"Niko...pernah sekolah di SLB?" Berusaha mengonfirmasi.
Keringat Niko mulai keluar, besar sekali keringatnya, meski tidak sebeser kelereng. Kali ini, wajahnya juga terlihat tegang.
"Iya pak..tapii.." Niko nampak memelas, mungkin beroikir saya akan melarangnya.
"Tidak Niko, jangan kuatir, saya tidak akan menolak Niko, hanya saya perlu tahu, Niko mengapa sekolah di SLB"
Secara kasat mata, tidak terlihat ada masalah di fisik, prediksi saya, telingat, Niko mengidap tuli. Tetapi saya juga ingat, biasanya saudara yang tuna rungu, sulit bicara, tapi kali ini Niko bisa kok bicara, bahkan cukup lacar.
Niko menyeka keringatnya, dua jarinya bersentuhan, dengan irama tertentu. Masih tegang.
"Oh...saya ulangi ya Niko, mengapa Niko, masuk di SLB, apa Niko tahu alasannya?"
Mata Niko menatap saya agak lama. Saya sabar menunggu jawaban dari Niko yang hari itu mengenakan kaos berwarna merah, bertuliskan confidence.
"Eee...saya tidak bisa membedakan B dan P pak" jawab Niko.
"Oooo....."
Betulkah jawaban Niko? Bagaimana jika lebih parah dari itu? Syukur saya jadi ingat, Ambros, calon siswa yang lebih dahulu saya wawancarai. Ambros ini rumahnya berdekatan dengan Niko, di daerah Belo, sekitar 6 atau 7 km dari lokasi BLK, tempat saya bekerja.