Mohon tunggu...
Muhammad Ariqy Raihan
Muhammad Ariqy Raihan Mohon Tunggu... Penulis -

Lelaki sederhana dan penikmat sastra. Hanya ingin mencari kata-kata untuk disambung menjadi sebuah cerita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Matahari di Langit Senja

5 Desember 2015   12:01 Diperbarui: 5 Desember 2015   12:01 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sebuah perjalanan yang menentukan arah hidup, entah kemana hendak berlabuh. Barangkali ke hutan, atau mungkin laut. Ah, ya, sudah delapan tahun tidak berkunjung ke laut. Apakah masih biru ya? Atau mungkin sudah butek bercampur pasir putih yang kian menua. Tunggu, pasir memangnya punya umur?

Ada, sebuah langkah yang terlupakan. Pada kaki yang hendak melangkah pada sebuah jalan, namun ragu menyerang. Menimbulkan kelabu pada pikiran yang tak beranjak cepat dari sebuah pilihan yang sulit. Jalan itu kosong, penuh kabut pekat. Seperti selongsong peluru kosong pada sebuah pistol, yang ketika ditembakkan hanya ada sebuah teriakan hampa tak bermakna.

Ada yang hilang dari dalam dada ini. Dari sebuah ruang dalam relung hati bernama cinta. Ruang yang tadinya bercahaya namun kini gelap pekat berisikan kekosongan. Entah, apa penawar ulung dari rasa sakit ini. Seorang sahabat menyarankan untuk pergi saja kemanapun kaki ini hendak berlabuh.

Perjalanan hidup. Perjalanan cinta. Perjalanan makna.

***

            Senja. Begitu orang-orang memanggilnya. Ada yang aneh pada lelaki yang biasanya selalu duduk di sudut kedai kopi di pinggir Jalan Padjajaran. Ini sudah tahun kedua dia selalu duduk di sana setiap Sabtu sore, kata salah seorang pelayan yang mengenaliku. Akupun sudah masuk pada bulan kedua mengamati lelaki pendiam itu. Ya, satu-satunya waktu dia berbicara adalah ketika memesan coffee mocca latte, sama seperti kesukaanku.

Setahun lalu, aku memutuskan untuk pindah dari Jakarta ke kota hujan bernama Bogor. Ah, mana ada kota hujan tapi panas sepanjang hari. Mabuk kali, ya, yang memberikan sebutan itu? Masa bodoh. Hatiku berkata ada sesuatu di kota ini. Rasa sesal yang muncul jika aku tak pernah datang kemari, katanya. Sudah kebiasaan, hati menyimpan banyak misteri dariku.

Sudahlah, ikut saja. Kamu percaya, kan? tanya hati padaku.

Aku tak pernah tahu maksudnya hingga dua bulan lalu, hati mengantarkanku pada kedai kopi ini. Ketika hujan rupanya mulai jatuh menghujam kekeringan beberapa minggu ini. Aku tidak sendirian. Sesaat setelah masuk ke dalam kedai dan memesan secangkir coffee mocca latte, ada lagi seseorang yang baru saja bergegas dari santainya dan mendorong pintu kedai kopi ini. Sebuah wajah tanpa guratan emosi, ekspresipun juga tidak. Lelaki itu yang disebut Senja.

Dia memesan menu yang sama denganku. Menggeser kursi di sudut sana, dan mulai menggenggam erat kedua telapak tangannya erat-erat. Dia mencoba membuat kehangatan, rupanya. Tampak oleh sepasang mata penasaran ini, lelaki itu mengeluarkan sebuah pena dan beberapa carik kertas. Pena itu menggurat perlahan dan terlihat menguntai kalimat, paragraf demi paragraf.

Demi hujan yang membasahi kekeringan, rasa penasaran ini perlahan berubah menjadi sebuah ketertarikan yang tak beralasan. Entahlah.

***

            Bulan Oktober adalah bulan yang paling kusukai. Karena semenjak kepindahanku ke kota ini, hujan selalu menaungi rindu orang-orang pada kehadiran rasa sejuk dalam hari-harinya. Sudah tiga bulan lelaki bernama Senja itu tak pernah datang ke kedai kopi lagi. Kata pelayan, Senja sudah pergi dari Bogor. Pindah ke suatu tempat. Setidaknya, itu yang tertulis di secarik kertas bersamaan dengan bill pembayaran yang ditinggalkan untuk pelayan wanita berambut cokelat menggulung ke belakang itu.

“Langit Senja, nama lengkapnya.” ucap Lily. Nama sebuah bunga yang tertulis di nametag pelayan itu.

“Bagaimana kau bisa tahu? “ tanyaku ketika terakhir melihat lelaki itu tiga bulan lalu.

“Aku sahabat kecilnya.” Lily beranjak dari kursinya dan menepuk lembut pundakku. Ada rasa iba di wajahnya. Tunggu. Aku tak sedang merindu lelaki ini.

Apa iya? Jika aku benar-benar tak merindu?

***

“Lily, siapa nama gadis yang kauajak bicara itu?” tanyaku pada Lily ketika gadis berkupluk biru itu keluar dari kedai.

“Kau tanya sendiri saja.” Lily tersenyum mengejek. Tapi manis. Sahabat kecilku ini berlalu begitu saja menuju dapur.

Gadis itu berbeda, batinku. Bukan setan yang memengaruhiku, tapi ada sesuatu yang berbeda ketika menatapnya. Dia cantik, anggun, dan lembut, kata sebuah suara dari dalam dadaku. Ruang dalam relung hatiku bergejolak, menuntutku untuk menuangkannya pada beruntai-untai kalimat pada secarik kertas. Ah, aku lupa. Keberanianku ini nol besar, seperti manusia mati yang tak merasa di udara.

Hari-hariku bergerak dengan rasa penasaran senantiasa mengintai kedai kopi ini, di setiap kehadiran gadis berkupluk biru itu di Sabtu sore. Aku memilih sudut ruangan ini karena jauh dari kebisingan pengunjung lain, sehingga nyaman bagiku untuk menikmati hangatnya secangkir kopi sembari menatap kendaraan berlalu di jalan raya sana.

Keselarasan perasaan ini sungguh nikmat. Tenang, damai, dan hujan menghadirkan jutaan kata untuk digoreskan pada selembar kertas. Sudah beberapa minggu pikiranku mati tak mau berpikir. Namun, bayangan gadis itu tiba-tiba masuk dan menambahkan beberapa rasa dalam kalimat yang berpendar di pikiran ini.

Ah, kenapa aku tak kembali mulai menuliskan cerita pendek saja? Barangkali, bisa merekam sedikit demi sedikit kenangan yang nantinya bisa saja hilang jika tak kutuliskan.

Sialan kau, Lily, Pelit sekali berbagi nama denganku.

***

Hujan hari ini turun sangat indah. Tidak lebat, dan tidak gerimis. Aroma hujan ini tercium begitu jelas oleh setiap syaraf yang ada di dalam hidung. Alunan rintik-rintiknya ditelisikkan sebegitu kelunya. Hujan sore ini selaras dengan perasaanku.

Perlahan, aku mengapung pada sebuah lamunan yang medamaikan. Memoriku membesitkan begitu banyak kenangan, seperti memutar kaset rekaman. Jelas segalanya, mulai dari langkah pertama perjalananku hingga sampai pada detik sebelum lamunanku. Full colour.

Tunggu, itu kan… Lelaki yang di kedai itu? tunjukku pada bayangan memori di depan wajah ini. Rambut tebal acak-acaknya, kacamata miliknya, hingga pada guratan wajah tanpa emosinya. Kenapa dia bisa ada di sana? Hujan ini masih merasukiku begitu dalam, membenamkan ilusi dari potongan harapan yang perlahan mulai tumbuh di ruang di dalam relung hati.

Sebuah bunyi petir mengaburkan lamunanku. Ah, kamu kemana sih, Senja?

***

            Hari mengulur Minggu, dan Minggu pun mulai menarik Bulan-Bulan lainnya. Tak terasa, Sang Waktu mengajakku berlari cepat, hingga pada hitungan bulan kedelapan semenjak aku terakhir menghitungnya. Bulan Mei sudah mengetuk jendela kamarku. Yang tadinya selalu tertutup karena takut basah, kini perlahan terbuka, mengizinkan sepotong siluet cahaya mentari menembus jenjang kamarku.

Cerah hadir hari ini. Mengundang tiap senyum para tetangga yang sepertinya mulai merindukan matahari di pagi hari. Sabtu adalah hari terindah sedunia. Setelah delapan bulan lamanya, aku memutuskan untuk kembali menikmati kopi di pinggir Jalan Padjajaran. Ah, naik Transpakuan sepertinya lebih nyaman ketimbang berdesak-desakan di dalam angkot. Tak lupa, parka biru langit masih setia menemani kemeja yang kukenakan hari itu.

Kedai ini tak berubah sama sekali. Nah, ini dia, gadis yang kurindukan. Hei Lily, panggilku ketika mendorong masuk pintu kedai kopi itu. Gadis yang kini rambut cokelatnya sudah bertambah panjang dan dibiarkannya terurai tanpa gulungan.

“Kemana saja kamu?” tanya Lily saat mengantarkan secangkir coffee mocca latte hangat kesukaanku. Dia menarik kursi dihadapanku.

“Aku hanya melanjutkan perjalanan saja” ucapku tak serius, sementara Lily menempatkan fokusnya untuk mendengar setiap ceritaku.

Baiklah, kamu menang, Lily. Perjalanan ini adalah bagian dari langkah yang kuambil semenjak permulaan waktu. Pada saat cinta hilang dari ruang dalam relung hati ini. Pada saat kekosongan yang tersisa di dalamnya. Aku kehilangan segalanya. Ayah, Ibu, bahkan juga lelaki yang dulu pernah berlayar bersamaku, namun dibiarkannya kapal itu karam dan membiarkanku tenggelam dalam kehampaan.

Kepergian cinta itulah yang membuat kepindahanku ke Bogor menjadi beralasan. Satu tahun lamanya aku berjalan tanpa arah, hanya percaya pada bisikan-bisikan hati. Padahal, bisa saja kan setan memengaruhinya dan membuatnya menyesatkanku? Akan tetapi aku begitu percaya pada hati ini, hingga kemudian ia menuntunku pada kedai kopi ini. Pada lelaki yang selalu duduk di sudut kedai sana itu.

Lily pun tersenyum penuh misteri, Meninggalkan jejak-jejak pertanyaan tanpa jawaban. Apakah kamu menemukan cinta itu kembali, tanya Lily sembari menggenggam lembut kedua tanganku.

Tentu saja. Aku menemukannya pada lelaki bernama Senja.

Akupun terdiam oleh pernyataanku sendiri.

***

            Senja Yang Merindukan Matahari. Judul yang kusematkan pada cerita pendek yang baru saja kuselesaikan. Dua bulan memang tidak sebentar, namun cukup untuk meninggalkan ini sampai saatnya tiba. Hujan lagi Sabtu sore ini. Aku bahkan tak bisa melihat langit yang berbagi nama denganku, Langit Senja. Barangkali, dulu orangtuaku suka dengan pemandangan sehingga memberi nama anak mereka dengan nama yang diambil dari langit paling indah sedunia.

“Lily, aku minta tolong sesuatu padamu.” Lily menarik kursi dihadapanku. Dengan dahi mengerinyit, tentunya.

“Tolong simpan sebendel kertas ini sampai aku kembali kemari. Berjanjilah padaku, kau takkan memperlihatkan buku ini pada gadis yang tak mau kau sebutkan namanya itu.”

Lily menghabiskan lima menitnya untuk menimbang. Jawaban “Ya” sudah cukup sebagai tanda kesepakatan. Lily membawa sebendel kertas yang kubungkus dengan amplop cokelat ke dalam loker miliknya. Aku meraih sweater biru muda-ku, mengenakannya, dan bergegas meninggalkan kedai ini. Ah iya, tak lupa aku meminta bill pembayaran pada Lily dan menyelipkan dua lembar dua puluh ribuan dan secarik kertas.

Aku akan pergi untuk beberapa waktu. Aku akan kembali untuk gadis itu, nanti.

***

            Lagi, tak terasa aku harus berpacu dengan Sang Waktu. Kali ini, matahari bulan Juni yang menyapaku. Aku sudah terbiasa dengan pemandangan kosong di kursi sudut itu. Entah bagaimana kisahnya, tak ada satupun pengunjung duduk di kursi yang tadinya selalu diisi oleh Langit Senja. Seakan Takdir membutakan mata tiap orang akan kursi dan meja itu setiap Sabtu sore.

“Maaf, aku tak pesan kopi hari ini.” ucapku menolak sodoran cangkir dari Lily tanpa melihatnya.

“Bukan, ini cangkir kosong. Hanya ada secarik kertas saja. Bacalah.” Lily menggeser cangkir itu kehadapan pandanganku. Sepotong serat yang terlipat rapi, seperti tulisan yang menggurat di dalamnya. Bacalah sebendel kertas yang kutitipkan pada Lily.

***

Nafasku begitu memburu pagi ini. Aku baru saja hampir ketinggalan kereta subuh tadi. Apa jadinya jika terlambat di hari yang sakral ini? Aku melirik arloji cokelat tua pemberian Ayah. Bibir ini melirih pada udara. Menghela nafas kekecewaan.

Andai saja, bunga mawar ini tak ketinggalan sebelum berangkat tadi. Ya sudahlah. Jika Sang Takdir berteman denganku, dia takkan membiarkan keterlambatan merusak semua rencana yang sudah disiapkan. Ada gadis yang harus kutemui sore ini. Gadis yang bernama sama dengan Sang Pemberi Sinar di pagi hari. Nama seorang gadis yang tak sengaja kudapatkan tiga bulan lalu, ketika secarik kartu nama jatuh dari parkanya.

Kakiku menyentuh Stasiun Bogor, Sabtu, pukul empat sore.

***

Sendu jatuh di wajah ini. Tak kuasa tanganku menahan bulir basah yang melewati kedua celuk mataku perlahan. Akan kubacakan sedikit sepotong cerita pendek yang mengembalikan cinta ke dalam relung hatiku.

Senja Yang Merindukan Matahari

Ada, sebuah langit terindah yang Tuhan ciptakan untuk sebuah keselarasan antara Matahari dan Rembulan. Tuhan memberinya nama Langit Senja. Sebuah nama yang tak pernah pudar di dalam pesona tiap manusia yang menatapnya.

Di sebuah kota yang dingin, ada seorang pemuda yang telah lama tenggelam dalam kekosongan. Sudah lama cinta hilang dari hatinya. Sejauh kaki melangkah, hanya potongan-potongan kecil di jalan yang diikutinya. Potongan kecil itu bermuara pada sebuah rumah yang ternyata adalah milik sahabat kecilnya.     

Sahabat kecilnya ini mengajak lelaki itu untuk berkunjung di kedai kopi tempai ia bekerja untuk mengembalikan ceria dalam wajahnya. Sebuah usaha sia-sia sampai datang suatu waktu, pada saat seorang gadis asing masuk dan memesan kopi yang sama dengannya. Ah, sebenarnya gadis itu duluan memesannya. Lelaki itu terlambat karena harus menggosokkan kedua tangannya dahulu karena dingin kehujanan. Lelaki itu menatap sang gadis dari sudut kedai yang tak terjamah siapapun.

            Lelaki ini tak punya keberanian sama sekali. Bodoh, ketika sahabat kecilnya itu marah pada saat Si Lelaki menceritakan semua isi perasaanya. Seperti Takdir yang membenci penyesalan, lelaki itu pergi. Meninggalkan kota itu untuk menemukan jati dirinya. Seperti gadis itu, yang menempuh perjalanannya sendiri untuk menemukan cintanya kembali. Sang Lelaki selalu berpanjat di sepertiga malam, dialah yang kelak akan mengembalikan cinta dalam diri gadis itu.

            Namun pada suatu hari, Lelaki ini kembali. Dia siap kali ini untuk menyatakan perasaannya. Mantap untuk mengakhiri perjalanan sang gadis dan menyiapkan kapalnya untuknya. Dia siap untuk berlayar hingga sampai pada muara terakhir bernama Cinta.

 -SELESAI –

Aku mengusap pelan setiap senti sendu yang mengalir lembut di wajahku. Sehangat ini kah ketulusan yang meresap pada tiap kalimat cerita ini? Mengapa aku sebodoh ini tak menyadarinya lebih cepat? Kenapa juga dia harus melempar diam daripada berkata terus terang? Padahal aku berpikir untuk segera menyudahi perjalanan ini. Aku sudah menemukan kembali cinta. Hanya saja kosong, tanpa rasa.

Pintu kedai kopi tetiba terbuka. Seorang lelaki bersweater biru muda, membawa sebuket bunga mawar di tangan kanannya. Nafas tersengalnya hilang begitu saja ketika aku menatap wajahnya lekat-lekat, Langit Senja kembali, bisikku pelan. Haru berjatuhan tiada hentinya bersamaan dengan senyuman terindah yang belum pernah aku tunjukkan sebelumnya.

Di tengah haru ini, Senja membisikiku, “Kapan kita mulai perjalanannya?”

Perjalanan itu selaras dengan Sang Waktu dan Sang Takdir. Terkadang kita lengah, jika keduanya sudah membuat rencana terbaik yang tak pernah tepikirkan sebelumnya. Terkadang pula kita tak pernah sadar, bahwa semua akan indah pada waktunya.

SELESAI –

Muhammad Ariqy Raihan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun