"Kau bilang kau seorang pendongeng, bisakah kau menceritakan satu dongeng padaku?" tanya Ouhm sembari menyeruput teh.
"Dongeng yang ku tahu hanyalah dongeng anak-anak. Tentu tidak akan menarik bagimu."
"Aku tidak pernah mendengar satu dongeng pun saat aku masih bocah. Mungkin aku bisa menceritakannya kembali pada putriku. Ayolah, anggap saja bayaran untuk air sumur dan tehku."
Haka menatap lekat-lekat gelas ditangannya. Senyum menyimpul dan sejenak kemudian ia melanjutkan.
"Kurasa itu memang harga yang pantas untuk kebaikanmu. Baiklah, jika tuan memaksa."
Lelaki itu mengeluarkan sebuah pipa dari jubahnya. Sebuah seruling, namun ukuranya terlalu panjang bahkan jika digunakan oleh musisi kerajaan di pesta dansa. Lebih mencengangkan lagi, benda itu terbuat dari logam, bahan yang tidak biasa untuk dijadikan suling apalagi untuk dibawa bepergian. Benda seperti itu pastilah mahal harganya. Jika ia bertemu bandit di perjalanan, seruling tersebut akan jadi benda pertama yang diambil.
Ia mengusap-usap lubang tiup pada seruling dengan jubah lalu dengan mantap meletakannya dibawah bibir.
"Jika tuan tidak keberatan, aku terbiasa bercerita sambil bermain suling."
"Tentu saja." Jawab Ouhm memasang telinga.
Haka menutup mata.
Satu detik,
dua detik,
tiga detik,
Hanya kesunyian yang meliputi keduanya. Angin bertiup, membuat dedaunan muda pohon cemara serta rerumputan padang menari-nari menghasilkan suara gesek yang mengelitik telinga. Lonceng angin di depan gubuk membunyikan nada-nada liar namun berirama. Keduanya membentuk harmoni yang seolah menunggu Haka untuk bergabung dengan orkestra semesta, bersama seruling yang ia pegang.
Suara suling menyerang telinga Ouhm dengan irama yang tak pernah ia bayangkan. Sekarang ia mengerti kenapa benda itu harus terbuat dari silinder logam. Getaran yang dihasilkan jauh lebih dalam dan berat, sangat berbeda dengan suling bambu. Setiap tiupan dari bibir Haka menggema, lalu memecut gendang telinga dengan bunyi melekuk tajam pada setiap ujung nada. Irama yang brutal namun sangat indah dalam komposisinya.
"Alkisah ..." Pria itu mulai bercerita. "di sebuah hutan antaberanta, hiduplah tiga ekor beruang. Ayah beruang, ibu beruang dan anak beruang. Ayah beruang dikenal sebagai binatang yang ramah terhadap siapa saja. Ibu beruang sangat suka memasak bubur dan konon buburnya adalah yang paling lezat di seluruh penjuru hutan. Anak beruang yang masih kecil berteman dengan setiap penghuni hutan dan merekapun sangat mencintainya.
Oleh karenanya, rumah mereka selalu menjadi tempat peristirahatan bagi binatang-binatang hutan yang sedang kesulitan, baik itu hewan yang terluka karena diburuh oleh manusia maupun mereka yang hanya ingin mencicipi bubur si ibu beruang."
Suling kembali berbunyi, kali ini tanpa suara angin yang mengiringi. Ouhm tenggelam kedalam nada yang lebih nyaring dari sebelumnya. Ini terasa seperti sihir. Alam seolah diam sejenak untuk merenungi setiap nada yang keluar dari seruling Haka.
"Suatu ketika anak beruang yang sedang bermain-main di tengah hutan bertemu dengan seekor anjing liar yang tersesat. Tidak ada satupun luka ditubuhnya, namun ia terlihat sangat kesakitan. Karena rasa kasihan, anak beruang mendekatinya lalu bertanya.
'Hai anjing, mengapa engkau begitu murung?'
Si anjing tak menjawab.
Nada seruling melekuk-lekuk bagai ombak di lautan menggambarkan kebingungan si anak beruang.
'Apakah kau kelaparan?' tanya anak beruang sekali lagi.
Anjing tetap tak menjawab.
'Kenapa kau tidak menjawabku? kalau terus begini, aku juga ikutan sedih. Hmm, apa yang harus kulakukan?'
Haka meniupkan satu nada panjang sehalus sutra, lalu menghentakannya tegas.
'Ah, aku tahu. Ayo kita ke rumahku. Ibuku akan membuatkan bubur yang sangat lezat untukmu. setelah itu, kau pasti akan tersenyum ceria.'
Si anjing memperhitungkan tawaran itu. Mungkin 'Senyuman' inilah yang ia butuhkan demi menghilangkan rasa sakit penuh kehampaan yang selalu meliputi dirinya. Sakit yang selalu ia rasakan tanpa tahu apa penyebabnya.
'Baiklah.' jawab anjing mengiyakan.
Anak beruang melompat kegirangan. Ia dan si anjing berjalan bersama-sama menuju kediaman keluarga beruang."
Kali ini Haka membunyikan irama ceria penuh kebahagiaan. Jemarinya menari-nari menutup dan membuka lubang udara pada seruling. Tanpa sadar Ouhm menganggukan kepala mengikuti irama tersebut. Anak ini sangat berbakat. Ouhm sudah sering mendengar musisi kerajaan memainkan seruling, namun biasanya mereka membuatnya tertidur. Ia tidak menyangka narasi sederhana yang dipadukan dengan irama seruling dapat membuatnya jatuh kedalam atmosfer yang begitu memikat. Mungkin seruling dan dongeng laksana daging panggang dan arak. Mereka bisa dinikmati secara terpisah, tetapi akan lebih baik jika kita menelannya bersamaan.
"Setibanya mereka berdua disana, anak beruang berseru memanggil kedua orang tuanya.
'Ayah, ibu, aku membawa teman baru' Katanya.
'Siapa yang kau bawa kemari, nak? oh, seekor anjing, hmmm.' Ujar ayah beruang menatap tamunya was-was. Anjing bukanlah binatang hutan. Jika ada anjing yang datang kemari, pasti dibawa majikannya yang sudah pasti seorang pemburu. Sesaat kemudian, ayah beruang bertanya pada anjing.
'Apakah kau datang sendiri? dimana tuanmu, anjing?'
Si anjing lagi-lagi diam tidak menjawab, lalu menorehkan pandangannya pada ibu beruang yang baru saja keluar dari dapur dan apakah yang dipegangnya itu? satu panci yang berisikan bubur.
'Bubur yang bisa membawa senyuman, boleh aku makan?' Seru si anjing lantang sembari menggoyangkan ekornya.
Ibu beruang menatap suaminya kebingungan. Ayah beruang mengangkat bahu sambil berkata.
'Mungkin ia dibuang majikannya dan kelaparan. Siapkan satu mangkuk untuknya, sayang.'
Ibu beruang melemparkan senyuman pada si anjing yang terlihat sangat antusias menyambut bubur yang dibawanya ke meja makan.
'Makanlah, bubur ini mungkin bukan karya terbaikku, tapi aku yakin kau pasti akan menikmatinya.' Kata ibu beruang sambil tersenyum ramah.
Anjing memakannya dengan sangat lahap, sampai-sampai bubur menempel di sisi mulutnya. Anak beruang yang duduk di sampingnya tertawa kegirangan melihat wajah si anjing yang belepotan karena bubur. Ayah dan ibu beruang juga ikut tersenyum melihat kebahagiaan putri mereka."
"Putri?..." ujar Ouhm memotong cerita, "Aku kira anak beruang adalah pejantan."
"Begitukah? itu kesalahanku, tuan. Harusnya aku lebih teliti bercerita sejak awal." Ujar Haka memberi penjelasan.
"Tidak masalah. kurasa hal itu tidak akan terlalu mempengaruhi cerita, kan?"
"Tuan akan terkejut..." Senyum kecil menyimpul pada bibir Haka yang kembali memainkan serulingnya.
Wajah itu, aku bersumpah pernah melihatnya. Namun dimana? Pikir Ouhm.
"Usai si anjing memakan bubur, ia kebingungan mengapa senyuman belum juga muncul diwajahnya. Hanya perasaan kosong yang ada. Kesal, si anjing meminta ibu beruang menambah bubur diatas piringnya.
piring kedua
piring ketiga
piring keempat
tak jua hatinya dipenuhi senyuman seperti yang dijanjikan anak beruang.
'Kenapa?' tanya anjing, 'kenapa aku tetap tidak bisa tersenyum, kenapa aku tidak bisa bahagia?'
Haka membunyikan nada pilu.
"ayah beruang menatapnya tajam. Wajahnya melemas kasihan. Sungguh anjing yang malang. Sudah banyak binatang yang ia temui, namun tak satupun dari mereka yang memiliki tatapan menyedihkan seperti anjing yang kini berada didepannya.
'Kebahagiaan tidak bisa kau peroleh hanya dengan semangkuk bubur, oh anjing. Kebahagiaan sejati muncul dari dalam hati, dari keinginanmu berbagi dan dari senyuman orang-orang yang kau tolong. Jika hatimu membawa senyuman maka kebahagiaan akan mengikutimu.' Jawab ayah beruang sembari tersenyum ramah.
'Hati... apa itu? bagaimana cara aku mendapatkan hati?' Tanya si anjing sekali lagi.
'Semua insan yang dilahirkan pasti memiliki hati, temanku.' Ujar ibu beruang sembari mengangkat mangkuk si anjing dari meja makan.
Anjing tidak percaya mendengarnya. Sebab jika ia memiliki hati, ia pasti tersenyum bahagia seperti mereka. Lihatlah mereka, yang dengan mudahnya tersenyum pada satu sama lain, berbagi 'hati' yang ayah beruang sebutkan tadi.
Namun ditengah renungannya, anjing menyadari sesuatu. Jika ia tidak memiliki hati, ia akan merebutnya dari mereka. Dengan demikian ia akan bahagia, yah, itu rencana yang bagus. Ia berpaling pada ibu beruang lalu bertanya.
'Dimanakah letak hati?'
Ibu beruang menatapnya keheranan lalu tersenyum geli. Sungguh pertanyaan yang lugu sebab ia pun tidak mengetahui jawabannya. Dimanakah hati berada? apakah ia bersarang pada otak setiap insan ataukah berada di dalam dadanya seperti yang selalu dikatakan orang-orang. Ia memutuskan memberikan jawaban kedua.
'Hati terletak disini...' jawabnya sembari menunjuk dada, 'Ia bersarang bersama nafas kehidupan, melahirkan kebahagiaan bagi pemiliknya.'
Seketika seruling Haka membunyikan nada mencekam yang terhentak-hentak bak nafas buas.
"Anjing meloncat keatas meja dan menerkam ibu beruang. Cakarnya yang tajam mencabik-cabik dada beruang malang itu hingga jantung terlihat dengan jelas. Inikah 'hati' yang dikatakanya tadi? Ia tidak peduli. Ia menancapkan taring pada jantung ibu beruang lalu memakannya sampai habis."
Ouhm terkejut mendengar alur cerita yang tiba-tiba berubah drastis. Namun terdapat sesuatu yang sangat familiar dari cerita tersebut. Seekor anjing yang datang menerkam ibu beruang, ayah beruang dan seorang putri? tentu saja. Sekarang ia mengingat semuanya. Wajah Haka kini tak asing lagi dimatanya.
"Tuan, mengapa menatapku seperti itu?" Tanya Haka sembari melemparkan senyuman tipis.
"Tidak apa-apa, aku hanya terkejut mendengar ceritamu. Bukankah itu terlalu berlebihan untuk dongeng anak-anak?"
"Terkadang anak-anak harus belajar tentang kejamnya dunia. Semakin cepat semakin baik untuk mereka, bukankah begitu?"
Tanpa menunggu jawaban dari Ouhm, Haka kembali memainkan serulingnya. Kali ini melodi yang ia tiup berkejaran dengan tempo yang cepat dan liar.
"Usai ia melahap jantung ibu beruang, perasaan girang muncul menari-nari diatas kepalanya. Ia sangat bersemangat ketika darah menempel di lidah saat ia menjilati bibir dan hidung. Apakah ini kebahagiaan? tidak, masih belum. Ia meloncat menerkam ayah beruang. Hewan tua itu berusaha melawan, namun ia bukan tandingan anjing yang kini tenggelam dalam kegilaan.
Jantung ayah beruang telah habis ia makan. Perasaan itu semakin menggila. 'Hati' yang ia impi-impikan telah ia miliki. Perasaan itu memberinya gairah yang tak terbayangkan yang ia yakini sebagai kebahagiaan. Ia menginginkan lebih dari ini.
Pandangannya beralih pada anak beruang yang kini menangis sedih disamping tubuh ibunda yang tak lagi bernyawa. Tanpa pikir panjang ia menerkam anak beruang dengan ganas. Air mata mengalir deras dari mata anak beruang. Ia meronta-ronta dan berteriak dengan kencang.
Cakar setajam belatih menancap pada dadanya, membuat tangisannya semakin menjadi-jadi. Anjing terus mengais-ngais daging dari tulang kecil anak beruang.
'Kumohon, hentikan.' Ujar anak beruang merintih kesakitan.
'Kau anjing jahat... kau tidak mempunyai hati.'
Anjing tertegun sejenak lalu menghentikan perbuatannya. Kegilaan telah meninggalkan pikirannya. Ia menatap tubuh ayah dan ibu beruang yang berlumuran darah. Matanya berpaling menatap anak beruang yang bernafas dengan susah payah, hingga hembusan terakhir.
'Apa yang kulakukan?' Ujar anjing pada dirinya sendiri. Ia telah membunuh hewan yang telah membukakan pintu mereka dan memberinya bubur lezat. Perasaan baru seketika muncul dihatinya. perasaan sakit yang lebih parah dari yang selama ini ia rasakan. Begitu menusuk hingga membuatnya sulit untuk bernafas.
Penyesalan."
Haka melemparkan tatapan dingin nan kaku pada Ouhm. Jemarinya bergetar pelan sebelum ia menempatkannya kembali pada lubang-lubang seruling. Nada pilu kembali menggema di teras. berat dan penuh tekanan layaknya tangisan seorang anak kecil.
"Akan tetapi, anjing menyadari sesuatu. Perasaan baru ini telah meyakinkannya bahwa apa yang dikatakan oleh anak beruang sudah pasti salah. Jika ia tidak memiliki hati, ia tidak mungkin merasakan penyesalan. Kali ini ia bersedih dengan alasan, tidak seperti kesedihan kosong yang selalu ia rasakan. Hal itu membuatnya tersenyum bahagia untuk pertama kalinya.
Ia melangkah keluar dari rumah keluarga beruang dengan semangat. Ia menari-nari dan meloncat sembari bersenandung. Kegilaannya hari itu telah melahirkan kebahagiaan baru bagi dirinya.
Beberapa tahun kemudian anjing memiliki keluarganya sendiri. Seorang istri dan juga seorang putri. Dengan hati yang ia ambil dari keluarga beruang, kini si anjing belajar mencintai serta memberi. Ia pun dicintai oleh keluarga kecilnya serta penghuni hutan dimana ia tinggal. Dan begitulah... akhir kisah anjing dan tiga beruang."
Haka membunyikan lagu penutup yang menyerupai irama awal namun dimodifikasi dengan tempo yang lebih pelan tanpa pecutan tajam diujung. Nada hampa yang seolah membukakan jalan bagi pendengarnya untuk merenungkan dongeng tersebut serta mungkin, masa lalu.
"Bagaimana menurutmu, tuan?" Tanya Haka sembari mengusap-usap seruling besinya.
"Kurasa itu bukan dongeng yang bisa kuceritakan pada putriku."
"Kenapa tidak? bukankah seorang putri patut mengetahui seperti apa orang tua yang melahirkannya?" Tanya si pendongeng sembari menyodorkan gelas teh untuk diisikan kembali.
Ouhm menatapnya lekat-lekat. Ia mencengkram gagang teko dengan geram lalu menuangkan teh. Bagaimana ia bisa lupa pada tatapan mata itu? tatapan tajam yang sangat mirip dengan orang itu. Orang yang menjadi target pekerjaan terakhirnya sebelum ia memutuskan untuk berhenti menumpahkan darah.
"Senang bertemu denganmu, Qhitadouhman Resi. Pemimpin sejati pasukan Viranthadi, si anjing gila paduka Walishiga." Ujar Haka menarik Ouhm kembali pada masa lalunya, kedalam jurang memori yang sudah tak ingin ia tinggali.
Bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H