Lantas, jika kita mengambil PR dari mereka, apakah kita juga mengambil kesempatan mereka untuk belajar disiplin?
Pendidikan seharusnya lebih dari sekedar transfer pengetahuan, namun juga tentang membentuk karakter. Namun, di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa sistem pendidikan kita seringkali terlalu berat sebelah.
Anak-anak dibombardir dengan PR yang pengerjaannya bahkan hingga larut malam, membuat mereka kelelahan dan kehilangan waktu bermain yang seharusnya mereka nikmati.
Pendidikan seyogyanya memiliki pola yang seimbang, yang tidak hanya fokus pada akademik, tapi juga mengembangkan dan mengasah potensi anak secara holistik.
Lagi-lagi saya berandai-andai sebentar: Apa jadinya jika sekolah tanpa PR benar-benar diterapkan?
Mungkin para siswa akan lebih bahagia. Tidak ada lagi drama "PR belum selesai," tidak ada lagi tangisan di meja belajar karena tugas matematika yang tak kunjung paham.
Tapi, apakah hal ini benar-benar solusi? Atau justru kita sedang menyiapkan bom waktu?
Bayangkan lagi seorang siswa yang tidak pernah diberi PR. Ia pulang, menyalakan TV, menonton serial favoritnya, dan tidur nyenyak tanpa beban. Di pagi hari, ia datang ke sekolah dengan wajah segar, tetapi apakah otaknya juga segar? Apakah ia siap menghadapi ujian kehidupan yang sebenarnya?
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "Kecerdasan itu ibarat pisau, harus terus diasah agar tajam." Tanpa PR, apakah kita benar-benar mengasah kemampuan anak-anak kita? Atau justru membiarkan mereka tumpul?
PR itu seperti sayur tanpa garam, terasa hambar tapi penting untuk sebuah rasa atau kenikmatan bahkan kesehatan. Tanpa PR, mungkin hidup anak-anak lebih manis, tapi apakah manis itu akan selalu sehat?
PR Sebagai Sarana Pembelajaran