai inisiatif masing-masing. Ada yang membawa kain, yang menyiapkan air hangat di warung kopi sebelah blok beras. Sebagian lagi yang merasa itu tak lebih penting dari tujuan mendasarnya, pergi menghindar, sekedar memberi ruang agar tak terlalu sesak. Sedangkan Si Gila hanya terpaku, tak juga berkata-kata. Mungkin dalam hati, Si Gila memanjatkan doa berharap Asih baik-baik saja, dan melahirkan dengan lancar.
"Ayo tarik nafas lagi yang panjang! Dorong! Mengejan yang kuat!" instruksi perempuan berkerudung cokelat tua.
Semakin mengejan, seolah belenggu di perut Asih seakan kian mengencang. Satu dorongan kecil di perut cukup menguras separuh tenaga yang tersisa. Asih sempat ingin menyerah, tak sanggup lagi. Rasa sakit sudah memuncak, tak kuasa lagi ditahan. Tapi semangat dan doa orang-orang, termasuk Mak Acem, seakan memercikan tenaga baru untuk Asih.
"Terus, lebih kuat! Sedikit lagi."
***
Fajar awal tengah beranjak, tangis bayi laki-laki menggelegar ke segenap penjuru pasar. Persalinan prematur yang cukup dramatis. Beberapa saat suasana menjadi sedikit berbeda. Gerimis yang mengguyur sejak kemarin sore, mendadak reda. Angin bergemuruh kecil serta merta menyahuti tangis pertama sang bayi menyapa dunia. Pertama kali mendengar suara bayinya, senyum mengembang di sudut bibir Asih. Tak terasa lagi kelelahan luar biasa itu, tak terasa lagi sakit itu, terganti oleh sebuah kebanggaan luar biasa sebab dia resmi menjadi seorang ibu.
Semua yang menyaksikan lega dari ketegangan. Si Gila menyeringai, seakan merasakan kelegaan yang sama dengan perempuan pengupas bawang ataupun perempuan berkerudung cokelat tua, dan orang-orang sekitar tempat itu. Tangis sang bayi mereda. Jang Dedi spontan meraih bayi merah itu, dengan tali ari-ari masih menjuntai. Tak ada rasa jijik atau risih, seakan bapaknya si bayi, Jang Dedi mengumandangkan azan di telinga kanan lalu ditimpali azan subuh dari masjid-masjid saling bersahutan.
"Cucuku!" bahagianya Mak Acem, dia mengusapi ubun-ubun si bayi perlahan.
Mak Acem menemukan ada yang berbeda pada bayi Asih, sedikit janggal. Ekspresi wajah bayi itu terasa kaku. Jarang berkedip dengan pandangan mata terasa kosong. Sangat jarang geliat-geliat pergerakan seperti bayi pada umumnya. Bayi itu minim bergerak, kaku seperti boneka. Menangis pun, hanya sekali saat lahir saja. Tapi lenguh nafasnya masih terasa, pertanda ada kehidupan pada si bayi. Mak Acem tak larut dalam kepenasaran mendapati kejanggalan bayi Asih, dia larut dalam kebahagiaan punya cucu baru, walaupun bukan bayi dari anak kandungnya sendiri.
"Punten-punten! Tolong beri jalan lewat!"
Seorang bidan jaga terlambat datang segera menghampiri. Dia tampak kerepotan menjinjing sekotak penuh peralatan, membelah kerumunan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Disusul dua pria berpakaian putih-putih, berjibaku dengan beberapa orang di lorong sempit pasar kerepotan membawa tandu. Asih segera dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih baik. Karena kondisi kelahiran prematur membuatnya rawan, sang bayi harus ditempatkan di inkubator untuk beberapa waktu mengikuti perawatan sang ibu.