****
Mungkin bagi beberapa orang, cerita ini bisa biasa saja. Seorang teman bahkan ketika saya ceritakan kisah ini mengatakan, "ah, itu mungkin hal itu sudah menjadi SOP bagi Satpam tersebut?".
Saya lantas tersenyum kecil, sambil bergumam dalam hati bahwa tidak semua hal baik dapat diatur melalui SOP.
Dahulu, saya pernah bekerja sebagai pelayan di toko komputer. Tugas saya adalah membuka pintu, dan menanyakan apa yang bisa dibantu pada konsumen dan menemani dengan segala urusannya beres.
Saya berusaha melakukannya sebaik-baiknya. Tantangan utamanya adalah saya akan menjadi sangat subyektif terhadap para konsumen yang datang.
Konsumen yang terlihat "berada" akan saya bantu dengan sepenuh hati, sedangkan yang terlihat "tak mampu", terkadang saya hanya membantu seadanya saja, dan bahkan terkesan cuek.
Suatu hari saya diajak ngopi oleh sang pemilik toko, kebetulan seorang teman tapi usianya lebih tua. Ngobrol santai tentang bagaimana pekerjaan saya dan lain sebagainya.
Menariknya adalah timbulnua  insight baru mengenai pelayanan kepada konsumen yang saya dapatkan dari obrolan tersebut, yakni bekerja dari hati dan tulus untuk orang lain.
Maksudnya begini, sebagai pekerja kita sering bekerja karena gaji atau bayaran. Itu sah-sah saja, namun di titik tertentu, dalam pekerjaan, Â kita nampak seperti robot, sehingga relasi antara teman di kantor apalagi dengan konsumen nampak kaku.
"Ya, sudah, kalau tidak mau beli ya sudah, kan tidak ada pengaruh dengan gaji yang saya terima". Begitu kira-kira.
Lalu saya dibukakan perspektif baru bahwa kesempatan bertemu dengan orang, adalah kesempatan untuk membantu orang tersebut pada saat itu dan mungkin saja tidak terulang lagi.