“Yang mana..?”
“Iya ituu..yang ada tulisannya padhepokan…”
“Padhepokan Tuhan..?”, tanyanya tidak percaya.
“Iya…betul…, nah stop di sini pak..”
Aku ulurkan rupiah yang harus dibayar, menambahkan tujuh ribu lima ratus rupiah untuk tips, membuka pintu taksi, mengucapkan terima kasih, lalu turun. Kutuju pagar warna putih bangunan putih asri terlihat dari luar. Aku sudah di depan pagar, tidak berbalik sama sekali, namun bisa kurasakan pak taksi belum beranjak pergi. Ia masih mengamati tulisan dalam lampu neon terbaca “Padhepokan Tuhan”. “Hmm…jangankan bapak, aku sendiri juga tanda tanya besar...”, kataku dalam hati.
Pagar belum juga dibuka. Aku tetap di tempat, tidak bergeser. Dari situ aku bisa melihat rimbun anggrek ungu yang sedang berbunga indah di halaman. Halaman yang tidak terlalu luas itu, sangat terawat. Bunga warna-warni, rerumputan dan bebatuan tertata indah. Segar, bersih dan sangat alami. Pak taksi yang mengira aku diam-diam memperhatikan gerak-geriknya, akhirnya bergerak meninggalkan lokasi.
Syukurlah tidak terlalu lama. Seorang perempuan usia lebih lima puluhan, menuju pagar. Ia buka pagar dan mempersilakan aku masuk. Senyumnya sangat ramah. Pakaiannya serba putih.
“Masuk, Sis..”, sapanya.
Suaranya sangat lembut. (“Ya Tuhan, pagarnya ternyata tidak digembok…”, gumamku)
“Sister Sukriya, ada? tanyaku antusias.
“Mari masuk… sandalnya taruh di sini…”, jawabnya.