Mohon tunggu...
Ari Rosandi
Ari Rosandi Mohon Tunggu... Guru - Pemungut Semangat

Menulis adalah keterampilan, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna adalah keniscayaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Tanpa PR: Mendidik atau Memanjakan?

28 Juli 2024   19:39 Diperbarui: 30 Juli 2024   09:00 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak sedang mengerjakan PR (Sumber: Pexels/ANNUSHKA AHUJA)

Sekolah tanpa Pekerjaan Rumah (PR), hmm... Sebuah konsep yang menarik sekaligus menggelitik. Seolah-olah kita sedang berbicara tentang sebuah utopia pendidikan, di mana anak-anak pulang ke rumah tanpa membawa beban tugas yang menumpuk.

Tapi tunggu sebentar, apakah ini benar-benar sebuah inovasi pendidikan yang mendidik atau malah memanjakan? 

Perspektif Historis: Dari Zaman Dulu Hingga Kini

Kalau kita kilas balik ke masa lampau, orang tua kita mungkin punya cerita menarik soal PR.

Dulu, PR bukan cuma sekadar tugas sekolah, tapi juga alat untuk mengasah otak dan karakter.

Coba tanya kakek atau nenek Anda, mereka pasti punya cerita tentang betapa seriusnya mereka mengerjakan PR di bawah lampu minyak, tanpa kemewahan teknologi.

Namun, zaman berubah. Anak-anak sekarang hidup di era digital, dimana informasi begitu mudah diakses. Kita tidak bisa lagi memaksakan metode pendidikan lama pada generasi baru.

Mungkin di sinilah letak masalahnya. PR tradisional mungkin terasa usang dan kurang relevan bagi anak-anak masa kini yang terbiasa dengan kecepatan informasi dan teknologi canggih.

Kasus Nyata: Sekolah Tanpa PR di Negara Lain

Beberapa negara sudah mencoba menerapkan sistem sekolah tanpa PR.

Di Finlandia, misalnya, sistem pendidikan mereka dikenal dengan pendekatan yang lebih santai dan minim PR.

Hasilnya? Finlandia selalu berada di peringkat atas dalam berbagai tes internasional. Mereka menekankan pembelajaran yang menyenangkan dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Namun, apakah model ini bisa diterapkan di Indonesia? Bisa jadi tidaklah semudah itu.

Budaya dan sistem pendidikan kita berbeda. Indonesia masih berjuang dengan berbagai tantangan seperti keterbatasan infrastruktur, kualitas guru yang belum merata, dan kurikulum yang sering berubah.

Apa Jadinya Dunia Pendidikan Tanpa PR?

Pikiran saya mengalir mencoba menerawang manakala adik-adik kecil pulang sekolah tanpa ada PR. Mereka langsung bisa bermain, berkreasi, atau bahkan membantu orang tua di rumah. Saya pun berpikir betapa indahnya dunia tanpa PR.

Tapi, apakah itu benar-benar menjadi satu cara yang mendidik atau justru memanjakan? Apakah pendidikan tanpa PR ini bisa mencetak generasi emas atau justru generasi yang malas?

Sekolah Tanpa PR: Mendidik atau Memanjakan?

Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan klasik, "Lebih baik kasih ikan atau pancing?"

Dalam konteks ini, PR adalah pancingnya. Tanpa PR, apakah kita benar-benar memberikan anak-anak kita keterampilan yang mereka butuhkan untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan?

Belajar itu bukan hanya tentang menyerap ilmu, tapi juga tentang melatih kedisiplinan. PR, jika diamati dalam hal ini, adalah sarana melatih kedisiplinan dan tanggung jawab.

Lantas, jika kita mengambil PR dari mereka, apakah kita juga mengambil kesempatan mereka untuk belajar disiplin?

Pendidikan seharusnya lebih dari sekedar transfer pengetahuan, namun juga tentang membentuk karakter. Namun, di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa sistem pendidikan kita seringkali terlalu berat sebelah.

Anak-anak dibombardir dengan PR yang pengerjaannya bahkan hingga larut malam, membuat mereka kelelahan dan kehilangan waktu bermain yang seharusnya mereka nikmati.

Pendidikan seyogyanya memiliki pola yang seimbang, yang tidak hanya fokus pada akademik, tapi juga mengembangkan dan mengasah potensi anak secara holistik.

Lagi-lagi saya berandai-andai sebentar: Apa jadinya jika sekolah tanpa PR benar-benar diterapkan?

Mungkin para siswa akan lebih bahagia. Tidak ada lagi drama "PR belum selesai," tidak ada lagi tangisan di meja belajar karena tugas matematika yang tak kunjung paham.

Tapi, apakah hal ini benar-benar solusi? Atau justru kita sedang menyiapkan bom waktu?

Bayangkan lagi seorang siswa yang tidak pernah diberi PR. Ia pulang, menyalakan TV, menonton serial favoritnya, dan tidur nyenyak tanpa beban. Di pagi hari, ia datang ke sekolah dengan wajah segar, tetapi apakah otaknya juga segar? Apakah ia siap menghadapi ujian kehidupan yang sebenarnya?

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "Kecerdasan itu ibarat pisau, harus terus diasah agar tajam." Tanpa PR, apakah kita benar-benar mengasah kemampuan anak-anak kita? Atau justru membiarkan mereka tumpul?

PR itu seperti sayur tanpa garam, terasa hambar tapi penting untuk sebuah rasa atau kenikmatan bahkan kesehatan. Tanpa PR, mungkin hidup anak-anak lebih manis, tapi apakah manis itu akan selalu sehat?

PR Sebagai Sarana Pembelajaran

PR seharusnya bukan beban, tapi tantangan. Tantangan untuk berpikir kritis, untuk belajar mandiri, dan untuk mengatur waktu.

Namun, PR juga harus realistis. Jangan sampai PR menjadi momok yang menakutkan, yang justru membuat anak-anak benci belajar.

Seorang guru yang bijak akan memberikan PR yang bermakna, yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, yang merangsang rasa ingin tahu dan kreativitas. PR bukan tentang kuantitas, tapi kualitas.

Saya mencoba menerawang kembali masa kecil dahulu dimana PR juga bisa menjadi momen kebersamaan keluarga.

Saat anak mengerjakan PR, orang tua bisa mendampingi, memberikan dukungan, dan bahkan belajar bersama. Ini adalah kesempatan emas untuk membangun ikatan keluarga yang erat.

Teknologi dan PR: Musuh atau Sahabat?

Sekarang, mari kita bahas tentang teknologi. Di satu sisi, teknologi bisa menjadi alat bantu yang luar biasa dalam pendidikan. Dengan bantuan teknologi, PR bisa menjadi lebih menarik dan interaktif.

Misalnya, tugas membuat video presentasi atau mengerjakan soal-soal interaktif online. Anak-anak bisa belajar sambil bermain, dan PR tidak lagi terasa seperti beban.

Namun, di sisi lain, teknologi juga bisa menjadi gangguan besar. Bayangkan anak-anak yang seharusnya mengerjakan PR, tapi malah asyik bermain game atau berselancar di media sosial. PR bisa kehilangan esensinya jika tidak diawasi dengan baik.

Maka dari itu, peran orang tua dan guru sangat penting dalam mengarahkan penggunaan teknologi agar bermanfaat. Jangan sampai PR justru membuat anak-anak terisolasi dengan gadget mereka. PR harus menjadi jembatan, bukan penghalang.

PR dan Kesehatan Mental

Jangan lupa pula, kita juga harus mempertimbangkan kesehatan mental anak-anak.

Tekanan dari PR yang berlebihan bisa berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Mereka bisa merasa stres, cemas, dan bahkan kehilangan minat belajar.

Sebaliknya, tanpa PR, anak-anak bisa merasa terlalu santai dan kehilangan ritme belajar yang terstruktur.

Keseimbangan adalah kunci. PR yang diberikan harus sesuai dengan kemampuan dan waktu yang dimiliki anak-anak. Guru harus sensitif terhadap tanda-tanda kelelahan dan stres pada siswa, dan orang tua harus mendukung dengan menciptakan lingkungan belajar yang positif di rumah.

Membangun Kebiasaan Belajar

Kebiasaan belajar yang baik tidak terbentuk dalam semalam. Tanpa PR, mungkin anak-anak akan kesulitan membangun rutinitas belajar.

Di sini, PR berfungsi sebagai alat untuk mengajarkan manajemen waktu. Anak-anak belajar untuk mengalokasikan waktu mereka dengan bijak antara belajar, bermain, dan beristirahat.

Namun, sekali lagi, PR yang berlebihan juga bisa merusak. Jika anak-anak terlalu banyak diberi PR, mereka akan merasa terbebani dan kehilangan minat untuk belajar secara mandiri.

Oleh karena itu, PR harus diberikan dengan proporsi yang tepat dan disertai dengan bimbingan yang baik dari guru dan orang tua.

Pendidikan yang Humanis

Kita sudah sering mendengarkan ungkapan bahwa pendidikan haruslah humanis, memanusiakan manusia.

Sekolah tanpa PR mungkin terlihat seperti langkah memanusiakan, tapi tanpa pengawasan dan tujuan yang jelas, ini bisa menjadi bumerang.

PR yang diberikan dengan penuh kasih sayang dan pemahaman terhadap kebutuhan anak-anak bisa menjadi alat yang kuat untuk membentuk karakter mereka.

Salah satu tujuan utama dari pendidikan adalah menumbuhkan rasa ingin tahu. PR yang baik adalah PR yang mampu memancing rasa ingin tahu siswa. 

Misalnya, PR yang menantang mereka untuk melakukan eksperimen kecil di rumah atau mencari informasi tambahan tentang topik yang menarik minat mereka.

Ini bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi juga tentang menemukan kesenangan dalam proses belajar.

Keseimbangan adalah Kunci

Jadi, apakah sekolah tanpa PR itu mendidik atau memanjakan? Jawabannya tidak hitam putih. Keseimbangan adalah kunci. PR yang terlalu banyak memang bisa menjadi beban, tapi tanpa PR, kita juga kehilangan alat penting untuk mendidik.

Pendidikan bisa mengelola keseimbangan manakala ia mengawal tumbuh kembang anak. Kita harus terus bergerak, terus beradaptasi, terus mencari keseimbangan antara belajar dan bermain, antara tanggung jawab dan kebebasan.

Pada akhirnya, sekolah tanpa PR bukanlah tentang mendidik atau memanjakan. Ini tentang bagaimana kita memandang pendidikan itu sendiri. Apakah kita hanya ingin anak-anak kita pandai secara akademik, atau kita ingin mereka tumbuh menjadi manusia yang utuh, yang memiliki karakter, disiplin, dan tanggung jawab?

Ada baiknya juga kita bisa lebih bijak dalam melihat PR, bukan sebagai beban, tapi sebagai bagian dari proses pendidikan yang lebih besar. Sebuah proses yang mendidik, membentuk karakter, dan mempersiapkan anak-anak kita untuk menghadapi masa depan dengan percaya diri.

Mencari Solusi di Tengah Jalan

Mungkin, solusi terbaik bukanlah menghapus PR sepenuhnya, tetapi merombaknya menjadi lebih bermakna.

PR seharusnya tidak hanya soal mengerjakan soal-soal matematika atau menulis esai panjang, tapi juga bisa berupa proyek kreatif yang melibatkan berbagai aspek pembelajaran.

Misalnya, tugas membuat miniatur bangunan terkenal, eksperimen sains sederhana, atau bahkan tugas yang mengajak anak-anak untuk mengamati lingkungan sekitar mereka.

Dalam Kurikulum Merdeka, konsep PR masih ada tetapi dengan pendekatan yang berbeda dari kurikulum sebelumnya.

Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek dan aktivitas, yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan lebih kontekstual dan bermakna. 

PR diberikan dalam bentuk tugas proyek yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, bukan hanya soal-soal yang harus diselesaikan di rumah.

Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan kritis dan kreatif siswa, serta memperkuat profil pelajar Pancasila melalui kegiatan yang lebih terintegrasi dan holistik.

Peran Guru dan Orang Tua

Peran guru dan orang tua sangat penting dalam mendukung anak-anak dalam mengerjakan PR. Guru harus bisa memberikan PR yang menarik dan relevan, serta memberikan bimbingan yang cukup.

Orang tua juga harus terlibat aktif dalam mendampingi anak-anak mengerjakan PR, bukan dengan cara memaksakan, tapi dengan cara mendukung dan memberikan motivasi.

Ini berarti bahwa semua pihak harus berperan aktif dalam proses pendidikan, termasuk dalam hal mengerjakan PR. Ketika anak-anak merasa didukung, mereka akan lebih termotivasi untuk belajar dan mengerjakan PR dengan baik.

Sekolah Tanpa PR, Mungkinkah?

Pada akhirnya, sekolah tanpa PR bukanlah tentang mendidik atau memanjakan, tetapi tentang bagaimana kita bisa menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik.

Pendidikan sudah sewajarnya berbicara tentang mempersiapkan anak-anak untuk masa depan, bukan hanya tentang mengejar nilai akademik.

Sudah menjadi kewajiban kita, mungkin sebagai orang tua dan guru mencari cara terbaik untuk mendidik anak-anak kita, dengan atau tanpa PR, agar mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Sekolah tanpa PR mungkin terdengar kontroversial, tapi di balik kontroversi tersebut, ada harapan besar untuk perbaikan sistem pendidikan kita. Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa menciptakan lingkungan belajar yang seimbang, menyenangkan, dan mendidik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun