Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Seni

WS Rendra: Rindu dan Tuju

1 Oktober 2022   18:51 Diperbarui: 2 Oktober 2022   09:52 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegagalan Rendra mempertahankan tuju

Dalam puisi “Mancuria” Rendra bilang begini di bait pertama:

Di padang-padang yang luas

kuda-kuda liar berpacu.

Rindu dan tuju selalu berpacu.

Bait ini luar bisa padu, setiap unsurnya saling jelaskan dengan baik secara bolak-balik. Pemilihan kuda-kuda liar di padang-padang yang luas menjadi metafor untuk rindu yang sedang aku lirik jelaskan. Kalau kuda-kudanya kita ganti dengan kuda pedati atau kuda sewaan di tempat pariwisata maka baris ketiga bait ini tidak punya kekuatan yang sama lagi. Anda boleh saja menulis puisi tentang kuda sewaan dengan latar alun-alun sebuah kota, tetapi mampukah puisi tersebut menjelaskan rindu sekuat Rendra dalam “Mancuria”?


Mari kita teruskan.

Rindu dalam bait ini ternyata aku lirik jelaskan tidak punya tujuan. Kata tuju di larik ketiga merupakan bentuk verba, berasal dari meN- dan tuju, bukan dari tujuan.

Maka rindu yang biasa digunakan untuk siapa atau untuk apa (misal rindu Mama sehingga ingin pulang kampung, rindu pantai sehingga ingin ke Anyer), menurut Rendra di bait pertama bukanlah rindu yang sebenar-benarnya rindu. Rindu mestilah suatu keberpacuan rindu-dan-tuju yang liar di padang-padang yang luas. Padang-padang yang luas tentu bukan tujuan dari kuda-kuda liar, tapi sebanding maknanya dengan keliaran itu sendiri. Apa itu keliaran? Rendra menjawab: padang-padang yang luas.

Salah jika baris terakhir itu kita maknai rindu dan tujuan selalu berpacu karena di padang-padang yang luas tidak ada tujuan, ke mana pun kuda-kuda liar itu memacu diri mereka akan berada di padang-padang luas yang sama.

Karena itu mungkin Rendra ingin bilang bahwa rindu yang sebenar-benarnya rindu itu tidak menuju siapa dan juga apa. Tapi mungkinkah ada rindu yang semacam itu, rindu yang tanpa tujuan? Ternyata Rendra gagal mempertahankan kekuatan bait pertama.

Di bait ke-4 aku lirik berkata demikian.

Dan di cakrawala, di dalam hujan

kulihat diriku yang dulu hilang.


Bait ini menggagalkan meN- dan tuju karena aku lirik akhirnya menemukan tujuan, yakni diriku yang dulu hilang sebagai unsur siapa.

“Mancuria” ditulis tahun 1970-an atau kurang dari itu. Ia pertama kali dipublikasi dalam buku Sajak-sajak Sepatu Tua tahun 1972, terbitan Pustaka Jaya. Artinya saat itu Rendra baru berumur 30-an atau kurang karena boleh jadi puisi tersebut ditulis jauh lebih lama dari publikasinya yang pertama kali.

Namun sebagai penyair yang masih terhitung muda di saat itu, “Mancuria” adalah capaiannya gemilang, paling tidak dengan alasan rindu itu tetap tidak untuk siapa di luar aku lirik, sesuatu yang menukik ke keberadaan aku semata dan bukan kepada kau lirik yang begitu marak ditulis oleh para penyair secara umum meski tentu kau lirik dapat berarti aku lirik juga dalam sejumlah kasus.

Untuk membaca lebih lengkap puisi tersebut, saya kutipkan secara lengkap di bawah ini.

MANCURIA


Di padang-padang yang luas

kuda-kuda liar berpacu.

Rindu dan tuju selalu berpacu.


Di rumput-rumput yang tinggi

angin menggosokkan punggungnya yang gatal.

Di padang yang luas aku ditantang.

 

Hujan turun di atas padang.

Wahai, badai dan hujan di atas padang!

 

Dan di cakrawala, di dalam hujan

kulihat diriku yang dulu hilang.

Setelah membacanya secara lengkap, mungkin Anda punya pikiran lain. Anda mungkin bisa menafsirkan Di padang yang luas aku ditantang dalam kaitannya dengan konteks puisi tersebut.

Saya sendiri melihat definisi rindu yang semacam itu terus diperjuangkan Rendra dalam beberapa puisi lainnya, bahwa aku lirik adalah aku lirik yang pernah kehilangan atau sedang kehilangan aku sehingga isu tentang rindu dan tuju mengerucut pada hal tersebut.

Aku lirik yang berkaca

Dalam puisi “Hotel Internasional, Pyongyang” Rendra memunculkan aku lirik yang bergumul dengan sepi yang dengannya orang dapat menatap diri sendiri dan menghadap diri sendiri serta telanjang dalam jiwa. Makin jauh aku ini bertanya siapa dirinya, ia digambarkan tegang, guyah, serta gelisah. Kesepian digambarkan aku lirik sebagai cermin: Kesepian menghadap padaku bagai kaca.

Lagi-lagi puisi ini sebenarnya ingin memulai dengan isu ketiadaan tujuan selain aku lirik sendiri, dan ia jauh lebih berhasil ketimbang “Mancuria” karena kesadaran untuk pergi dari kesendirian adalah kesadaran yang menurutnya tidak perlu.

Dengan gemasnya hal itu dikatakan aku lirik pada lima baris terakhir puisi tersebut. Tapi agar Anda dapat menikmati secara utuh, saya kutipkan semuanya di sini.

HOTEL INTERNASIONAL, PYONGYANG


Di malam yang larut itu

dengan jari-jari yang rusuh kubuka pintu balkon

dan lalu bergumullah diriku dengan sepi.

Malam musim gugur yang tidak ramah

mengusir orang dari jalanan.

Dan pohon-pohon seperti janda yang tua.

Kecuali angin tak ada lagi yang bernyawa

Di dalam sepi orang menatap diri sendiri

menghadap diri sendiri

dan telanjang dalam jiwa.

Angin Pyongyang mengacau rambutku

dan bertanya:

"Lelaki kurus dengan rambut kusutmasai

engkau gerangan putra siapa?"

Lalu kulihatlah wajahku yang tegang,

diriku yang guyah, serta hatiku yang gelisah.

Aku mencoba ramah dan menegur diriku:

"Hallo! — Ada apa?"

Malam yang larut itu gemetar dan kelabu.

Kesepian menghadap padaku bagai kaca.

"Ayolah, buyung!

Kau toh bukan kakek yang tua!"

Lalu aku pun tersipu

meskipun tahu

itu tak perlu.

 

“Ayolah, buyung!

Kau toh bukan kakek yang tua!

Lalu aku pun tersipu

meskipun tahu

itu tak perlu

Bagian tersebut mengandung unsur kau toh bukan kakek tua yang sebenarnya berelasi dengan musim gugur (l.4) serta pohon-pohon seperti janda yang tua (l.6). Ketidaktuaan atau kemasihmudaan tentu seharusnya bukan waktu untuk tak punya tujuan, kira-kira demikian, tetapi aku lirik tahu bahwa kesadaran tersebut tidak diperlukan. Ia meletakkan dirinya sama dengan alam: malam musim gugur dan tuanya pohonan.

Artinya, puisi ini menambal kegagalan Rendra dalam puisi sebelumnya. Rindu tak mungkin tanpa tujuan, dan aku lirik sendirilah yang jadi tujuan. Ia kehilangan dan menemukan diri sendiri (“Mancuria”), ia guyah, ia gelisah, tapi ia menemukan kesadaran untuk tidak mengikuti bisikan kesepian yang bagai cermin itu sehingga memilih tetap dengan eksistensi diri yang sadar. Sadar diri masih muda, tersipu, tapi untuk apa juga.

Kesadaran macam yang dirumuskan Rendra tersebut saya pernah digagas Chairil Anwar dalam puisi “Penerimaan”. Kita tahu dalam puisi tersebut diucapkan sedang kepada cermin aku enggan berbagi. Puisi tersebut ditulis pada tahun 1943. Mari kita kenangkan lagi puisi tersebut dengan membacanya lagi.

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. 

Maret 1943

Bedanya mungkin aku lirik Chairil itu terasa keras, sedangkan aku lirik Rendra itu terasa hangat dalam menyadari keengganan diri mengikuti bisikan tujuan. Mungkin salah satu sebabnya karena Chairil jauh lebih muda saat itu, puisi ini ditulis ketika ia berumur 21 tahun.

Puisi, kalau saya boleh berharap, seharusnya memang berkaitan dengan umur penyair. Tapi pada kenyataannya saya banyak temukan puisi-puisi pelajar dan mahasiswa, juga puisi-puisi dari para penyair kelahiran pertengahan 90-an (30 tahun pun belum) yang ketuaan dan kehilangan jalang sehingga mereka tampak seperti musim gugur atau pohon-pohon tua yang Rendra gambarkan tadi.

Sebagai pembaca saya hanya boleh berharap dan selanjutnya berkata: meskipun tahu/itu tak perlu. []

Sumber puisi

  • “Mancuria” WS Rendra dalam Sajak-sajak Sepatu Tua, cet. IV 1995, hal. 11, Jakarta: Pustaka Jaya
  • “Hotel Internasional, Pyongyang”, ibid., hal. 12-13.
  • “Penerimaan” Chairil Anwar dari Derai-derai Cemara, Jakarta: Yayasan Indonesia, hal. 17.
  •  

Arip Senjaya, dosen filsafat Untirta. Menulis esai, puisi, cerpen, karya ilmiah, dan sejumlah buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun