"Keteguhan hati, ketegasan terhadap kebenaran, ilmu perjuangan politik, namun juga kebodohan di tengah kecerdasan."
"Dari Zakaria?"
"Dzikir."
"Dari Isa?"
"Kelembutan kasih sayang dan resonansi cinta."
"Dan dari Muhammad, anakku?"
"Kedewasaan, kesempurnaan, serta ilmu manajemen dari seluruh cahaya yang dibawa oleh para nabi sebelumnya."
Pak Kiai kemudian beralih ke santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan saat ini berada?"
Santri kesembilan menjawab, "Tak tentu, Kiai. Kadang, atau bahkan sering, kami seperti Adam yang ceroboh dan berani memakan buah khuldi. Di waktu lain, kami seperti Ayyub, namun kalah oleh rasa sakit yang berkepanjangan dan putus asa karena hasil yang sedikit. Beberapa dari kami mendapatkan jabatan seperti Yusuf, tetapi kami tidak menerapkan keadilan dan kebijaksanaannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang menyelamatkannya. Ada pula di antara kami yang telah gagah membawa kapak seperti Ibrahim, tetapi sebelum sampai ke gudang berhala, kami malah berbelok dan mengerjakan sawah Fir'aun atau menebang kayu untuk membangun istana diktator itu."
Pak Kiai tersenyum, dan santri itu melanjutkan, "Mungkin itulah yang sering membuat kami terjebak seperti Ismail yang siap dikorbankan, namun tak ada kambing pengganti bagi kami."
"Sebagian dari kami lari seperti Yunus: seekor ikan paus besar menelan kami, dan hingga kini kami masih membahas dan mencari cara untuk keluar dari perut ikan tersebut," lanjut santri itu, yang membuat Pak Kiai tertawa terbahak-bahak.