Mohon tunggu...
Muhammad Ariqy Raihan
Muhammad Ariqy Raihan Mohon Tunggu... Penulis -

Lelaki sederhana dan penikmat sastra. Hanya ingin mencari kata-kata untuk disambung menjadi sebuah cerita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sekotak Rindu dan Sepotong Risoles

14 November 2015   18:11 Diperbarui: 14 November 2015   18:23 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

            Jawaban itu menohok harapan yang selama ini dipupuk Lintang. Berjuta-juta anak panah menghujam tiap pelupuk perasaan yang sudah dibangunnya selama ini. Hilang, seperti awan pekat yang tak merasa di udara. Matahari kini mulai merasa bersalah. Seharusnya tak secepat ini dia mengutarakannya. Masih ada waktu yang lebih tepat, bukan seperti sekarang ini.

            Aku pulang dengan beribu pertanyaan hinggap di kepalaku. Lelaki yang menyukaiku sedari dulu mengungkapkan perasaannya padaku. Sebenarnya, Aku tak mau harus berakhir seperti ini. Memutuskan kontak bukanlah pilihan yang baik, menurutku. Akan tetapi, Lintang lebih memilih melupakan semua ini daripada kembali dan kita tak akan merasa apa-apa lagi.

            Akupun melihat tempat bekal makan yang ada di sudut meja kamar. Bagaimana bisa lelaki yang tak pernah kukenal ini bisa memenuhi relung harapanku dan menutup kesempatan untuk seseorang lainnya? Aku sebenarnya tahu siapa lelaki ini. Tapi anggap saja, saat ini aku tak mengenalnya. Berbicara saja jarang, apalagi sebuah obrolan kecil yang bisa mengundang rindu? Lupakan. Rindu itu sudah hadir di sini sedari dulu.

            Aku kemudian berjalan menuju dapur dan menyeduh secangkir teh manis hangat. Tak lupa beberapa potong risoles sebagai pasangan serasi untuk menemaniku menunggu langit senja berganti rembulan di kegelapan yang pekat. Ah, aku jadi teringat Senja, sahabat Lintang. Lelaki pendiam dan pemalu itu sama sekali tak pernah menatapku jika kuajaknya berbicara. Orang paling diam di kelas dulu, menurutku. Tapi, aku rasa ada yang berbeda dari lelaki itu. Aku hanya tak tahu apa itu.

            “Hey, Lin. Bagaimana?” Tanyaku di tengah kelas yang muram ini. Tak ada satupun mahasiswa yang sanggup bertahan di kelas ini, semuanya pecah fokus dan menghilang entah kemana. Kecuali aku dan Lintang, yang dari awal tak menempatkan fokus apapun di kelas ini.

            Dia hanya menggelengkan kepalanya. Kabut pekat, pikirku. Akupun berhenti untuk menguntai kata apapun detik itu juga. Dalam sepersekian detik, aku seolah melihat Waktu memutar dimensi kami. Perlahan, perlahan, dan... hingga tak satupun kami sadar bahwa tahun sudah mengulur tahun-tahun lainnya.

            Aku dan Lintang kini sudah tak lagi berpakaian hitam dan mengenakan topi Toga kebanggaan kami. Kami sudah sampai pada cita-cita yang sedari dulu kita kejar. Lintang sudah menjadi arsitek. Sementara Aku? Penikmat langit senja, sama seperti namaku sendiri, bertitelkan Insinyur, dan menikmati hariku sebagai pengusaha. Aneh memang, pengusaha bergelarkan Insinyur.

            Bisa kulihat sepucuk berita di koran pagi itu, Pengusaha Risoles Bertitelkan Sarjana Insinyur Sukses Membuka Puluhan Gerai di Kota Jakarta. Terlalu berlebihan, menurutku. Ada alasan tersendiri mengapa risoles lah pilihanku sebagai usaha. Bukan makanan yang lain.

            Risoles itu bisa berasakan asin dan manis. Tergantung rasa mana yang orang suka. Dulu, hidupku memang terasa asin, bahkan asam. Seolah dibiarkan hambar begitu saja. Aku terlalu dalam memupuk harapan yang terkadang tak kuat untuk menahannya. Pada gadis yang menarik perhatianku, menarik tiap rindu jika sehari saja tak bertemu dengannya. Namun, ketika gadis itu mengambil tempat bekal makan yang kutinggalkan di depan ruang musik dan menyantapnya ketika di kelas, sejenak membuatku mengerti seperti apa rasanya manis itu. Meninggalkan jejak-jejak kenangan yang tak pernah kuhapus hingga kini.

            Aku tak pernah menemukan tempat bekal kesukaanku itu sepanjang perjalananku menuju detik ini. Barangkali, dia membuangnya, pikirku. Jika iya, biarkan saja. Aku tak mau sahabat terhebat sepanjang masa-ku akan kecewa punya teman sepertiku. Aku tak mau memungkiri jika perasaan tak bisa dibelenggu oleh ikatan yang tak serupa. Sahabat dan Cinta adalah ikatan yang berbeda. Ah, sudahlah. Toh, aku masih bisa menikmati langit senja. Toh, Lintang terkadang masih mengirimiku postcard dari Amerika sana.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun