Saya sendiri melihat definisi rindu yang semacam itu terus diperjuangkan Rendra dalam beberapa puisi lainnya, bahwa aku lirik adalah aku lirik yang pernah kehilangan atau sedang kehilangan aku sehingga isu tentang rindu dan tuju mengerucut pada hal tersebut.
Aku lirik yang berkaca
Dalam puisi “Hotel Internasional, Pyongyang” Rendra memunculkan aku lirik yang bergumul dengan sepi yang dengannya orang dapat menatap diri sendiri dan menghadap diri sendiri serta telanjang dalam jiwa. Makin jauh aku ini bertanya siapa dirinya, ia digambarkan tegang, guyah, serta gelisah. Kesepian digambarkan aku lirik sebagai cermin: Kesepian menghadap padaku bagai kaca.
Lagi-lagi puisi ini sebenarnya ingin memulai dengan isu ketiadaan tujuan selain aku lirik sendiri, dan ia jauh lebih berhasil ketimbang “Mancuria” karena kesadaran untuk pergi dari kesendirian adalah kesadaran yang menurutnya tidak perlu.
Dengan gemasnya hal itu dikatakan aku lirik pada lima baris terakhir puisi tersebut. Tapi agar Anda dapat menikmati secara utuh, saya kutipkan semuanya di sini.
HOTEL INTERNASIONAL, PYONGYANG
Di malam yang larut itu
dengan jari-jari yang rusuh kubuka pintu balkon
dan lalu bergumullah diriku dengan sepi.
Malam musim gugur yang tidak ramah