Ia tak lagi menyentuh buku-buku sastra kecuali hanya untuk kepentingan kenaikan pangkatnya di kantor. Tamat sudah tak merasa perlu memperjuangkan lingkungan sastra yang sehat di Ponville, karena baginya itu sudah selesai.
Prinsipnya bahwa Tamat sudah cukup berjuang, sekaranglah saatnya menikmati hidup. Tanpa ia sadari, perjuangannya selama ini sekadar supaya hidup nyaman. Sejak awal ia tak pernah peduli soal sastra. Itu hanya sebuah cara menyembunyikan maksud yang benar-benar tak berani diungkapkan-nya. Munafik kalau kata orang-orang dulu.
Suatu hari sepucuk surat mendarat di meja kerja Tamat, pengirimnya adalah Varlo, seseorang yang dulu berbaik hati memberi diskon untuk pencetakan buku-bukunya. Tamat agak merasa kesal ketika membaca tulisan pendek pada secarik kertas buram itu.
"Apakah Anda sudah kenyang? Oh, ya ... Bu Rupiah juga titip salam, katanya jangan lupa selalu cinta kepada Tuhan. Aku kemarin belanja di tokonya. Semoga Anda sehat selalu." tulis Varlo.
---
Dicky Armando, S.E - Pontianak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H