Di Finlandia, misalnya, sistem pendidikan mereka dikenal dengan pendekatan yang lebih santai dan minim PR.
Hasilnya? Finlandia selalu berada di peringkat atas dalam berbagai tes internasional. Mereka menekankan pembelajaran yang menyenangkan dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, apakah model ini bisa diterapkan di Indonesia? Bisa jadi tidaklah semudah itu.
Budaya dan sistem pendidikan kita berbeda. Indonesia masih berjuang dengan berbagai tantangan seperti keterbatasan infrastruktur, kualitas guru yang belum merata, dan kurikulum yang sering berubah.
Apa Jadinya Dunia Pendidikan Tanpa PR?
Pikiran saya mengalir mencoba menerawang manakala adik-adik kecil pulang sekolah tanpa ada PR. Mereka langsung bisa bermain, berkreasi, atau bahkan membantu orang tua di rumah. Saya pun berpikir betapa indahnya dunia tanpa PR.
Tapi, apakah itu benar-benar menjadi satu cara yang mendidik atau justru memanjakan? Apakah pendidikan tanpa PR ini bisa mencetak generasi emas atau justru generasi yang malas?
Sekolah Tanpa PR: Mendidik atau Memanjakan?
Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan klasik, "Lebih baik kasih ikan atau pancing?"
Dalam konteks ini, PR adalah pancingnya. Tanpa PR, apakah kita benar-benar memberikan anak-anak kita keterampilan yang mereka butuhkan untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan?
Belajar itu bukan hanya tentang menyerap ilmu, tapi juga tentang melatih kedisiplinan. PR, jika diamati dalam hal ini, adalah sarana melatih kedisiplinan dan tanggung jawab.