Kamis, dua minggu yang lalu. Saya diminta untuk membantu menyeleksi calon siswa untuk belajar membuat mebel di bengkel kayu, kami menyebutnya pelatihan teknisi mebelair.
Saya memang sering membantu manajemen menyeleksi, tapi terkadang karena adanya siswa titipan, membuat saya malas untuk ikut terlibat. Sudah capek saya bersuara, bahwa pelatihan untuk semua orang dan tepat untuk yang membutuhkan.
"Kali ini tidak ada titipan pak Arnold, kita memang harus berubah. Calon siswa kali ini murni, ayo yolong seleksi" kata Pak Zaka, Zakarias nama lengkapnya, mencoba membujuk saya.
Tak berapa lama, lima siswa sudah duduk rapi. Mereka gelombang pertama untuk saya seleksi. Sampai ke orang keempat, proses seleksi berjalan baik, setelah soal tertulis dikerjakan, saya mewawancarai mereka.
Keempatnya rata-rata anak muda yang tidak bisa melanjutkan ke perkuliahan karena kemampuan finansial orang tua.Â
Mereka tertarik belajar mebel karena beberapa postingan saya di media sosial mempengaruhi mereka. Mereka ingin agar dapat meraih penghasilan sesudah mendapat keterampilan. Saya tentu senang dengan profil awal siswa seperti ini.
Sampai ke calon siswa ke lima, mata saya harus cukup lama melihat gerak-geriknya. Lelaki berusia 20-an, berambut ikal  yang geraknya agak  lamban dalam melangkah, seperti ada batu yang terikat di kakinya.
"Mari duduk sini kaka" kata saya padanya. Kursi di depan saya digesernya sedikit dan dia langsung duduk.Â
Wajahnya terlihat ragu, sedikit takut.
"Niko....." Saya menebak nama panggilannya dari nama lengkapnya.
"Iya pak.." Setelah itu saya dan dia berdiskusi tentang motivasi dan latar belakang keluarga.Â
Ayahnya pegawai negeri tetapi bukan sekelas bos, mantan honor sekian lama yang diangkat menjadi  penjaga kantor, ibunya adalah seorang  ibu rumah tangga.
Niko bercerita bahwa dirinya tertarik menjadi tukang mebel karena halaman rumah mereka disewa "paman", untuk membuka usaha mebel. Â "Paman" adalah panggilan untuk orang Sulawesi atau Jawa yang membuka usaha mebel sendiri tetapi menyewa pekarangan warga.Â
Niko ingin suatu saat dapat menggantikan "Paman", di pekarangan rumah milik keluarganya.
"Pernah kuliah.?."
"Tidak pak.." jawab Niko, saya sempat menanyakan mengapa tidak berkuliah, Niko tidak menjawab.
Saya lantas membalikan-balik berkasnya, pendidikan terakhirnya memang SMA, tetapi mata saya sempat terpaku saat saya melihat ada tulisan SLB disitu. Sekolah Luar Biasa.
Di benak saja, saya tidak akan menolak Niko, apalagi sekitar dua atau tiga tahun lalu saya pernah mengajar satu kelas rekan-rekan difabel, aman-aman saja.
 Hanya, saya harus memastikan jenis difabel apa yang dipunyai Niko sehingga saya bisa mendisain jenis job sheet (lembar kerja praktik) yang cocok baginya.
Selain itu, saya juga perlu memastikan jenis difabel bukanlah yang non fisik, karena banyaknya mesin dengan peralatan tajam disini.Â
Saat pelatihan kerjasama dengan dinsos dahulu, pernah sekali, seorang anak yang secara fisik baik-baik saja menggergaji tangannya sendiri dengan gergaji tangan, kami meminta untuk dikembalikan, karena persoalan non fisik (cacat mental) susah kami prediksi dan kami latih.
Saya menarik nafas lebih dalam, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk mengetahui jenis disabilitas yang dialami Niko. Saya tidak mau menyinggung perasaannya.
"Niko...pernah sekolah di SLB?" Berusaha mengonfirmasi.
Keringat Niko mulai keluar, besar sekali keringatnya, meski tidak sebeser kelereng. Kali ini, wajahnya juga terlihat tegang.
"Iya pak..tapii.." Niko nampak memelas, mungkin beroikir saya akan melarangnya.
"Tidak Niko, jangan kuatir, saya tidak akan menolak Niko, hanya saya perlu tahu, Niko mengapa sekolah di SLB"
Secara kasat mata, tidak terlihat ada masalah di fisik, prediksi saya, telingat, Niko mengidap tuli. Tetapi saya juga ingat, biasanya saudara yang tuna rungu, sulit bicara, tapi kali ini Niko bisa kok bicara, bahkan cukup lacar.
Niko menyeka keringatnya, dua jarinya bersentuhan, dengan irama tertentu. Masih tegang.
"Oh...saya ulangi ya Niko, mengapa Niko, masuk di SLB, apa Niko tahu alasannya?"
Mata Niko menatap saya agak lama. Saya sabar menunggu jawaban dari Niko yang hari itu mengenakan kaos berwarna merah, bertuliskan confidence.
"Eee...saya tidak bisa membedakan B dan P pak" jawab Niko.
"Oooo....."
Betulkah jawaban Niko? Bagaimana jika lebih parah dari itu? Syukur saya jadi ingat, Ambros, calon siswa yang lebih dahulu saya wawancarai. Ambros ini rumahnya berdekatan dengan Niko, di daerah Belo, sekitar 6 atau 7 km dari lokasi BLK, tempat saya bekerja.
"Ambros ke sini.." . Ambros nampak bingung.
"Ambros berteman kan sama Niko?" . Ambros mengangguk.
Saya mengambil wakti sedikit berdiskusi dengan Ambros di ruang instruktur, Niko saya minta menunggu sebentar.
"Ambros, ceritamu kamu pernah kerja dengan Niko bantu-bantu paman, Niko itu aman kalo kerja pake alat"
"Aman pak.." kata Ambros berusaha meyakinkan saya.
"Kamu tahu dia pernah sekolah di SLB"
"Iya pak, di kelas khusus, kata orang di kampung"
"Kamu tahu kenapa?"
"Tidak tahu pak, hanya dia memang agak lamban" kata Ambros.
"Sip.., makasih Ambros".
Ketika duduk kembali di depan Niko, Niko terus memandang saya. Mata coklatnya nampak basah, seperti mau mengiba. Saya pikir Niko tidak harus begitu, saya ingin dia masuk kelas kali ini, saya yakin ada sesuatu soal Niko. Untuk mengetahuinya, Niko perlu di kelas.
"Niko..dari hasilnya, Niko akan kami terima, jangan matikan HP, jaga kesehatan ya"
Saya langsung memberikan jabat tangan padanya. Niko tersenyum, dan mencari Ambros. Mereka berdua memang berboncengan motor. Cerita Ambros, itu motornya Niko, tapi karena Niko tidak bsia mengendarai motor, maka Ambros yang mengendrai motor itu dari kampung mereka ke BLK setiap harinya.
Hari Senin lalu, pelatihan sudah dimulai. Ada Niko dan tentu saja Ambros di antara 16 siswa.
Disain  tugas praktik di awal pelatihan mebel kami ini memang sederhana, Siswa akan kami berikan Job memahat balok kayu meranti ukuran 40 cm x 5 cm dengan ketebalan 4 cm. Ada gambar segitiga dengan kedalaman yang berbeda. Tugas ini untuk melatih mereka menggaris, mengguris dan juga memahat.
Sebagai instruktur kayu, kami tidak boleh terlalu mengintervensi apalagi mengerjakan buat siswa, kami ingin siswa bisa berusaha sendiri dan akhirnya kami dapat mengetahui kemampuan awal dari masing-masing siswa.
Keenambelas siswa, terlihat bersemangat. Dari jauh kami mengawasi dan akan datang jika ada di antara mereka yang  menemui kesulitan soal teknik memahat hingga mengecek garis.
Dari jauh, terlihat Niko amat serius memahat. Jujur, Â Niko memang agak lamban menggaris, memegang siku, akan tetapi bagi sayasebenarnya yang lain juga begitu, hanya Niko memang sedikit membutuhkan sedikit banyak penjelasan.Â
Setelah semua siswa selesai menggaris, Â mereka sudah boleh mulai memahat.
Sore itu, di meja saya,  sudah terkumpul tujuh pahatan  yang sudah selesai untuk dikoreksi, artinya masih ada 9 yang belum.Â
Belum dituliskan nama di balok hasil pahat tersebut.
Dua hasil kerja saya kembalikan, standarnya terlalu minim, jadi harus dikerjakan ulang.Â
Lalu Sesudah  saya mengecek dan melihat dari lima pahatan kayu tersebut ada tiga pahatan yang amat rapi.
"Punya siapa ini.?."
Viktor dan Dejan mengangkat tangan. Memang kedua siswa yang ini memang agak menonjol.
"Yang satunya?"
Belum ada yang mengangkat tangan untuk sesaat, tanpa diduga, Niko yang mengangkat tangan.
"Punya saya pak Arnold" jawab Niko.
"Oh..Niko".
"Hebat". Niko tersenyum, senyuman pertama di hari ketiga di bengkel dari seorang Niko.
Sudah sore dan para siswa sudah pulang semua.
Saya melangkahkan kaki dan kembali melihat hasil kerja. Pahatan Niko memang rapi, teknik asah pahatnya bagus, teknik pahatnya juga tepat, garis kayu tampak tegas.
Sudah kuduga, Saya akan menemukan sesuatu dari Niko.
Hari ini, kelas berlangsung setengah hari.
Di job kedua, membuat sambungan sudut. Hasil kerja Niko tidak terlalu memuaskan saya. Pahatannya ternyata kurang rapi, atau mungkin ekspetasi saya yang terlalu tinggi buatnya.
Saya berdiskusi dengan Ambros, mengapa Niko. Dia tampak kurang bahagia.
"Ayahnya tidak mengijinkannya belajar mengenderai motor, takut dia jatuh karena keseimbangan yang dianggap masih lemah".
"Niko..." panggil saya pada dirinya yang sedang asyik membereskan meja kerja di bengkel.
Niko mendekat.
"Aman...?" tanya saya sambil tersenyum. Kata "aman" dari saya, dimengerti siswa untuk pertanyaan di luar kelas, keluarga dan yang lain. Mereka sudah pahm soal itu.
"Aman pak ..." balas Niko, juga sambil tersenyum.
"Esok perbaiki ya yang pahatan tadi, ayo..seharusnya bisa lebih bagus".
Niko  tersenyum. Salah satu siswa  yang bisa tersenyum di kelas meski nampak lelah. Saya tentu senang melihat Niko tersenyum.
"Eh Niko...maaf saya lupa, dulu kamu kenapa masuk  kelas khusus?: tanya saya sedikit berbisik.
"Saya tidak bisa membedakan B dan P pak". Kali ini NIko menjawab lebih santai tanp berkeringat.
"Oh...ah, itu soal kecil, rasanya kamu bisa jadi tukang mebel hebat".
"Toss". Kami lantas saling toss.
Niko tersenyum.
Saya dan Niko masih akan sebulan lagi di bengkel ini. Saya yakin, suatu saat dia akan jadi tukang mebel hebat.
Cerita kecil dari bengkel kayu.
Ah, selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H