*****
"Maaf, untuk buku-buku yang mas minta, tidak bisa dibeli eceran. Lagipula pembeli tetapnya sudah ada dan minimal 500 eksemplar," kata pimpinan personalia sebuah perusahaan percetakan yang didatangi Naim.
Hari itu Naim memberanikan diri menemui orang itu untuk menanyakan kemungkinannya mendapatkan buku-buku sisa produksi yang tidak lolos klasifikasi untuk didistribusikan. Tapi apa daya, buku-buku yang dimaksudnya itu justru telah ada yang biasa menampungnya. Dia yang hanya bermodal uang beberapa ratus ribu saja hasil membobok celengan bebeknya tentu saja tidak mampu untuk membeli 500 eksemplar.
Jangkrik, pikir Naim. Sia-sia saja dia datang kemari. Dari mana dia bisa mendapatkan duit sebanyak itu?
"Barang 10 atau 20 buku saja, Pak. Masa ndak bisa? Ini ndak untuk saya jual lagi, kok. Ini untuk kepentingan anak-anak di daerah saya," kata Naim memelas, mencoba membujuk.
"Maaf, Mas. Kalau nanti saya perbolehkan, semua akan melakukan yang sama dan akhirnya malah kacau."
Masih berharap, Naim lalu menceritakan usaha yang sedang dirintisnya itu. Bagaimana bermanfaatnya semua yang dilakukannya itu dalam kerangka untuk meningkatkan minat membaca pada anak-anak sekaligus mencerdaskan mereka. Dia tidak tahu hasilnya akan bagaimana, tapi setidaknya apa yang dilakukannya itu demi anak-anak bangsa tanpa mempedulikan keuntungan pribadi.
Orang itu mengangguk-angguk.
"Betul-betul mulia hati Mas ini," katanya.
"Karena saya prihatin, Pak. Selagi saya mampu, saya tentu akan berusaha. Tapi kemampuan saya memang hanya sebatas itu."
"Sudah mencoba meminta dukungan pihak lain, sumbangan buku-buku bekas, misalnya?"