Tuk tuk tuk!
Pintu kabin kapten Eugene berbunyi. Sang kapten mengusap matanya, meletakan pena yang dipakai untuk menandai wilayah pencarian pada peta. Satu lagi wilayah lautan yang diberi tanda silang karena apa yang mereka cari tak jua menunjukkan batang hidungnya.
"Masuk.."Â
Seorang pria berkulit kebiruan melangkah ke dalam sembari membawa nampan dari kayu dan meletakkannya di atas meja.
"Makan malammu, kapten."
"Terimakasih, Edward." Ujar sang kapten sembari duduk di kursi, mengangkat garpu dan pisau.
"Kelompok terakhir sudah kembali, kapten." Ujar Edward, koki kebanggaan kapal perompak Crabby Cruster.
"Ada kabar apa?"Â
"Seperti biasanya, paus itu sudah meninggalkan tempat ini." Jawab Edward.
"Berarti tinggal satu wilayah lagi yang tersisa, La goo." Ujar kapten menyantap steak yang di sajikan.
Sudah sebulan lebih mereka mengarungi lautan, mencari keberadaan sesosok monster yang mengusik jalur pelayaran. Mozaid, ikan paus bengis penghancur kapal yang telah menghabisi banyak orang muncul memberi teror bagi para penghuni lautan.Â
"Kapten, kalau boleh aku bertanya," Edward menuangkan anggur kedalam gelas Eugene, "mengapa kau begitu ingin menangkap paus itu? Bayarannya tidak begitu besar, selain itu ia hanya mengganggu kapal pemerintah, tidak ada hubungannya dengan kita. Aku tidak percaya kalau kau peduli dengan jalur pelayaran, jadi apa alasannya?"
Eugene tertawa terhentak-hentak, gigi dan lidahnya bersentuhan.
"Tiga ribu koin bukanlah uang yang sedikit, nak." Ujarnya meneguk anggur.
"Hasil penjarahan dua bulan lalu tiga kali lebih besar dari itu." Protes Edward.
Eugene menatap wajah penuh kebingungan didepannya. Memang benar bahwa uang yang akan didapat dari perburuan ini tidak seberapa.Â
Namun ada hal lain yang mendorongnya, hal yang mungkin sudah seharusnya ia ceritakan pada anak muda ini. Toh tidak ada salahnya juga.
"Kau tahu darimana aku berasal, nak?" Tanya Eugene.
"The Reef, kapten. Tempat terkejam selautan." Jawabnya. Setidaknya itu yang ia dengar dari kru kapal lain. Ia tidak begitu tahu tentang sang kapten sebab baru enam bulan terakhir ia bergabung dengan kru Crabby Cruster.
"Kau salah, nak. Aku lahir di Clamnation, jurang tanpa ujung, sebelum berakhir di the Reef." Sahut Eugene sambil menyodorkan gelas untuk di isi kembali.
"Clamnation? Itu bukannya tempat tinggal para ka_" Edward menggigit bibir, mencegah kata yang nyaris keluar dari mulutnya.
"Katakan saja, nak." Pintah Eugene pada si koki.
"Kanibal." Ujar Edward menelan ludah, lalu menuangkan minuman.
Eugene terdiam sejenak. Senyum kering tersimpul pada wajah merahnya. Ia meneguk anggur di gelas lalu bercerita.
"Sewaktu aku kecil, aku punya ribuan saudara. Terkadang wajah mereka muncul dalam mimpiku. Teriakan saudaraku masih kudengar sampai sekarang. Teriakan horor ketika ayahku mengunyah daging dan cangkang mereka hidup-hidup."
Edward tak mampu bersuara. Wajahnya kaku, peluh dingin mulai muncul dari belakang lehernya.
"Jangan takut, nak. Aku tidak akan memakanmu, apalagi saat kau mampu membuat makanan selezat ini." Tawa khas Eugene menggelar memenuhi ruangannya.
Edward turut tertawa gugup disampingnya. Ia tidak menyangka bahwa selama ini dirinya berlayar dengan seorang kanibal dari jurang Clamnation. Ini hal yang buruk. Ia harus menambah porsi makan orang tua ini.
"Setelah keluar dari tempat itu, aku kira aku telah terbebas dari rasa takut, dari horor yang telah ditanamkan oleh ayahku. Ternyata aku salah." Sang kapten merunduk pilu.
"Saat menjadi kapten kapal ini, aku memutuskan untuk kembali ke sana. Aku tidak pernah merasa lebih puas dari ketika kutanamkan peluru ke kewajahnya." Eugene menatap si koki tajam.
"Kau bertanya mengapa aku mengejar Mozaid? Karena paus itu hanyalah mahluk pembawa petaka. Monster seperti mereka tidak pantas hidup di lautan ini!" Sahut Eugene memukulkan tangan ke meja, mengejutkan Edward.
"Maafkan aku, nak. Harusnya aku tidak perlu berteriak." Ujar sang kapten.
"Tidak apa-apa kapten. Aku mengerti."Â
"Oh, kau tidak akan pernah bisa mengerti, nak"
***
La goo berselimut kabut malam, membutakan kapten Eugene dan awak kapalnya. Mereka tenggelam dalam sunyi, mata dan telinga fokus menerka dimana si ikan paus berada.Â
Kapal terguncang hebat ketika punggung Mozaid beradu dengan perut kapal. Dua orang awak kapal terjatuh ke air, jemari mereka terlepas dari tali kapal, tak mampu menandingi kebengisan si monster laut.
Keduanya meronta, berusaha berenang kembali ke kapal sebelum Mozaid mengakhiri perjuangan mereka.
"Lemparkan tali kebawah!" Perintah sang kapten.
Namun terlambat, darah anak buahnya bercampur dengan lautan ketika ikan paus itu menyeret keduanya menemui ajal.
Eugene dan awak kapal melemparkan tombak kebawah menembus ganasnya ombak, namun tak satupun mengenai tubuh monster itu.
"Biadab kau, Mozaid! Aku bersumpah akan membunuhmu!" Teriak sang kapten melawan suara guntur dan rintihan hujan.
Kapal kembali berguncang, menghasilkan luka pada lambungnya. Seketika air yang terbawa ombak mulai memasuki kabin kapal.
"Tutup lubangnya!" Eugene kembali memberi perintah.
Secepat kilat Edward dan tiga awak kapal berlari menempelkan papan dengan paku demi menutup aliran air.
Belum sempat paku dipukuli, Mozaid kembali menyerang lebih ganas menembus barisan papan, membenamkan giginya pada kaki Edward yang tidak sempat menghindar.
"Kapten to_"
Mozaid masuk kedalam laut, menyeret Edward bersamanya.
"Naaaaak!" Eugene berlari sembari menggenggam tombak ditangannya. Laksana petir yang menyambar ia terjun menerjang lautan.Â
Kaki sang kapten berayun cepat melawan arus kedalaman hingga matanya bertemu aliran merah darah. Ia berenang mendapati tubuh Edward yang kini kehilangan kaki kanannya.
Eugene merangkul si koki dan membawanya kepermukaan. Sang kapten mengikatkan tali yang dilemparkan oleh awak kapalnya pada tubuh Edward yang tak sadarkan diri.Â
Ini belum berakhir. Ia tahu bahwa monster itu akan kembali. Agar sang koki bisa selamat, ia harus menghadapi Mozaid.
Sang kapten merasakan kehadiran gelombang air yang tak biasa. Tak lama kemudian bayangan hitam muncul dari balik lautan, bergerak cepat kearahnya.
"Kemari kau, mahluk terkutuk!" Teriak Eugene sembari menjuruskan tombak besinya kedepan, menantang kematian itu sendiri.
Ia menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Ketika Mozaid menunjukkan kepalanya ke permukaan, sang kapten menyelam dengan cepat, membuatnya tepat berada di bawah perut si ikan paus.
Dengan sekuat tenaga, ia menghujamkan tombak menembus kulit tebal Mozaid. Hewan itu meronta liar, berusaha menghempaskan Eugene dari tubuhnya.
Meski terseret oleh amarah si ikan paus, Eugene tak ingin melepaskan genggaman tangannya dari tombak. Tak lama kemudian, Mozaid melemah. Ekornya kini tak lagi menggila hingga akhirnya ia tak lagi bergerak.
Sang kapten melemaskan tangan lalu berenang ke depan wajah musuhnya. Ia tersenyum puas melihat hewan itu tak lagi bernyawa. Ia  me_Â
Mozaid menyerbu kearahnya. Kaget, Eugene mengayunkan tangannya berusaha menghindar. Namun hewan itu seperti tak lagi menghiraukan keberadaan sang kapten.Â
Siripnya tertatih, terayun pelan kedepan. Rasa penasaran membuat Eugene berenang mengikutinya.Â
Hati sang kapten seperti disayat belatih ketika ia melihat kemana hewan itu menuju serta siapa yang menunggunya.
Seekor anak paus, seorang putri berenang riang menyambut Mozaid. Paus kecil itu berputar-putar mengelilingi tubuh sang ibu yang mengambang tak bergerak.Â
Sesekali ia mendorong tubuh ibuda, tak mengerti mengapa ia tak menjawab rintihan nya.
"Oh tidak, apa yang sudah kulakukan?"
Eugene tak kuasa menahan air mata. Hari ini ia telah menjadi seperti sang ayah, seorang monster berdarah dingin yang merenggut anak dari ibunya.Â
Untuk apa semua ini, memusnahkan malapetaka di lautan? Sungguh alasan yang menggelikan. Jika ia tidak pernah datang kemari, putri kecil ini tidak akan bernasib sama seperti saat ia kehilangan saudaranya.Â
Sang kapten mendekati ikan paus kecil yang kini membenamkan tubuh pada sirip sang ibu. Gadis itu meringis ketakutan, menyerukan nada pilu yang takkan pernah lagi dijawab oleh siapapun.
 Tidak. Eugene tidak akan membiarkan itu terjadi. Ia akan menebus dosa-dosanya. Sambil tersenyum, sang kapten mengulurkan tangan pada gadis kecil yang matanya berkaca-kaca, berkilauan memantulkan sinar rembulan bak permata, yah permata.
"Kemarilah, Pearl. Aku, Eugene Krabs akan selalu menjagamu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H