***
Perak demi perak terkumpul. Tamat menabung dengan baik demi terbitnya karya hasil dari perenungan dan daya pikirnya itu.
Tamat begitu bersemangat, karena di umur dua puluh tiga tahun, ia mampu menelurkan karya yang menurutnya sangat mewakili masyarakat kecil.
Suatu hari ia menyerahkan uang untuk jasa cetak dan penerbitan kepada seorang pengelola sekaligus pemilik usaha penerbitan.
"Uangnya pas, ya," ujar Varlo.
"Sip, terima kasih. Semoga segera selesai buku-buku saya."
Varlo menyeruput secangkir kopi di hadapannya. "Saya penasaran, kenapa Saudara Tamat menulis karya dengan genre seperti ini? Maaf saya hanya sekadar bertanya."
"Kalau bukan saya, siapa lagi?"
Mendengar jawaban yang unik, Varlo tertawa terbahak-bahak. "Saya sudah bertahun-tahun tidak mendapat tawaran untuk menerbitkan buku semacam ini, membuat saya bernostalgia betapa indahnya dulu ketika masih bersemangat membangkitkan kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang belum beruntung."
"Jadi?" Tamat bingung menafsirkan kata-kata yang terlempar dari mulut pria berambut cepak itu.
"Artinya saya akan memberikan rabat pada proyek ini, karena ide yang Anda tuangkan ke dalam buku merupakan kenangan bagi setiap pegiat literasi yang sudah kenyang."