Â
Kak Roy, salah satu alumni sekolahan yang beberapa hari lalu berpapasan dengan Adelia di gerbang sekolah. Dibukalah kertas biru itu.
Adelia tersenyum malu tatkala membaca rangkaian alfabet di kertas biru tersebut. Ia memejamkan mata dan merasakan dirinya sedang berdiri di jalan setapak yang dikelilingi bunga sakura. Angin berhembus segar dan terik matahari terhalang oleh bunga-bunga yang bermekaran.
"ah kak Roy, Kata-katamu selalu memberiku tantangan tersendiri. Senyummu mengucapkan ribuan kata," ujar Adelia dalam hati.
***
"Bapak, tiga hari lagi Adelia berangkat lomba di Malang. Adelia minta doa." Seperti biasa, ia semangat meminta izin dan doa ke orang tuanya untuk mengikuti lomba.
"Lomba lagi? Apa kamu tidak sadar? Rangkingmu turun begitu drastis. Kapan waktumu untuk fokus belajar? Masih mau ikut lomba lagi?" sentak bapak Adelia.
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar perasaannya. Dalam waktu 15 detik, ia kehilangan semangat. Semua impiannya kabur. Baru kali ini Adelia tidak didukung kedua orang tuanya. Hatinya hancur, ia merasa bersalah dan terdiam.
"Di sekolah, saya tidak hanya belajar di dalam kelas. Saya mengikuti organisasi untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan dan belajar bermasyarakat. Saya mengikuti perlombaan-perlombaan untuk mengembangkan skill dan potensi. Lagian, ranking di kelas tidak selamanya menunjukkan murid itu berprestasi. Peluang kecurangan masih sangat banyak. Adelia tidak mau melakukan itu." Adelia berusaha membujuk orang tuanya dengan sangat perlahan.
"Tapi bapak malu Adelia." Bapak Adelia masih tetap pada pendiriannya.
***