Ia hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin tidak mendengarku. Di-guide-nya aku melangkah masuk dengan sangat tenang.
Tanpa kata-kata, aku seperti dipandu memahami aturan-aturan masuk padhepokan. Namun anehnya, aku sama sekali tidak merasa digurui, didikte atau diatur-atur. Sambil mengikuti langkahnya menuju ruang tamu, kuperhatikan dua orang perempuan sedang konsentrasi bekerja. Seorang sedang fokus menggunting merapikan tanaman. Seorang lagi mengisi ember dari selang kran air yang ada di sudut taman. Tangannya memegang kain pel. Ia pasti sedang membersihkan lantai. Mereka menengokku sebentar dan tersenyum sekali saja, lalu kembali bekerja. Senyumnya hanya beberapa detik, namun sangat tulus. Tidak ada pertanyaan basa-basi. Dua perempuan baya ini juga berpakaian serba putih. Begitu masuk, aku merasakan atmosfera yang sangat beda dengan di luaran tadi. Benar-benar adhem, sejuk dan hening. Nyaris tak ada suara. Kami sampai di ruang tamu dan Sister mempersilakan duduk.
“Tunggu dulu ya Sis..”, ia lalu pamit masuk.
Tidak berapa lama datanglah seorang Sister muda. Sepertinya belum tiga puluh tahun.
“Selamat pagi Sister…”, sapanya.
Dari suaranya…ini pasti Sister Sukriya. Suaranya kaya yang di telepon. (pikiranku mulai bekerja)
Ia ulurkan tangan kanannya dan aku berdiri menyambutnya.
“Sukriya!”, katanya singkat dengan senyuman manis.
“Raidha”, balasku tak kalah manis.
Kami ambil posisi duduk masing-masing di sofa abu-abu. Hanya duduk saja. Tidak ada suara. Aku diam. Sister Sukriya juga diam. Beberapa saat kemudian, kami saling menatap dan pecahlah senyum kami di sana.
“Jadi..?”, mendadak kami bersamaan mengucapkan kata “jadi”. Dan ini membuat kami tertawa, walaupun tetap dalam upaya menjaga keheningan dalam padhepokan.