"Kami belajar berbicara seperti Harun, karena saat ini adalah era informasi. Namun, isi pidato kami seharusnya sudah diucapkan 15 abad yang lalu, sementara para Musa kami hari ini tidak mampu membelah laut," tambahnya.
Pak Kiai menyela, "Anakku, perkataanmu dipenuhi rasa sedih dan sepertinya sedikit putus asa."
"Insya Allah tidak, Kiai," jawab santri itu, "Cara terbaik untuk menjadi kuat adalah dengan menyadari kelemahan. Cara terbaik untuk maju adalah memahami kemunduran. Walaupun kami tak terlalu cerdas, kami telah mencoba menyiapkan tali pelontar seperti milik Dawud untuk melawan Jalut. Kami perlahan-lahan merekayasa tongkat Musa agar suatu hari nanti mampu dilemparkan ke istana Fir'aun dan menelan semua ular-ular sihir. Kami juga mulai belajar dari Sulaiman, raja yang menjaga ekosistem. Seperti Musa, kami juga belajar merendahkan hati di hadapan ufuk ilmu Khidir. Dan kami terus berzikir. Seperti Zakaria, kami memperhalus jiwa kami untuk merasakan kedekatan dengan ilmu dan kekuatan Allah. Kadang-kadang kami tersesat dengan hanya mengambil sisi kelembutan Isa. Namun, kami kini semakin paham bagaimana belajar dari kesempurnaan Muhammad, mengelola keseimbangan antara cinta dan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran akan menjadi keras dan otoriter, dan tanpa kebenaran, cinta akan menjadi kelemahan, menyeret kita ke dalam kekufuran yang tersamar, hanyut dan tak berdaya."
Perbincangan ini terasa tak terbatas jika tujuannya adalah menguak rahasia cahaya Islam.
"Sampai di sini," kata Pak Kiai, "cukup sampai kalian menjawab dua pertanyaan berikut."
"Kami akan berusaha, Kiai," jawab mereka.
"Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian dengan keadaan masyarakat dan negeri tempat kalian tinggal?"
"Kebenaran hanya berlaku jika ditempatkan pada maqam yang tepat. Setiap kata dan tindakan perjuangan harus pas," jawab salah satu santri.
"Sebaik-baik urusan adalah yang berada di tengah-tengah, seperti yang diajarkan Rasulullah. Harus seimbang, tidak lebih, tidak kurang," sambung santri lainnya.
"Muhammad juga mengajarkan kapan harus masuk ke Gua Hira, dan kapan harus turun ke masyarakat," tambah yang lain.
"Kami mencari titik koordinat yang paling tepat di persimpangan ruang dan waktu, di tengah-tengah situasi dan dinamika sejarah."