Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tumbal Arwah Jelangkung (1)

14 Februari 2016   18:58 Diperbarui: 10 April 2016   19:11 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Gerakan badan Donni berayun lincah. Sepatu Sport-nya berdecit menggesek lantai semen. Sorot matanya begitu tajam, mencari celah-celah kecil di antara adangan badan William dan teman-temannya. Donni mampu mengecoh pertahanan mereka hingga mencetak three point melaluishooting keras ke ring basket.

“Skill-mu memang enggak bisa dilawan, Don. Kalau begitu, kita lanjutin besok aja ya. Soalnya aku sudah capek banget.” ujar William sambil memasukkan kain lap ke dalam tasnya.

“Ya sudah. Aku pun juga lelah. See you tomorrow, bro. Be careful.” tutup Donni seraya memanggul tas punggungnya.

William dan teman-temannya telah meninggalkan lapangan basket. Doni tinggal sendirian di sana. Setelah semuanya benar-benar sepi, Donni melangkahkan kaki menuju semak-semak yang berada di belakangnya. Ia meraih boneka yang tergeletak tak jauh dari sana.

Ini dia yang kucari. Ujar batin Donni.

Teman-teman Donni berkumpul tepat waktu. Seperti yang telah disepakati, mereka akan melakukan ritual pemanggilan arwah jelangkung pada Malam Jumat pukul sepuluhdi sebuah rumah kosong terbengkalai kira-kira tujuh tahun lamanya.

“Don, kamu yakin gak akan terjadi apa-apa?“ tanya Lina ragu.

“Gak bakal terjadi apa-apa. Ini cuma sebentar, kok. Setannya bisa usir kalau kita sudah selesai bertanya,“ jawab Donni tenang.

“Iya, betul kata si Donni. Ini ‘kan cuma permainan. Kalau sudah selesai kita bertanya, arwahnya bakal pergi sendiri kok. “ timpal Heru.

“Bagaimana nih? Udah bisa dimulai gak? Dari tadi ribut melulu.“ gerutu Prakoso.

                Shanti sudah menyiapkan perlengkapan ritual. Pulpen, kertas, boneka perempuan, sebuluh bambu serta segulung tali rafia. Bambu diikatkan pada bagian badan. Tidak lupa, pulpen diikat di bagian ujung bambu. Donni siap memegang bagian badan. Shanti dan Heru memegang bagian tangan. Lina dan Prakoso di bagian kaki.

                “Kalian sudah siap?“ tanya Donni.

                “Tunggu dulu, Don,“ sela Lina.

                “Ada apa lagi, Lina?“

                “Ka-kalau boleh tahu, kamu dapat darimana boneka ini?“

                “Aku temukan boneka ini dipinggir jalan dekat sungai kecil. Sudah jelas? Bisa kita mulai sekarang?“

                Tak terdengar lagi pertanyaan dari siapapun. Mereka sudah siap memulai ritual. Mereka serempak mengucapkan mantra pemanggilan arwah jelangkung untuk merasuki media boneka.

                Jelangkung jelangset di sini ada pesta

                pesta kecil kecilan

                Jelangkung jelangset

                datang tak dijemput pulang tak diantar...

                Mereka terus menerus mengucapkan mantra hingga muncul reaksi dari boneka. Boneka mulai bergoyang. Sepertinya, arwah dari dunia lain mencoba berkomunikasi dengan pemanggilnya. Awalnya pelan, semakin lama semakin kencang goyangannya sehingga mereka harus kuat menahannya.

                “Don, bonekanya mulai bergerak. Turunkan pelan-pelan.“ perintah Prakoso pelan.Perlahan tapi pasti, mereka mengarahkan boneka ke atas kertas.

“Siapa yang mau nanya duluan?“

“Aku, Don!“ jawab Heru.

“Tidak, Her. Aku dulu. Aku punya pertanyaan penting mengenai pacarku, Sandy.” potong Shanti.

“Hey, hey, kenapa kalian ribut begini? Tenang, semua pasti dapat giliran.” lerai Donni.

                Lina tak peduli dengan pertengkaran mereka. Matanya waspada mengamati sekeliling ruangan tamu. Prakoso jengah melihat tingkah teman-temannya. Pandangan mata Linaterpakupada sekelebat hitam berdiri tak jauh dari jendela tak berkaca.

                “Kalian harus mati...” gumam makhluk halus bergaun hitam.

                Bola mata Lina terbeliak. Donni yang melihat perilaku aneh Lina, mencoba memanggil namanya hingga tiga kali. Ketika Lina menoleh ke arah Donni, angin mendadak berembus kencang, menggerak-gerakan bingkai jendela tanpa kaca. Gerakan boneka semakin menjadi-jadi. Mereka berlima berusaha menahan gerakannya, tapi mereka terpental jauh, demikian dengan boneka itu. Angin perlahan mulai mereda. Mereka berusaha bangkit meskipun badan masih terasa sakit akibat menahan gerakan boneka.

                “Aduh..., pinggangku sakit!“ keluh Prakoso sambil meringis memegang pinggangnya.

                “Di mana boneka itu?!“ ucap Doni panik.

                Mendengar apa yang dikatakan Doni, sontak mereka bangkit berdiri, mencari-cari boneka yang mendadak hilang. Suasana ruang depan begitu mencekam ketika mereka melakukan pencarian.

                “Ini dia Don!“ tunjuk Prakoso. Ternyata, boneka itu berada di luar rumah dengan posisi menancap di tanah. Donni setengah berlari mengambil boneka itu.

                “Kelihatannya kita harus pulang. Aku merasa tidak enak berlama-lama di sini.“ ujar Donni sambil mengoper boneka pada Prakoso.

                “Shan, masukkan alat-alat sama boneka ini ke tasmu.“ perintah Prakoso seraya memberikan boneka pada Shanti.

                Shanti memasukan semua peralatan ke dalam tasnya termasuk boneka jelangkung yang diberikan Prakoso. Lina masih shock karena kejadian tadi, berjalan sambil memegang erat pergelangan tangan Doni.

                “Jangan parno gitu lah, Lin. Biasa aja.“ ketus Doni.

                Lina melepas pegangannya pada tangan Doni, berjalan normal seperti biasanya. Rasa was-was menghantui pikiran Lina. Saat dia berjalan, matanya masih jeli mengamati apa yang ada di sekitarnya. Tiba-tiba Lina terhenti.

                Aku akan menjemput kalian semua ke alamku...

                Suara bisikan pelan terdengar oleh Lina. Ia menengok kepada teman-temannya.

                “Kalian dengar suara itu, ada suara aneh yang bilang kalau kita akan—“

                “Sudahlah Lina, tak bisakah dirimu tenang sebentar saja?! Jangan kayak orang sakit jiwa gitu deh!“ caci Prakoso.

                “Tapi, aku beneran dengar sendiri kok, Kos! Sumpah!“ ucap Lina mengotot.

                “Sudah cukup, Lin. Soal itu, nanti saja bicarakan kalau kamu sudah sampai di rumahmu.“ tandas Donni.

                Mereka sudah berada di pekarangan rumah. Untung saja, rumah Lina tak jauh dari rumah kosong itu, hanya berjarak 200 meter. Sedangkan,keempat kawannya pulang menaiki sepeda motor. Tetap saja hal yang barusan dialami Lina hampir membuatnya histeria. Ia memilih mempercepat laju kakinya. Pukul 23.10, dia sudah berada di rumahnya. Lina beberapa kali mengetuk pintu.

                Tok, tok, tok!

                Dari dalam rumah, ibunya sudah datang membukakan pintu.

                “Kamu dari mana saja, nak? Sudah larut malam begini kamu baru pulang?“

                “Tadi, banyak banget tugas kelompok yang harus dikerjakan, bu, jadi pulangnya agak larut.“ sahut Lina.

                “Ngomong-ngomong, kenapa kamu kelihatan gelisah, nak? Wajahmu kelihatan pucat.“

                “Ah, gak apa-apa kok, bu. Cuma masuk angin aja.“

                Lina langsung melewati ibunya menuju kamar tidur. Ibunya heran melihat tingkah laku anaknya, namun dia tak mengetahui apa sebabnya. Sambil menghela nafas, ibunya kembali mengunci pintu rumahnya.

                Untuk menghilangkan kegelisahan, Lina mencuci muka sambil menggosok gigi. Sesudah itu, Lina mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. Ditariknya selimut, Lina mulai memejamkan matanya.

                Dua puluh menit telah berlalu. Lina terlelap dalam tidurnya. Tanpa disadari, dia sudah berada di sebuah hutan sunyi. Dia masih bingung kenapa dirinya bisa ada di sana. Dia berjalan pelan sambil mengamati yang ada di sekelilingnya. Suasana hutan remang-remang dan suram. Dia merasakan hawa mistis yang terkandung  dalam hutan meningkat pesat. Ditambah suara-suara aneh yang membuat bulu kuduknya merinding.

                Lina tak sengaja melihat seorang wanita sedang dipukuli dan disiksa tiga wanita. Kondisi wanita itu begitu memprihatinkan. Matanya sembab. Seragam SMA yang dikenakan kumal. Rambut panjangnya awut-awutan. Pemandangan miris itu membuat hatinya tergerak. Dia segera berlari menuju lokasi untuk menghentikan perbuatan mereka. Setibanya di sana, Lina mencoba melerai tapi mereka tak menghiraukannya. Bahkan, tak memperdulikan sekalipun Lina berteriak di depan mereka. Mereka bertiga terus saja menyiksa perempuan itu lalu menusukkan pisau ke perut perempuan malang itu.

                “Hey, kenapa kalian membunuhnya?! Jawab aku!“ pekik Lina.

                Mereka kelihatan panik dan berlari meninggalkan perempuan itu. Lina sedari tadi hanya bisa menyaksikan perempuan itu dibunuh. Ia hendak mendekati mayat perempuan itu. Saat didekati, sepasang bola mata perempuan itu terbelalak. Lina terperanjat. Dan tak kalah mengerikan, dia berdiri tegak menatap dingin dan penuh amarah pada Lina dengan kondisi pisau masih menancap di perut.

                “Kamu! Kenapa kamu tak mencegah mereka?!“

                “A-a-aku su-sudah me-mencoba me-menolongmu tapi  mereka tapi memperdulikan omongku,“ jawab Lina terbata-bata. Ia tak mampu menahan gemetar kengerian yang menyergap dirinya.

                “Bohong! Aku tidak percaya! Kau juga harus mati!“

                “ Ja-jangan... Jangan bunuh aku... Aku tidak melakukan apapun kepadamu... Tolong jangan bunuh aku... Kumohon!“ jerit Lina sambil memohon agar dia tak membunuhnya.

                “Tidak! Kau harus menerima hukuman atas perbuatanmu! Hahahaha!“ perempuan menatap Lina beringas seraya mengeluarkan tawa menggelegar.

                Lina mencoba memundurkan kakinya. Ia ingin berlari ke mana saja asal dirinya terbebas dari maut. Namun sial. Langkah kakinya tiba-tiba terhenti. Badannya membeku bagai patung. Tak ada yang bisa dilakukannya. Dia tetap saja tak bisa menggerakkan badannya, sedikitpun. Hanya ada peluh dan tetes air mata di sudut pelupuk mata. Berharap Tuhan menolong dirinya.

                Ternyata salah besar. Keadaan Lina yang tak berdaya, malah membuat perempuan itu senang. Ia tertawa lebar seolah-olah mangsanya sudah siap untuk dieksekusi. Dicengkramnya leher Lina kuat sehingga napasnya sesak.

                “To-to-long...“ gumamnya terputus-putus. Ia tak bisa berbuat banyak untuk melepaskan dirinya.

                Suara teriakan dan lenguhan Lina terdengar oleh orang tuanya. Mereka segera bergegas menuju kamar anaknya. Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri, Lina mengigau seperti orang yang dicekik lehernya.

                “Lina! Bangun nak!“ teriak ibunya sambil menggoyang-goyangkan badan anaknya.

                “AKH!“ Lina terbangun dari mimpi buruknya. Ketika itu, wajahnya terlihat pucat seputih tisu.

                Melihat wajah anaknya yang pucat, sang ayah segera mengambil air hangat lalu diberikan pada anaknya.

                 “Ada apa dengan kamu, nak? Kamu mimpi buruk?“ ibunya bertanya setengah panik.

                “I-i-iya, bu. Ada perempuan yang mau mencekik aku, bu. Wajahnya menyeramkan sekali,“ jawabnya gagap.

                “Makanya kalau mau tidur, jangan lupa berdoa. Kalau lupa, ya jadinya sepeti tadi,“ ujar ibunya. Lina hanya mengangguk pelan, mengiyakan nasihat ibunya.

                “Ya sudah. Ibu dan bapak balik ke kamar.“

                Setelah kedua orang tuanya meninggalkan kamar, Lina menutup pintu kamar dan berdoa selama dua menit. Meski sudah berdoa, masih saja terlintas di benaknya, wajah perempuan yang hendak membunuhnya dalam mimpinya.

                “Aku harus memberitahu teman-teman... ya harus.“ gumamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun