“Tak ada yang lebih berharga di hidup ini, daripada sebuah pertemuan. Tanpanya, aku takkan mengenal kata ‘teman’ atau ‘sahabat’. Tanpanya, aku takkan mengenal kamu, seseorang yang selalu ada dalam panjatku.”
Hujan sedang bersemangat hari ini. Puluhan, bukan, ratusan orang sedang memanggilnya hari ini. Bersama gemuruh dan awan abu-abu pekat kehitaman, menelisikkan perlahan bait pahit di setiap bulir yang jatuh menghujam tanah. Hari ini adalah hari tersejuk sedunia. Ada yang ingin mengaburkan hujan di wajah mereka dengan hujan di langit senja. Menghapus tiap rasa penyesalan hanya karena “terlambat”.
Di pertigaan depan sana, aku melihat orang-orang beranjak dari santainya. Bergegas mencari tempat untuk berteduh. Sementara, di samping kursiku kini, Lintang tampak masih menundukkan wajahnya. Kedua tangannya saling mengenggam satu sama lain dengan erat. Ada untaian kalimat halus dari bibirnya. Menurutku, dialah yang paling kuat sewaktu memanggil sendu ini jatuh ke bumi yang sedari tadi kering kerontang. Akupun menunduk, memandang meja. Sepotong risoles dan sebotol teh manis tertata rapi dalam sebuah kotak bekal makan plastik favoritku. Ini satu-satunya milikku, jika ada orang polos menanyaiku mengapa aku suka tempat menyimpan bekal ini. Risoles ini sudah dingin sedari tadi. Aku tahu, kotak inilah yang menyebabkan Lintang diam seolah mati tak merasa. Kaku dan hilang dari dimensi ini.
“Matahari, tunggu!” Lintang memanggil seorang gadis yang baru saja melewatkanku di depan kantin ini. Bel pertama istirahat sudah berbunyi sedari tadi. Murid-murid berhamburan keluar, hendak menolong perut mereka yang sudah mulai berdemonstrasi. Gadis itu, atau panggil saja Matahari, bergeming. Tetap berlalu di antara kerumunan dan mempercepat langkahnya menuju kelas musik. Lintang pun kecewa tak keruan.
Nama gadis itu Matahari. Aku tak pernah tahu nama aslinya seperti apa, tak penting bagiku. Gadis itu yang dikejar Lintang selama ini. Katanya, alis tipis dan rambutnya yang saban hari selalu diikat menggulung ke belakang membuatnya jatuh dalam dekapan perasaan yang lebih kuat dari sekadar kata “suka”. Jua, diam gadis itu menjadi pemikat ketertarikan Lintang padanya.
Ah, ya. Aku belum menceritakan tentang sahabatku, Lintang. Lelaki berambut halus dan berbadan kurus ini adalah teman jahilku semenjak kecil. Bahkan, kami sudah bertukar tangis sewaktu kedua ibu kami saling memamerkan malaikat kecilnya itu. Jika ada yang bertanya, siapa lelaki paling romantis di sekolah ini, semua murid sepakat menunjuk Lintang. Sempurna, kataku.
Aku berjalan memutari lorong dan menghembus debu yang menempel di kaca belakang ruang musik. Ini adalah satu-satunya jendela yang tak pernah disadari oleh murid bahwa jendela itu nyata. Matahari hanya sendirian disana. Menekan tuts-tuts piano dan mulai melantunkan melodi. Tiap lantunan nada itu mulai menyambungkan nafas satu sama lain sehingga menciptakan sebuah harmoni indah. Aku kenal lagu ini.
All of Me – John Legend.
Gadis itu berhenti menyentuh tuts piano ketika bel istirahat kedua berbunyi. Memanggil tiap manusia yang ada untuk kembali ke kelas masing-masing. Kakinya perlahan melangkah keluar. Agak terlihat terkejut, sepertinya. Ada sebuah tempat bekal makan siang terletak rapi di depan kelas musik. Sepotong risoles dan sebotol teh manis. Ada secarik kertas di dalamnya.
Makanlah. Aku mau tahu apakah kamu suka ini atau tidak.
Matahari sedikit tersenyum. Akupun pergi meninggalkan jendela tua itu, kembali ke peraduan manisku bernama bangku tua reyot. Lintang masih tampak kecewa di kursi sampingku. Diamnya Matahari seolah penolakan terburuk yang pernah didapatnya. Memang sih, seharusnya mudah bagi Lintang untuk mendapatkan Matahari. Matahari suka dengan cahaya. Dan Lintang seharusnya adalah cahaya yang dirindukan oleh Matahari.
Matahari perlahan mulai memakan risoles itu di kelas. Seakan Takdir ada di sini, guru Biologi ternyata tidak bisa hadir hari ini, sedang sakit, begitu isi surat yang sampai di meja guru. Jua, tak lupa teh manis tadi juga diminumnya. Tentu, dengan rasa penasaran. Barangkali, itu adalah racun. Tapi jika iya, mana ada pembunuh yang meninggalkan secarik pertanyaan seperti itu? Sepertinya, gadis itu suka risolesnya. Andai, dia tahu siapa yang memberinya tempat bekal itu...
***
Waktu adalah sahabat bagi setiap orang. Seringkali, begitu asyiknya berbincang, kita tak pernah sadar bahwa segalanya terasa berlalu begitu cepat. Sudah sampai masanya Aku, Lintang, Matahari, dan teman-teman lainnya menanggalkan seragam kebesaran putih abu-abu, menggantinya dengan seragam kebesaran kesukaan kita masing-masing.
Aku dan Lintang kembali duduk bersebalahan di kelas ber-AC dan bertingkat melingkar ke bawah ini. Ya, sepertinya Waktu dan Takdir menginginkanku untuk tak berpisah dengan sahabat hebatku sepanjang masa ini. Takdir memberitahuku, jika perasaan Lintang tak pernah mati. Bahkan, ketika sendupun dia akan tetap menunggu Matahari tiba.
“Senja. Aku duluan ya, mau ke kampus Matahari dulu.” ucap Lintang selepas kelas kami hari ini. Ia pun segera berlalu menuju parkiran mobilnya.
Hanya senyum kecil yang bisa kutampakkan pada lelaki itu. Aku mendongakkan wajahku pada langit senja yang berbagi nama denganku, berharap semoga semua indah pada waktunya. Aku pikir sepotong risoles dan secangkir teh manis hangat adalah pasangan serasi untuk menemaniku sore ini.
“Matahari, Aku mau ngomong sesuatu sama kamu” Lintang menggenggam tangan Gadis berbalut sweater biru itu dan menariknya pada sebuah kursi di sebuah restoran tak jauh dari kampus tempatnya belajar.
Matahari bergeming. Entah bagaimana membedakan guratan wajahnya. Antara penasaran, senang, dan tak acuh. Lintang tak pernah tahu bahwa Matahari tak pernah menyukai dirinya. Bahkan, semenjak masih dibalut seragam abu-abu, gadis itu sebenarnya sudah memantapkan hatinya. Ia sudah menetapkan sepucuk nama di dalam hatinya. Nama yang disimpannya dalam-dalam di sebuah relung yang bernama harapan.
“Aku suka sama kamu.” Lintang langsung tanpa basa-basi
“Aku sudah tahu” ucap Matahari tak acuh.
“Lin, aku sudah menetapkan pilihanku. Aku tak mau membuatmu lelah seperti ini hanya untuk seorang gadis yang bahkan tak memilih namamu dalam hidupnya. Tolong, kita seperti semula saja ya, teman berbagi keceriaan.”
Jawaban itu menohok harapan yang selama ini dipupuk Lintang. Berjuta-juta anak panah menghujam tiap pelupuk perasaan yang sudah dibangunnya selama ini. Hilang, seperti awan pekat yang tak merasa di udara. Matahari kini mulai merasa bersalah. Seharusnya tak secepat ini dia mengutarakannya. Masih ada waktu yang lebih tepat, bukan seperti sekarang ini.
Aku pulang dengan beribu pertanyaan hinggap di kepalaku. Lelaki yang menyukaiku sedari dulu mengungkapkan perasaannya padaku. Sebenarnya, Aku tak mau harus berakhir seperti ini. Memutuskan kontak bukanlah pilihan yang baik, menurutku. Akan tetapi, Lintang lebih memilih melupakan semua ini daripada kembali dan kita tak akan merasa apa-apa lagi.
Akupun melihat tempat bekal makan yang ada di sudut meja kamar. Bagaimana bisa lelaki yang tak pernah kukenal ini bisa memenuhi relung harapanku dan menutup kesempatan untuk seseorang lainnya? Aku sebenarnya tahu siapa lelaki ini. Tapi anggap saja, saat ini aku tak mengenalnya. Berbicara saja jarang, apalagi sebuah obrolan kecil yang bisa mengundang rindu? Lupakan. Rindu itu sudah hadir di sini sedari dulu.
Aku kemudian berjalan menuju dapur dan menyeduh secangkir teh manis hangat. Tak lupa beberapa potong risoles sebagai pasangan serasi untuk menemaniku menunggu langit senja berganti rembulan di kegelapan yang pekat. Ah, aku jadi teringat Senja, sahabat Lintang. Lelaki pendiam dan pemalu itu sama sekali tak pernah menatapku jika kuajaknya berbicara. Orang paling diam di kelas dulu, menurutku. Tapi, aku rasa ada yang berbeda dari lelaki itu. Aku hanya tak tahu apa itu.
“Hey, Lin. Bagaimana?” Tanyaku di tengah kelas yang muram ini. Tak ada satupun mahasiswa yang sanggup bertahan di kelas ini, semuanya pecah fokus dan menghilang entah kemana. Kecuali aku dan Lintang, yang dari awal tak menempatkan fokus apapun di kelas ini.
Dia hanya menggelengkan kepalanya. Kabut pekat, pikirku. Akupun berhenti untuk menguntai kata apapun detik itu juga. Dalam sepersekian detik, aku seolah melihat Waktu memutar dimensi kami. Perlahan, perlahan, dan... hingga tak satupun kami sadar bahwa tahun sudah mengulur tahun-tahun lainnya.
Aku dan Lintang kini sudah tak lagi berpakaian hitam dan mengenakan topi Toga kebanggaan kami. Kami sudah sampai pada cita-cita yang sedari dulu kita kejar. Lintang sudah menjadi arsitek. Sementara Aku? Penikmat langit senja, sama seperti namaku sendiri, bertitelkan Insinyur, dan menikmati hariku sebagai pengusaha. Aneh memang, pengusaha bergelarkan Insinyur.
Bisa kulihat sepucuk berita di koran pagi itu, Pengusaha Risoles Bertitelkan Sarjana Insinyur Sukses Membuka Puluhan Gerai di Kota Jakarta. Terlalu berlebihan, menurutku. Ada alasan tersendiri mengapa risoles lah pilihanku sebagai usaha. Bukan makanan yang lain.
Risoles itu bisa berasakan asin dan manis. Tergantung rasa mana yang orang suka. Dulu, hidupku memang terasa asin, bahkan asam. Seolah dibiarkan hambar begitu saja. Aku terlalu dalam memupuk harapan yang terkadang tak kuat untuk menahannya. Pada gadis yang menarik perhatianku, menarik tiap rindu jika sehari saja tak bertemu dengannya. Namun, ketika gadis itu mengambil tempat bekal makan yang kutinggalkan di depan ruang musik dan menyantapnya ketika di kelas, sejenak membuatku mengerti seperti apa rasanya manis itu. Meninggalkan jejak-jejak kenangan yang tak pernah kuhapus hingga kini.
Aku tak pernah menemukan tempat bekal kesukaanku itu sepanjang perjalananku menuju detik ini. Barangkali, dia membuangnya, pikirku. Jika iya, biarkan saja. Aku tak mau sahabat terhebat sepanjang masa-ku akan kecewa punya teman sepertiku. Aku tak mau memungkiri jika perasaan tak bisa dibelenggu oleh ikatan yang tak serupa. Sahabat dan Cinta adalah ikatan yang berbeda. Ah, sudahlah. Toh, aku masih bisa menikmati langit senja. Toh, Lintang terkadang masih mengirimiku postcard dari Amerika sana.
***
Ada yang berbeda dengan koran pagi itu. Ada sebuah nama yang memanggil rinduku kembali. Hei, ini masih pagi, kataku pada rindu. Aneh, kan, jika aku menemukan diriku terhanyut dalam rindu, di saat aku, bahkan, belum meraih beberapa potong roti sarapanku?
Ah, koran ini tak hanya memanggil rindu, tetapi juga sepucuk nama dari relung terdalam yang bernama harapan ini. Nama seorang lelaki yang kemudian ditelisikkan oleh hujan begitu manisnya. Loh, aku baru sadar kalau hujan turun hari ini.
Aku mencatat alamat yang tertera di koran itu. Akhirnya aku bisa mengembalikan tempat makan ini. Aku berutang perasaan padanya. Aku lelah memungut rindu di tiap perjalanan, sementara kamu entah hilang kemana.
Aku menderu mobilku di tengah hujan ini. Perasaan ini rasanya tak keruan. Entah manis atau kelu. Aku tak tahu itu. Pradugaku berucap cepat. Anggap saja, ini adalah kado dari Waktu untukku, katanya. Atas kesabaranku untuk tak mengkhianati nasihatnya kepadaku dulu.
Aku bahagia hari ini. Waktu hadir bersamaku di mobil. Ia kini duduk di sampingku. Tersenyum manis. Ia perlahan menggenggam tanganku seraya berkata, “Kuberikan hari ini untukmu. Jangan kamu sia-siakan.”
Mobilku berhenti, tepat di depan sebuah kedai di pinggir jalan. Ah, sebaiknya aku meminta nasihat pada Waktu saja ya, apa yang harus dilakukan sekarang. Aku gugup di hadapan tempat yang kini tampak sakral olehku.
***
Ada mobil terparkir di luar sana, pikirku. Siapa gerangan datang sepagi ini di kedaiku? Tempat ini rumahku juga, sudah pasti sepagi ini mataku sudah terjaga. Terutama, menikmati sepotong roti dengan selai blueberry.
Seorang perempuan, rupanya. Dia beranjak keluar dari dalam mobil itu, berpayung biru, dan berjalan mendekat, meraih kenop pintu yang pagi ini kebetulan tak dikunci. Eh, tunggu. Kenapa aku membuka kuncinya ya?
Perempuan berparka biru langit itu pun masuk dan meninggalkan payungnya di depan pintu. Dia sekarang menatapku. Wajah kita saling berpadu di tengah rasa sejuk hujan ini. Sedikit aneh, karena kita sempat saling melempar diam untuk beberapa saat.
“Matahari?” tanyaku agak tergugup. Takut salah.
Perempuan itu masih bergeming. Lagi, Aku tunduk pada perasaan yang lama kulipat rapi dalam lemari ketidakpercayaan diriku. Jika saja ada Takdir di sini, ingin ku tinju rasanya. Aku sudah berulang kali bilang padanya untuk tak mengejutkanku dengan hal semacam ini.
“Hai, Senja..” balasnya, sembari mengusap beberapa bulir hujan yang kini turut jatuh di wajahnya. Dia memegang sebuah dus cokelat dan kemudian menyerahkannya padaku.
“Bukalah.”
Akupun membuka dus itu. Isinya sebuah kotak bekal makan yang dulu kutinggalkan di depan kelas musik itu. Ada sepotong risoles, sebotol teh manis, dan secarik amplop di dalamnya. Dia tak pernah membuangnya selama ini, rupanya. Hujan pun turut hinggap di kedua mataku. Aku dan Matahari kini terpaut dalam rindu yang memuncak di antara dimensi yang indah ini. Aku meletakkannya di atas meja dekat kasir, dan kubaca surat itu.
Halo, lelaki yang membawakanku sepotong risoles dan sebotol teh manis. Ngapain kamu buat pertanyaan bodoh seperti itu? sudah jelas risoles adalah makanan favoritku. Apalagi teh manis. Emm... pasangan serasi sekali! Eh, eh, tunggu. Kenapa sih bukan kamu saja yang langsung meberikannya padaku?
Pada akhirnya aku tahu kamu siapa. Itulah kenapa, aku memilih mengacuhkan Lintang dan menatapmu. Aku tahu kita tak pernah berani untuk mengungkapkan perasaan kita satu sama lain. Aku merasa justru perasaan kitalah yang terpaut semenjak saat itu. Jika tidak, buat apa Waktu dan Takdir mau repot-tepot untuk mengirim sekotak rindu di hati kita masing-masing?
Senja. Aku tak mau menunggu lebih lama lagi. Aku tak mau lagi memungut rindu di jalan yang tadinya ada kamu, namun kemudian hilang entah kemana. Aku mau kita memungut rindu itu bersama-sama. Saling mendekapnya dalam perasaan paling indah di dunia ini. Ah, kamu pasti tahu maksudku.
Senja, aku siap untuk hadir di dalam hidupmu. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin menjadi satu-satunya muara tempat kapalmu pernah berlabuh.
Haru pun pecah. Aku kemudian menggenggam erat tangan Matahari. Aku memeluknya erat-erat dengan penuh rasa kasih sayang.
“Tahukah kamu? Tuhan menciptakan pertemuan agar aku dan kamu ada disini. Tuhan pula menciptakan Waktu, agar pertemuan menghampiri kita dan menyatukannya. Dalam sebuah ikatan yang aku menyebutnya, keterpautan perasaan.”
Matahari pun diam tanpa kata, dia hanya tersenyum bahagia. Yang kutahu, dia tak pernah melepaskan genggamannya dalam genggaman tanganku. Di keheningan hujan, aku melukis udara dingin. Bahwa harapan takkan hilang, jika kita percaya bahwa Tuhan sudah menyiapkan yang terbaik.
Di tengah haru ini, dia balik membisikiku, “Kapan kita memulai perjalanannya?”
Gantian, aku yang tersenyum bahagia sekarang.
- SELESAI –
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H