"Mas Naim hebat, bukunya tambah banyak dan anak-anak jadi terlihat gembira," kata Ngesti, matanya melihat pada anak-anak yang berpencar mencari tempat dengan sebuah buku di tangan masing-masing. Entah kenapa, hatinya merasa kagum dan bangga pada Naim.
"Itu karena ada yang membantu, Nges. Aku sendiri ndak akan bisa berbuat banyak. Orang-orang itu termasuk bapakmulah yang hebat."
"Ah, Bapak cuma meminjamkan becaknya saja. Apa hebatnya?"
"Tetap hebat menurutku, karena...eh, beliau bisa punya anak secantik kamu."
"Ih, mas Naim. Gombal, ah!" sahut Ngesti. Pipinya semburat merah, tapi senyum tersungging di bibirnya.
Naim betah memandanginya sambil menyeruput kopi kental manis buatan gadis itu. Terasa tambah manis saja rasanya.
"Nanti sore Ngesti ndak ke mana-mana?"
"Kenapa, Mas?" tanya Ngesti, tapi ketika pandangan mereka beradu, gadis cantik itu menunduk dan tersipu malu.
"Mau ajak Ngesti jalan-jalan."
"Kemana?"
"Kemana saja."