Tamat memandang Varlo dengan tatapan bingung.
***
Melalui jaringan internet, toko buku, dan kios-kios penjualan koran, Tamat mempromosikan serta menitipkan buku kumpulan cerpen-nya yang berjudul "Tamatlah Riwayat Sastrawan".
Ia juga berusaha menawarkan buku-buku tersebut kepada kawan-kawan-nya, namun yang terjadi adalah Tamat mendapatkan dukungan moral saja, namun tidak dengan transaksi komersial.
Ketika Tamat mencoba menjual bukunya kepada sesama penulis, hal yang terjadi adalah ia malah ditawari membeli karya rekan-nya tersebut.
Hari-hari pun terlewati begitu saja tanpa perubahan berarti. Buku Tamat memang ada yang beli, sejumlah teman-nya yang merasa kasihan saja.
Anehnya, pembeli-pembeli itu berada di luar lingkaran sastra Ponville, murni orang awam yang kasihan kepada sang penulis.
Sementara itu, insan sastra Ponville tak lebih dari kumpulan manusia yang memuji dirinya sendiri.
Oleh karena urusan perut tak bisa ditunda, Tamat mencari pekerjaan lain. Ia melamar sebagai staf urusan sastra di Pusat Kajian Sastra Ponville.
Beruntung ia diterima, dan bertekad akan meningkatkan muruah pegiat sastra di daerahnya. Tamat mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan yang lebih tinggi dalam rangka menambah kompetensi-nya di bidang terkait.
Berjalan waktu, Tamat memang hanyalah manusia biasa, dan merupakan orang kebanyakan. Gaji, uang tunjangan yang bermacam-macam, kursi yang empuk, dan kehidupan yang mapan, telah menjadikan gelora ideologi berubah sepi.