Semoga para pembaca yang budiman sudah tahu kisah inspiratif yang saya maksudkan. Namun untuk memastikannya saya akan menuliskannya dengan lebih singkat tentang kisah itu ini disini.
Kemarin, beberapa media menuliskan tentang curhatan bahagia seorang nasabah Bank yang kebetulan tuna rungu bernama Widi Utami (28). Widi sangat bahagia sesudah dibantu oleh seorang satpam untuk menarik tabungan di salah satu bank di Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah.
Kisah ini menarik karena tidak seperti biasanya, Widi kesulitan  melakukan transaksi di bank di tengah pandemi karena susah membaca gerak bibir disebabkan kewajiban protokol kesehatan yang membuat semua orang memakai masker.
Tak kehabisan akal, Widi lalu menyiapkan sebuah catatan untuk diberikan kepada siapapun yang dapat membantunya. Kebetulan orang yang dimintai pertolongan itu adalah bapak satpam.
Catatan yang disiapkan Widi tersebut bertuliskan demikian;
"Pak/Ibu, saya tuna rungu. Saya tidak bisa memahami omongan kalau pakai masker. Saya minta tolong ditulis aja, ya. Saya ke sini mau ambil uang Tabunganku. Terima kasih,"
Bapak satpam yang akhirnya diketahui bernama Kurniawan itu lalu membantu Widi dengan cepat, dan hebatnya juga melalui sebuah tulisan.
"Jumlahnya berapa? Buku tabungan , KTP, ATM, dibawa? Nomor antriannya berapa? Nanti kalau sudah 41 saya bantu di teller ya Bu?" tulis sang bapak satpam Kurniawan.
Singkat cerita, transaksi dapat terlaksana, setelah sang satpam sampai mau ikut menemani  dan membantu Widi di hadapan teller.
"Oleh Satpam, aku ditemani, dari mengisi slip penarikan, sampai ke teller. Satpam memberitahuku ketika nomor antrianku dipanggil, lalu menemaniku memproses transaksi di teller. Teler berbicara, satpam yang menuliskannya untukku," tulis Widi dalam cuitannya, terharu.
Lalu cerita ini akhirnya menjadi viral, bahkan sang satpam pada akhirnya diberikan penghargaan yang tak pernah diduganya.
****
Mungkin bagi beberapa orang, cerita ini bisa biasa saja. Seorang teman bahkan ketika saya ceritakan kisah ini mengatakan, "ah, itu mungkin hal itu sudah menjadi SOP bagi Satpam tersebut?".
Saya lantas tersenyum kecil, sambil bergumam dalam hati bahwa tidak semua hal baik dapat diatur melalui SOP.
Dahulu, saya pernah bekerja sebagai pelayan di toko komputer. Tugas saya adalah membuka pintu, dan menanyakan apa yang bisa dibantu pada konsumen dan menemani dengan segala urusannya beres.
Saya berusaha melakukannya sebaik-baiknya. Tantangan utamanya adalah saya akan menjadi sangat subyektif terhadap para konsumen yang datang.
Konsumen yang terlihat "berada" akan saya bantu dengan sepenuh hati, sedangkan yang terlihat "tak mampu", terkadang saya hanya membantu seadanya saja, dan bahkan terkesan cuek.
Suatu hari saya diajak ngopi oleh sang pemilik toko, kebetulan seorang teman tapi usianya lebih tua. Ngobrol santai tentang bagaimana pekerjaan saya dan lain sebagainya.
Menariknya adalah timbulnua  insight baru mengenai pelayanan kepada konsumen yang saya dapatkan dari obrolan tersebut, yakni bekerja dari hati dan tulus untuk orang lain.
Maksudnya begini, sebagai pekerja kita sering bekerja karena gaji atau bayaran. Itu sah-sah saja, namun di titik tertentu, dalam pekerjaan, Â kita nampak seperti robot, sehingga relasi antara teman di kantor apalagi dengan konsumen nampak kaku.
"Ya, sudah, kalau tidak mau beli ya sudah, kan tidak ada pengaruh dengan gaji yang saya terima". Begitu kira-kira.
Lalu saya dibukakan perspektif baru bahwa kesempatan bertemu dengan orang, adalah kesempatan untuk membantu orang tersebut pada saat itu dan mungkin saja tidak terulang lagi.
Artinya jika kita berbuat baik atau sungguh-sungguh dalam pelayanan terhadap orang lain pada saat ada kesempatan, maka itulah esensi pekerjaan sesungguhnya.
Sesudah perbincangan tersebut, pekerjaan membuka pintu, menyapa dan membantu orang menjadi lebih menarik bagi saya dan saya lakukan dengan gembira.Â
Setiap kedatangan orang dan pertemuan adalah kesempatan untuk berbuat baik.
Meskipun, orang itu nampak hanyalah seorang konsumen yang "biasa-biasa" saja, namun ketika dia keluar dari toko dan terlihat bahagia dengan pelayanan kita, itu saja sudah sangat membahagiakan. Pelayanan yang menyentuh hati.
Cara pandang inilah yang membuat saya respek dengan Bapak Kurniawan, sang satpam ini.Â
Kesempatan yang sama bisa datang di satpam yang lain, tetapi respon dari orang lain bisa saja berbeda. Keramahan, ketulusan juga bisa berbeda, tergantung perspektif kita terhadap pekerjaan tersebut.
Jika pada akhirnya Widi terharu, Kurniawan tentu telah melakukan tugasnya dengan baik.
Apresiasi yang didapat Kurniawan dari bank hanyalah insidentil, tetapi pengalaman hidup melakukan sesuatu bagi nasabah dan nasabah itu merasa sangat diberkahi dan senang, nilainya akan melebihi apresiasi apapun.
****
Mari kita bergeser ke Widi, sang nasabah.Â
Respon terhadap pelayanan dari sang Satpam yang baik hati, tidak ingin saya komentari lebih jauh.
Akan tetapi keinginan untuk datang ke bank dan dengan berani menuliskan sesuatu untuk bertransaksi sangat saya hargai. Angkat topi.
Sekarang saya bekerja sebagai pelatih, lebih banyak sebagai pelatih tukang kayu.Â
Beberapa kali saya mendapat kesempatan melatih rekan-rekan difabel untuk menjadi tukang furniture.
Yang ingin saya katakan adalah saya memang telah memberi ketrampilan kepada para sahabat-sahabat ini, tetapi saya belajar semangat dan keberanian dari mereka, hari demi hari.
Ada beberapa tulisan tentang ini yang saya sudah tuliskan di kompasiana.Â
Seperti seorang rekan disabilitas yang tak memiliki anggota tubuh yang lengkap, seperti kaki, tetapi dengan kedua tangannya, pahatan kayu dibuatnya dengan sangat rapi, hingga tersambung membentuk kursi atau meja yang indah.
Ini tentu menginspirasi rekan-rekan difabel yang lain, tetapi juga menginspirasi saya sebagai pelatih atau instrukrur.Â
Kita memang berbeda karena anggota tubuh yang lengkap, tetapi keberanian, keinginan yang kuat membuat perbedaan itu hampir terasa tidak ada.
Terakhir, mau tidak mau saya sepakat dengan pesan Widi dari cerita inspiratifnya ini.Â
Hari demi hari, fasilitas dan layanan harus terus ditingkatkan untuk para pelanggan difabel. Ini adalah pekerjaan rumah bersama yang terus diupayakan hari demi hari.
Di balai latihan kerja kami, saya termasuk yang terus berpikir keras untuk menyiapkan cara dan metode, jikalau ada sahabat difabel yang ingin belajar.Â
Kami siap menerimanya, disesuaikan dengan tingkat difabelnya.
Terima kasih Widi, dan Pak Satpam Kurniawan untuk kisahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H