“Kapan pulangnya?” bisik Marsudi. Tapi tentu saja tiada jawaban.
*****
Pada suatu malam, ketika Marsudi seperti biasa tengah menikmati kesunyian dan kegelapan di spot favoritnya di jembatan itu, matanya yang terlatih juga dibantu lampu sorot dari kendaraan yang sesekali melewati jembatan tersebut menangkap gerakan seseorang yang mondar-mandir di atas jembatan. Tingkahnya seperti orang bingung. Sebentar-sebentar dia terlihat melongokkan kepalanya melewati pagar pembatas seperti mencari-cari sesuatu. Dengan rasa ingin tahu yang besar, akhirnya Marsudi mendekati orang itu.
“Ada keperluan apa, Mbak, malam-malam begini? Mungkin ada yang bisa saya bantu?” Marsudi menyapa ramah. Dan hatinya semringah begitu mengetahui yang diajaknya bicara itu ternyata perempuan yang cukup ayu wajahnya. Lumayan buat pelipur hatinya yang lara.
Perempuan itu hanya meringis, “Nggak ada keperluan apa-apa, Mas. Saya cuma mau bunuh diri aja kok.”
Blaik, pikir Marsudi. Ngomong mau bunuh diri kok enteng sekali seperti mau beli kacang goreng saja.
“Sebentar.. sebentar, Mbaknya ini kok bercandanya ngeri banget. Seakan-akan saya ini sedang menonton film Susanna.”
“Saya nggak bercanda, Mas.”
“Jadi bener mau bunuh diri?”
“Iya,” jawab perempuan itu cuek sambil melepas sepatu yang dipakainya lalu naik ke besi pembatas jembatan yang tingginya sedada itu. Dan sebelum Marsudi bisa bereaksi, perempuan itu sudah terjun dengan gagah berani. Semua terjadi hanya dalam hitungan detik.
Marsudi terperangah. Bulu kuduknya seakan-akan rontok seketika. Bergegas dia meloncat ke atas besi pembatas jembatan dan melihat ke bawah, mencari-cari siapa tahu saja perempuan itu masih bisa diselamatkan, tapi yang dilihatnya hanya samar-samar aliran sungai yang deras. Dicobanya memanggil-manggil, tapi percuma.