Mohon tunggu...
Muhammad Ariqy Raihan
Muhammad Ariqy Raihan Mohon Tunggu... Penulis -

Lelaki sederhana dan penikmat sastra. Hanya ingin mencari kata-kata untuk disambung menjadi sebuah cerita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Matahari di Langit Senja

5 Desember 2015   12:01 Diperbarui: 5 Desember 2015   12:01 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Tolong simpan sebendel kertas ini sampai aku kembali kemari. Berjanjilah padaku, kau takkan memperlihatkan buku ini pada gadis yang tak mau kau sebutkan namanya itu.”

Lily menghabiskan lima menitnya untuk menimbang. Jawaban “Ya” sudah cukup sebagai tanda kesepakatan. Lily membawa sebendel kertas yang kubungkus dengan amplop cokelat ke dalam loker miliknya. Aku meraih sweater biru muda-ku, mengenakannya, dan bergegas meninggalkan kedai ini. Ah iya, tak lupa aku meminta bill pembayaran pada Lily dan menyelipkan dua lembar dua puluh ribuan dan secarik kertas.

Aku akan pergi untuk beberapa waktu. Aku akan kembali untuk gadis itu, nanti.

***

            Lagi, tak terasa aku harus berpacu dengan Sang Waktu. Kali ini, matahari bulan Juni yang menyapaku. Aku sudah terbiasa dengan pemandangan kosong di kursi sudut itu. Entah bagaimana kisahnya, tak ada satupun pengunjung duduk di kursi yang tadinya selalu diisi oleh Langit Senja. Seakan Takdir membutakan mata tiap orang akan kursi dan meja itu setiap Sabtu sore.

“Maaf, aku tak pesan kopi hari ini.” ucapku menolak sodoran cangkir dari Lily tanpa melihatnya.

“Bukan, ini cangkir kosong. Hanya ada secarik kertas saja. Bacalah.” Lily menggeser cangkir itu kehadapan pandanganku. Sepotong serat yang terlipat rapi, seperti tulisan yang menggurat di dalamnya. Bacalah sebendel kertas yang kutitipkan pada Lily.

***

Nafasku begitu memburu pagi ini. Aku baru saja hampir ketinggalan kereta subuh tadi. Apa jadinya jika terlambat di hari yang sakral ini? Aku melirik arloji cokelat tua pemberian Ayah. Bibir ini melirih pada udara. Menghela nafas kekecewaan.

Andai saja, bunga mawar ini tak ketinggalan sebelum berangkat tadi. Ya sudahlah. Jika Sang Takdir berteman denganku, dia takkan membiarkan keterlambatan merusak semua rencana yang sudah disiapkan. Ada gadis yang harus kutemui sore ini. Gadis yang bernama sama dengan Sang Pemberi Sinar di pagi hari. Nama seorang gadis yang tak sengaja kudapatkan tiga bulan lalu, ketika secarik kartu nama jatuh dari parkanya.

Kakiku menyentuh Stasiun Bogor, Sabtu, pukul empat sore.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun