Setelah melaksanakan salat malam, beberapa santri yang diizinkan pulang ke masyarakat pada keesokan harinya dikumpulkan oleh Pak Kiai di sebuah sudut masjid. Seperti biasa, bukan untuk memberikan wejangan terakhir, melainkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang belum perlu didengar oleh santri lainnya yang masih belajar di pesantren.
Pak Kiai bertanya kepada santri pertama, "Apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri mereka sendiri agar mereka bisa kembali kepada-Nya dengan selamat?"
Santri pertama menjawab, "Agama."
"Berapa jumlah agama?" tanya Pak Kiai.
"Satu," jawab santri itu.
"Bukan dua atau tiga?"
"Tidak, Allah hanya menyebut satu agama karena mustahil bagi Allah yang Maha Esa untuk memberikan lebih dari satu pedoman."
Kepada santri kedua, Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksud?"
"Islam," jawab santri kedua.
"Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?"
"Sejak Allah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam."
"Mengapa begitu?"
"Karena Islam telah menjadi pedoman manusia sejak awal sejarah, sejak Adam hingga akhir zaman. Setiap manusia yang lahir diberikan cahaya Islam."
"Jadi, apakah Adam seorang Muslim?"
"Ya, Adam adalah Muslim pertama."
Pak Kiai lalu bertanya kepada santri ketiga, "Allah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam. Bahasa apa yang digunakan?"
Santri ketiga menjawab, "Bahasa yang menjadi sumber dari bahasa Al-Qur'an."
"Bagaimana kamu membuktikannya?"
"Ilmuwan bahasa dan sejarahwan harus bekerja sama, namun kemungkinan besar metode ilmiah atau bukti-bukti yang diperlukan sudah tidak tersedia karena perjalanan waktu."
"Bagaimana cara mengatasi kebuntuan itu?" tanya Pak Kiai.
"Dengan iman dan keyakinan terhadap tanda-tanda kehendak Allah," jawab santri ketiga.
"Bisakah kau jelaskan lebih lanjut?"
"Allah memerintahkan umatnya untuk salat menggunakan bahasa Al-Qur'an. Karena Islam berlaku universal, bahasa Al-Qur'an tentu merupakan bahasa yang relevan untuk seluruh umat manusia, yang mungkin menjadi akar dari semua bahasa."
Pak Kiai kemudian bertanya kepada santri keempat, "Temanmu mengatakan bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana kamu menjelaskan ini?"
"Islam dihadirkan seperti seorang bayi yang tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan," jawab santri keempat.
"Bagaimana dengan agama-agama lain?"
"Itu hanya persepsi budaya atau politik, bukan akidah."
Pak Kiai melanjutkan dengan bertanya kepada santri kelima, "Agama apa yang dianut orang-orang beriman sebelum Nabi Muhammad?"
"Islam," jawab santri itu.
"Agama Ibrahim?"
"Islam."
"Agama Musa?"
"Islam."
"Dan Isa?"
"Islam."
"Apakah sudah disebut Islam saat itu?"
"Ya, Islam adalah nama yang tak terpisahkan dari kandungan nilai-nilai petunjuk Allah, seperti api dengan panasnya."
Pak Kiai kemudian bertanya kepada santri keenam, "Apa inti dari Islam?"
"Pembebasan," jawab santri itu.
"Gunakan kata yang lebih lembut."
"Menyelamatkan," jawabnya.
"Siapa yang menyelamatkan dan dari apa?"
"Allah menyelamatkan manusia dari ketidakmampuan kembali kepada-Nya, dengan bimbingan para nabi dan wali."
Pak Kiai bertanya kepada santri ketujuh, "Bukankah Islam berarti kepasrahan?"
"Benar, Kiai. Islam berarti menyerahkan diri kepada kehendak Allah, yaitu melawan segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak-Nya."
"Bagaimana manusia mengetahui kehendak Allah?" tanya Pak Kiai.
"Dengan mempelajari ayat-ayat-Nya di dalam Al-Qur'an, alam, kehidupan, dan sejarah. Islam adalah pencarian tanpa akhir."
"Kenapa banyak yang salah mengartikan kepasrahan?" tanya Pak Kiai.
"Karena manusia sering malas untuk mendalami pengetahuan tentang kehendak Allah, dan mereka makin terasing dari tanda-tanda kehadiran-Nya. Namun, dalam kegelapan, manusia bisa mulai memahami makna cahaya."
"Cahaya Islam. Apa itu sebenarnya?" Pak Kiai bertanya.
Santri kedelapan menjawab, "Pertama-tama adalah ilmu pengetahuan. Allah mengajari Adam nama-nama benda, yang menjadi awal mula pendidikan intelektual. Ini kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni *iqra'* (bacalah). Itulah cahaya Islam, karena agama ini diberikan kepada manusia, makhluk yang memiliki pikiran dan akal."
Pak Kiai menanggapi, "Pikiranmu cukup baik. Cahaya Islam tentu tidak dapat dihitung jumlahnya, dan tidak bisa diukur seberapa luas atau tingginya. Kita memerlukan tinta sebanyak tujuh lautan lebih untuk menggambarkannya. Apakah kau siap jika aku bertanya tentang sebagian kecil dari kilauan cahaya tersebut?"
"Siap, Kiai," jawab santri itu.
"Setelah Adam, apa yang kau dapatkan dari Idris?"
"Awal mula rekayasa teknologi."
"Dari Nuh?"
"Keingkaran terhadap ilmu dan kekuasaan Allah."
"Hud?"
"Kebangkitan menuju peradaban yang tinggi dan teknologi canggih."
"Baiklah, aku tidak akan berhenti di setiap terminal. Namun, apa yang kau pelajari dari Ibrahim?"
"Rekonstruksi tauhid, melalui penelitian yang mendalam dan detil."
"Dari Ismail?"
"Pengorbanan dan keikhlasan."
"Dari Ayyub?"
"Kesabaran dan ketahanan."
"Dari Dawud?"
"Tangisan, perjuangan, dan keberanian."
"Dari Sulaiman?"
"Kebijaksanaan, kemenangan atas kemegahan dunia, kesetiaan ekologis, dan keadilan."
"Sekarang, apa yang kau pelajari dari Musa?"
"Keteguhan hati, ketegasan terhadap kebenaran, ilmu perjuangan politik, namun juga kebodohan di tengah kecerdasan."
"Dari Zakaria?"
"Dzikir."
"Dari Isa?"
"Kelembutan kasih sayang dan resonansi cinta."
"Dan dari Muhammad, anakku?"
"Kedewasaan, kesempurnaan, serta ilmu manajemen dari seluruh cahaya yang dibawa oleh para nabi sebelumnya."
Pak Kiai kemudian beralih ke santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan saat ini berada?"
Santri kesembilan menjawab, "Tak tentu, Kiai. Kadang, atau bahkan sering, kami seperti Adam yang ceroboh dan berani memakan buah khuldi. Di waktu lain, kami seperti Ayyub, namun kalah oleh rasa sakit yang berkepanjangan dan putus asa karena hasil yang sedikit. Beberapa dari kami mendapatkan jabatan seperti Yusuf, tetapi kami tidak menerapkan keadilan dan kebijaksanaannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang menyelamatkannya. Ada pula di antara kami yang telah gagah membawa kapak seperti Ibrahim, tetapi sebelum sampai ke gudang berhala, kami malah berbelok dan mengerjakan sawah Fir'aun atau menebang kayu untuk membangun istana diktator itu."
Pak Kiai tersenyum, dan santri itu melanjutkan, "Mungkin itulah yang sering membuat kami terjebak seperti Ismail yang siap dikorbankan, namun tak ada kambing pengganti bagi kami."
"Sebagian dari kami lari seperti Yunus: seekor ikan paus besar menelan kami, dan hingga kini kami masih membahas dan mencari cara untuk keluar dari perut ikan tersebut," lanjut santri itu, yang membuat Pak Kiai tertawa terbahak-bahak.
"Kami belajar berbicara seperti Harun, karena saat ini adalah era informasi. Namun, isi pidato kami seharusnya sudah diucapkan 15 abad yang lalu, sementara para Musa kami hari ini tidak mampu membelah laut," tambahnya.
Pak Kiai menyela, "Anakku, perkataanmu dipenuhi rasa sedih dan sepertinya sedikit putus asa."
"Insya Allah tidak, Kiai," jawab santri itu, "Cara terbaik untuk menjadi kuat adalah dengan menyadari kelemahan. Cara terbaik untuk maju adalah memahami kemunduran. Walaupun kami tak terlalu cerdas, kami telah mencoba menyiapkan tali pelontar seperti milik Dawud untuk melawan Jalut. Kami perlahan-lahan merekayasa tongkat Musa agar suatu hari nanti mampu dilemparkan ke istana Fir'aun dan menelan semua ular-ular sihir. Kami juga mulai belajar dari Sulaiman, raja yang menjaga ekosistem. Seperti Musa, kami juga belajar merendahkan hati di hadapan ufuk ilmu Khidir. Dan kami terus berzikir. Seperti Zakaria, kami memperhalus jiwa kami untuk merasakan kedekatan dengan ilmu dan kekuatan Allah. Kadang-kadang kami tersesat dengan hanya mengambil sisi kelembutan Isa. Namun, kami kini semakin paham bagaimana belajar dari kesempurnaan Muhammad, mengelola keseimbangan antara cinta dan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran akan menjadi keras dan otoriter, dan tanpa kebenaran, cinta akan menjadi kelemahan, menyeret kita ke dalam kekufuran yang tersamar, hanyut dan tak berdaya."
Perbincangan ini terasa tak terbatas jika tujuannya adalah menguak rahasia cahaya Islam.
"Sampai di sini," kata Pak Kiai, "cukup sampai kalian menjawab dua pertanyaan berikut."
"Kami akan berusaha, Kiai," jawab mereka.
"Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian dengan keadaan masyarakat dan negeri tempat kalian tinggal?"
"Kebenaran hanya berlaku jika ditempatkan pada maqam yang tepat. Setiap kata dan tindakan perjuangan harus pas," jawab salah satu santri.
"Sebaik-baik urusan adalah yang berada di tengah-tengah, seperti yang diajarkan Rasulullah. Harus seimbang, tidak lebih, tidak kurang," sambung santri lainnya.
"Muhammad juga mengajarkan kapan harus masuk ke Gua Hira, dan kapan harus turun ke masyarakat," tambah yang lain.
"Kami mencari titik koordinat yang paling tepat di persimpangan ruang dan waktu, di tengah-tengah situasi dan dinamika sejarah."
"Ada dakwah secara diam-diam, dan ada yang secara terang-terangan."
"Hikmah, maw'idhah hasanah, dan berdiskusi dengan cara terbaik."
"Makanlah hanya ketika lapar, dan berhentilah sebelum kenyang. Itulah irama terbaik, keseimbangan yang baik untuk tubuh maupun sejarah."
"Perjuangan adalah mengetahui kapan harus berhijrah ke Madinah, dan kapan kembali ke Makkah untuk meraih kemenangan."
"Dan di atas segalanya, Rasulullah Muhammad bersedia tidur di atas daun kurma atau bahkan di lantai tanah."
Pak Kiai tersenyum, "Apa titik tengah antara sikap kaku dan sikap lembek, anak-anakku?"
"Lentur, Kiai!" jawab kesembilan santri serentak, karena kalimat itu sering mereka dengar sejak hari pertama mereka tiba di pesantren.
"Fal-yatalaththaf!" ucap Pak Kiai sambil berdiri dan menyalami santri satu per satu, "itulah titik pusat dari Al-Qur'an!"
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H