Mohon tunggu...
Imroatul Ngarifah
Imroatul Ngarifah Mohon Tunggu... Lainnya - Be positive thinking

Coretan kecil untuk masa depan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumput di Tanah Lapang (Cerpen)

11 Desember 2020   08:47 Diperbarui: 11 Desember 2020   08:53 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen ini merupakan karya tulis saya yang berhasil terbit dalam antologi cerpen "Lensa Klasik" bersama project menulis sila. 

Keterangan antologi cerpen:

Penulis : Shantia, dkk.

Penerbit : CV Raditeens

Tahun terbit: 2019

ISBN : 9786237456438

Cek antologi cerpen "Lensa Klasik" halaman 97.

RUMPUT DI TANAH LAPANG

Oleh : Imroatul Ngarifah

"Panggilan, kepada Adelia Az Zahra dimohon menuju ruang OSIS!"

Suara toa itu sudah tidak asing lagi di telinga setiap murid dan guru. Bahkan seperti alarm yang berbunyi di jam-jam tertentu. Adelia Az Zahra, seorang siswa yang memiliki paras mungil dan tubuh sedikit pendek dari teman-temannya yang lain. Kulitnya putih, dan wajahnya dihiasi pipi tembem.

"Permisi Bu, saya izin ke ruang guru sebentar." Seperti biasa Adelia minta izin kepada guru pendamping kelas untuk memenuhi panggilan.

"Iya, silahkan," jawab guru pendamping kelas.

"Enak ya jadi Adelia, sering tidak mengikuti pelajaran," bisik Salma, salah satu murid perempuan yang duduk di kursi paling belakang.

"Iya, hampir setiap hari dia izin keluar kelas," sahut murid lainnya yang duduk sebangku dengan Salma.

"Biar bagaimanapun dia salah satu kebanggaan sekolah, sering menang dalam beberapa perlombaan mewakili sekolah," sanggah murid lainnya yang diam-diam menaruh hati padanya.

"Selain itu dia juga bendahara umum OSIS. Pasti sibuk, mengurus ini dan itu."

Beberapa murid merasa iri dan tidak menyukai Adelia, tetapi tidak sedikit yang mendukungnya. Tidak hanya di kalangan siswa, di ruang guru pun ada gunjingan-gunjingan terkait Adelia yang sibuk dengan kegiatan-kegiatan selain pembelajaran di dalam di kelas.

 "Adelia lagi, apa tidak ada waktu lain, setiap di tengah jam pelajaran selalu dipanggil keluar kelas," cetus salah satu guru.

"Mungkin ada kepentingan mendesak Pak. Lagipula, dia banyak berjuang demi nama baik sekolah kita, dan pastinya demi mengembangkan skill dia," jelas guru yang lain.

"Tapi mengikuti pelajaran itu juga penting, kalau begini caranya, bagaimana dia bisa menyerap semua materi pelajaran?" gumam Salma.

Menjadi Adelia memang tak mudah. Semua yang ia lakukan menuai pro dan kontra. Beberapa guru yang sangat fanatik dengan pelajaran, sebagian lain sangat mendukung murid untuk mengembangkan skill, dan ada pula yang senang muridnya aktif di organisasi. Tentu satu sama lain memiliki pendapat masing-masing. Namun, bagi Adelia semua itu hanyalah bumbu-bumbu dalam proses yang akan menjadikan masakannya semakin  nikmat.

***

 "Pagi Pak Lukman, Pak Hamid!" sapa Adelia pada petugas kebersihan dan satpam sekolah.

"Pagi del!" balas Pak Lukman.

 "Pagi Del! sudah lihat pengumuman? segera lihat, jangan sampai ketinggalan," ungkap Pak Hamid, satpam sekolah.

"Pengumuman apa Pak? wah, saya jadi penasaran Pak." Tanpa berpikir panjang, Adelia bergegas menuju papan pengumuman.

 

Terlihat beberapa murid berdesakan di depan papan pengumuman itu. Isi pengumuman tersebut ialah sebagai berikut. 

 "Waah... aku harus ikut. Kapan lagi bisa lomba di Universitas. Sekalian jalan-jalan." Siasat licik Adelia demi kesempatan jalan-jalan.

Memang kehidupan Adelia hanya berkutat di sekolah dan di asrama. Sehingga, salah satu yang memotivasi dia untuk mengikuti perlombaan di luar sekolah maupun di luar kota ialah untuk jalan-jalan dan melihat dunia luar.

Ia berjalan menuju kelas. Menyeberangi halaman sekolah. Perhatiannya tertuju pada rumput-rumput yang mulai mengering. Ia teringat perkataan salah satu guru yang belum lama dipindah tugaskan ke sekolahan lain, yaitu Bapak Zamroji.

Rumput yang hidup di tanah lapang yang tandus, sering diinjak-injak orang, dan melawan terik, lebih kokoh daripada rumput yang hidup di tanah gambut.

***

Teeet.... teeet....

Suara bel pulang. Semua murid berjalan tertib keluar kelas. Namun Adelia masih sibuk menulis ulang catatannya yang belum rapi. Setelah selesai, ia pun keluar dan berjalan pulang. Dilihatnya beberapa siswa berbaris mengenakan pakaian serba hitam, dilengkapi kain berwarna putih, hijau, atau merah muda melingkar di pinggangnya.

Sampai di gerbang, terlihat dari jauh, sosok laki-laki mengenakan baju serba hitam, dengan kain putih yang dililitkan pinggang berjalan. Matanya tertuju pada Adelia, dan ia berjalan sangat lambat, begitu juga Adelia. Tatkala jarak semakin dekat, ia pun tersenyum kepada gadis mungil itu dan ia membalasnya. Wajahnya memerah tersipu malu. Mereka pun berlalu tanpa satu kata pun.

***

Adelia dan beberapa murid yang terpilih sebagai perwakilan sekolah pun dipanggil ke ruang kepala sekolah untuk bersama bapak Handi sebagai koordinator pembimbing untuk diberi pengarahan dan motivasi. Mereka pun dibagi sesuai bidang masing-masing untuk mengikuti bimbingan beberapa guru yang telah ditugaskan.

Hari-hari berjalan begitu cepat. Semakin dekat pula hari menuju perlombaan. Latihan pun semakin digentarkan. Adelia sangat tertegun dengan semangat pak Handi yang tak kenal rasa lelah melatihnya dan tak bosan mendengar rangkaian kalimat yang sehari hampir sepuluh kali diucapkan di depannya. Bahkan mungkin beliau juga hafal kalimat tersebut.

Tak hanya di depan pak Handi, setiap hari Adelia juga berpidato di depan dewan guru, di podium ruang guru tepatnya. Bukan untuk menggurui mereka, namun untuk melatih keberanian dan kepercayaan diri. Beberapa guru pun juga memberi kritik dan saran. Tak jarang juga, Ia diminta berlatih di depan kelas-kelas yang saat itu diajar pak Handi. ia sangat bersyukur karena diberi kesempatan emas untuk mengembangkan diri.

***

"Adelia, ini ada titipan dari kak Roy," ujar doni, sembari memberi secarik kertas.

"Kak Roy? terimakasih ya Don."

 

Kak Roy, salah satu alumni sekolahan yang beberapa hari lalu berpapasan dengan Adelia di gerbang sekolah. Dibukalah kertas biru itu.

Adelia tersenyum malu tatkala membaca rangkaian alfabet di kertas biru tersebut. Ia memejamkan mata dan merasakan dirinya sedang berdiri di jalan setapak yang dikelilingi bunga sakura. Angin berhembus segar dan terik matahari terhalang oleh bunga-bunga yang bermekaran.

"ah kak Roy, Kata-katamu selalu memberiku tantangan tersendiri. Senyummu mengucapkan ribuan kata," ujar Adelia dalam hati.

***

"Bapak, tiga hari lagi Adelia berangkat lomba di Malang. Adelia minta doa." Seperti biasa, ia semangat meminta izin dan doa ke orang tuanya untuk mengikuti lomba.

"Lomba lagi? Apa kamu tidak sadar? Rangkingmu turun begitu drastis. Kapan waktumu untuk fokus belajar? Masih mau ikut lomba lagi?" sentak bapak Adelia.

Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar perasaannya. Dalam waktu 15 detik, ia kehilangan semangat. Semua impiannya kabur. Baru kali ini Adelia tidak didukung kedua orang tuanya. Hatinya hancur, ia merasa bersalah dan terdiam.

"Di sekolah, saya tidak hanya belajar di dalam kelas. Saya mengikuti organisasi untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan dan belajar bermasyarakat. Saya mengikuti perlombaan-perlombaan untuk mengembangkan skill dan potensi. Lagian, ranking di kelas tidak selamanya menunjukkan murid itu berprestasi. Peluang kecurangan masih sangat banyak. Adelia tidak mau melakukan itu." Adelia berusaha membujuk orang tuanya dengan sangat perlahan.

"Tapi bapak malu Adelia." Bapak Adelia masih tetap pada pendiriannya.

***

"Adelia, sekarang giliranmu maju, hari ini latihan terakhir, jadi tampillah dengan maksimal," ujar pak Handi.

Meskipun dengan hati yang mengganjal, Adelia tetap berusaha untuk berpidato dengan maksimal. Ia tidak ingin mengecewakan gurunya yang dengan tulus melatihnya. Namun, di tengah pidatonya, ia terhenti, dan tidak dapat melanjutkan rangkaian kalimat tersebut. Dadanya sesak oleh beban. Ia tidak dapat membendung air mata, dan tangisnya pun pecah.

"Saya tidak bisa mengikuti perlombaan ini," ujar Adelia dengan sesenggukan.

Semua tertegun dan terkagetkan oleh perkataan Adelia tersebut. Ia menceritakan keadaan sebenarnya. Lalu, pak Handi pun berusaha memotivasinya.

"Adelia, jangan berhenti di sini. Siapa yang akan menggantikanmu? Tunjukkan kamu bisa! Obati luka orang tuamu dengan prestasi-prestasi yang baru!" jelasnya.

Latihan hari itu pun berakhir. Pak Hendi memberi waktu untuk Adelia berpikir.

"Besok, hari tenang buat kalian. Tidak ada latihan," tambahnya.

***

Tingtung .... Tingtung ....

Handpone Adelia berbunyi.

"Nduk, hari ini berangkat ke Malang kan? hati-hati di kota orang, Ibu doakan semoga lancar dan mendapatkan hasil yang terbaik," nasihat ibu Adelia.

Mendengar kata-kata tersebut, Adelia seakan memiliki hidup baru. Hatinya lega dan pikirannya. Ia pun berangkat ke Malang bersama beberapa guru dan perwakilan yang lain. Perlombaan pun dimulai.

Berbekal semangat dan kepercayaan diri, ia berusaha tampil semaksimal mungkin di depan dewan juri, guru, teman-teman, dan peserta lainnya. Perjuangan Adelia tidak sia-sia, ia berhasil membawa pulang piala juara II. Dengan bangga, ia menghubungi orang tuanya dan menyampaikan kabar baik itu.

***

Seperti biasa, setiap hari senin selalu diadakan apel pagi. Semua murid mengenakan putih abu-abu dengan atribut lengkap berbaris memenuhi halaman sekolah. Beberapa guru kesiswaan berkeliling mencari murid-murid yang tidak patuh aturan. Di tengah-tengah apel, tidak lupa ada pengumuman-pengumuman entah mengumumkan peraturan baru, acara-acara tertentu, atau menegaskan ulang peraturan lama.

"Beberapa hari yang lalu, sekolah kita berhasil membawa pulang dua piala dari Universitas di Malang. Kita patut bersyukur dan bangga. Namun, tidak boleh berhenti di sini. Kami harap setelah ini akan ada banyak piala yang menyusul. Saya ucapkan selamat dan terimakasih kepada Adelia Az Zahra yang memenangkan lomba pidato dan Jihan Putri yang memenangkan lomba menyanyi. Keduanya silahkan maju," jelas kesiswaan.

Semua murid dan guru bertepuk tangan dengan meriah. Lalu, kedua murid tersebut maju ke depan  dan menerima piagam penghargaan serta piala. Apel pun berakhir. Semua murid kembali ke kelas masing-masing.

***

Dalam kehidupan, dibanting tidak selamanya untuk menjatuhkan atau merusak. Lihatlah bola basket, berkali-kali ia dibanting dan dihalangi untung melompat terlalu tinggi, bukan karena ia tak berhak namun ia dipersiapkan untuk melayang yang lebih tinggi. Bukan hanya melayang tanpa arah, tapi melayang di tempat dan di waktu yang tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun