Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tumbal Arwah Jelangkung - 2

16 Februari 2016   19:35 Diperbarui: 17 Februari 2016   17:40 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Hoaamm...“ Lina menguap lebar. Dirinya barusan turun dari ranjangnya.

Matanya dimelekkan ke arah jam dinding. Ternyata, waktu menunjukkan pukul 06.00, sedangkan sekolah masuk pukul 07.15. Lina terburu-buru menuju kamar mandi dengan baju piyama masih menempel di badan. Usai mandi, dia berlari ke kamar untuk memakai baju sekolah. Keluar dari kamar pun, Lina masih dalam keadaan kurang rapi. Seragam sekolahnya masih belum dimasukkan ke dalam roknya. Rambut panjangnya belum tersisir rapi.

“Lina, ya ampun. Lihat penampilan kamu. Seperti bukan anak sekolah saja.“ omel ibunya yang sedang menyiapkan sarapan pagi.

Dia menoleh ke cermin sebentar. Benar yang dikatakan ibunya. Dia segera mengambil sisir yang berada di sebelah cermin itu kemudian merapikan seragamnya. Yakin penampilannya sudah cukup rapi, dia langsung menuju meja makan. Di sana, Rafly—adiknya dan ayahnya, duduk di meja makan, menunggu ibu menyiapkan sarapan pagi.

“Kakak, ada apa sih teriak-teriak di kamar tadi malam?“

“Jadi kamu dengar juga?“

“Ya jelas dengarlah. Sebenarnya, aku juga mau ke kamar kakak memastikan apa yang terjadi. Tapi, aku juga mengantuk sekali, jadi aku biarkan saja. Mungkin kakak sedang bermimpi buruk.“ tutur Rafly sambil memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

“Semalam kakak bermimpi, seorang perempuan hendak membunuhku. Saat kakak mau melarikan diri, tiba-tiba kaki kakak tidak bisa bergerak. Disitu, dia langsung mengambil kesempatan mencekik seperti ini,“ katanya sambil berpura-pura mencekik leher adiknya.

“Ah, sudahlah kak,“ Rafly menyingkirkan tangan kakaknya yang hendak mencekiknya. “Lagian itu cuma hanya mimpi saja, lihat sudah jam berapa ini?“ pungkasnya sambil melirik ke jam dinding.

“Oh ya.“ Lina langsung menghabiskan nasi yang tertinggal di piringnya. Ia langsung meneguk susu yang disediakan ibunya.

“Kami pergi ya, bu!“ sorak mereka bertiga sambil melambaikan tangan usai berpamitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun