Mentari nampaknya tersipu malu kepadaku. Bagaimana tidak, sudah lebih dari tiga puluh menit aku memandanginya, menunggunya kembali ke peraduannya. Cahayanya perlahan memudar, menyadarkanku bahwa hari semakin senja. Dalam beberapa menit, waktu Sholat Maghrib pun akan tiba. Bergegas ku habiskan kopi hitam buatan ibuku dalam satu tegukan. Menikmati secangkir kopi di penghujung senja seperti ini, adalah hal yang paling kusuka. Setelah selama setengah hari penuh, aku membantu ibuku di pasar. Ya, sejak ayahku pergi meninggalkan kami di desa kecil ini, ibu lah yang menjadi tulang punggung keluarga kami.
Bermodal ketrampilan memasak yang diturunkan oleh nenek ku, ibu berusaha menyambung hidup keluarga kami dengan membuka warung makan di pasar. Terkadang selain membantu ibu membawa makanan yang telah dimasak dan menjaga warung, aku juga sering disuruh ibu untuk menjual daun pisang dari kebon milik keluarga besar ibu di belakang rumah. Sejak kepergian ayahku, ekonomi keluarga kami terasa begitu berat. Tetapi untunglah, aku adalah anak satu – satunya di keluarga ini. Aku selalu ingin bertemu dengan ayah. Ingin ku memintanya untuk kembali ke desa ini, menemani ibuku di usia nya yang semakin tua. Dulu ibu pernah bercerita tentang siapa sebetulnya ayahku, namanya, dan ciri – ciri yang dimilikinya. Namun tak pernah sekalipun, aku menemui orang seperti yang ibu ceritakan.
“Daaaaaan ..! sudah mau maghrib tu !” teriak ibu tiba – tiba dari dalam.
Aku tersentak. Lamunan ku buyar seketika. Aku baru sadar, ternyata langit pun sudah semakin gelap. Aku harus segera bersiap ke mushola. Dan benar, ibu menghampiriku dengan muka sedikit masam.
“Mahgrib – maghrib kok nglamun ! sampe udah gelap gini, masih inget Allah kan ?!”
“eh ibu, hehe i..iya bu, Akhdan lupa. Aku berangkat dulu ya bu ! assalamualaikum !!”
Sambil masih setengah gugup dan bingung, aku sampirkan sarung ke pundak ku. Lalu beranjak pergi dari rumah. Masih geli hatiku karena lamunan indahku dipecahkan oleh teriakan ibu.
“waalaikumsalam warohmatullah ..! dasar anak laki - laki hmm”
Walaupun suara adzan belum terdengar hingga ke rumahku, aku memang harus datang lebih awal ke mushola itu. Karena hanya ada beberapa anak muda di desa ini, dan aku lah yang diberi amanah untuk adzan sepanjang sholat 5 waktu. Dan benar, sampai di mushola, belum ada siapapun. Waktu Maghrib pun masih kurang sekitar 3 menit. Segera ku ambil air wudhu, menyalakan lampu – lampu, dan ku sapu sedikit bagian dalam dan luar mushola. Tiba – tiba Pak Abdullah datang. Beliau adalah salah satu orang yang disegani di desa kami, kepiawaiannya dalam menghapal beberapa hadits membuatnya menjadi deretan orang yang kami anggap sesepuh. Walaupun ada lagi seseorang yang lebih dituakan daripada Pak Abdullah.
“Assalamualaikum, di-adzani sekarang saja mas. Sini, biar saya yang bersih – bersih”
“Eh waalaikumsalam warohmatullah. Iya pak, ini sapunya”
“oiya mas, nanti setelah maghrib-an ada kabar yang harus saya beritahukan, sudah sana di-adzani dulu, udah lewat waktunya tu”
“iya pak, siap”
Sambil mempersiapkan mic adzan, dalam hatiku aku begitu bangga dengan Pak Abdullah. Bagaimana tidak, tanpa mengeluarkan gengsi dan rasa malunya, dia ikut membersihkan mushola ini, padahal keberadaannya di desa ini cukup disegani. Setengah penasaran, aku lirik sebentar ke samping, kulihat beliau sedang meluruskan karpet – karpet mushola yang berantakan karena ku sapu tadi.
“Allahu akbar, Allahu akbar ! “
“Allahu akbar, Allahu akbar ! “
Tugasku untuk adzan maghrib kali ini telah usai, sholat maghrib pun telah dilaksanakan. Namun, ada yang sedikit berbeda. Tidak seperti biasanya, Pak Abdullah bertindak sebagai imam nya. Dan kuingat, tadi beliau bilang akan memberi sebuah kabar. Entah itu kabar buruk atau baik, tiba – tiba saja aku merasakan kegelisahan yang begitu hebat. Aku berpikir keras, ada apa ini? Padahal Pak Abdullah saja belum mengucap sepatah kata pun kepada kami. Selesai ber-dzikir dan sholat sunnah, kulihat Pak Abdullah masih belum memindah posisinya sedikitpun. Bapak – bapak di sebelahku pun mulai merubah posisi duduknya menjadi lebih santai, dan mereka saling berbincang – bincang.
Sholat Maghrib memang telah usai dilaksanakan, tapi hampir semua orang belum juga keluar dari mushola ini. Hanya sekedar mengobrol, duduk – duduk di dalam maupun di pelataran mushola, dan membaca beberapa lembar Al-Quran atau biasa kami sebut dengan tadarus-an adalah yang biasa kami lakukan. Berhubungan dengan tadarus-an, sepertinya ada yang janggal. Aku tidak melihat Pak Umar sedari tadi. Pantas saja, kali ini Pak Abdullah yang meng-imam-i kami. Pak Umar adalah salah satu sesepuh juga di desa ini. Beliau yang biasanya menjadi imam dan memimpin tadarus-an. Kulihat teman – temanku sudah di pelataran masjid. Dan sepertinya obrolannya asik. Baru saja aku akan beranjak ke sana, Pak Abdullah membalikkan badannya ke arah kami dan mulai membuka pembicaraan.
“assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh”
“waalaikumsalam warohmatulah wabarokatuh”
“bapak ibu yang saya hormati, saya minta waktunya sebentar ya. Monggo lebih merapat ke sini. Mas – masnya yang diluar sini masuk dulu sebentar”
“ada apa toh pak ?”
“jangan kabar buruk lagi pak”
“aduuh kok deg – degan ya saya pak”
Belum juga Pak Abdullah memulai inti pembicaraannya, sudah banyak orang yang ber-spekulasi. Apa yang mereka pikirkan mungkin sama denganku. Tidak kehadiran Pak Umar secara tiba – tiba, menjadi salah satu alasan yang membuat ke-suudzon-an kami muncul. Ah tidak, tidak ada apa – apa. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Namun, sudah beberapa menit sejak Pak Abdullah memulai pembicarannya, belum ada kabar yang berkaitan dengan desa kami, bahkan tentang Pak Umar sekalipun. Pak Abdullah hanya menyampaikan sebuah kisah tentang sahabat Rasulullah yang memang pada biasanya, kisah – kisah sahabat seperti itu disampaikan setelah kami selesai tadarus-an. Dan benar saja, selesai bercerita, Pak Abdullah menarik nafasnya dalam – dalam dan sedikit membetulkan posisi duduknya menjadi lebih mendekat ke arah kami.
“Jadi begini, ada sesuatu yang memang harus saya sampaikan kepada bapak, ibu, mas – mas sekalian. Maaf sebelumnya, kenapa saya yang harus meng-imam-i sholat maghrib kali ini ? Padahal seperti yang kita ketahui, imam mushola di desa ini bukanlah saya, melainkan Pak Umar. Tadi sore sekitar jam 4, beliau ada urusan mendadak di kota. Dan naas, beliau sedang dicoba. Motor yang ditumpanginya ditabrak dari belakang oleh sebuah bis kota.”
“astaghfirullah, inalillahi!”
“Lalu bagaimana keadaan Pak Umar, pak ?!”
“Ayo sekarang kita ke kota pak !”
Blar ! Kabar dari Pak Abdullah bak petir yang seketika menyambar kami semua. Bingung, sedih, terkejut dan marah, itu yang kami rasakan detik ini. Seketika pikiran menjadi kosong dan hanya tertuju pada satu nama, Pak Umar.
“Tenang dulu bapak ibu, apa yang anda semua rasakan juga sama seperti saya. Saat saya baru mendapat pesan singkat dari nomor beliau tadi, saya juga rasanya ingin langsung ke kota. Tapi apa ? Pak Umar tidak menghendaki itu, ini saya bacakan sms yang dikirimkan beliau.” Pak Abdullah mengambil hp dari saku bajunya.
Assalamualaikum Pak Abdullah. Mhon maaf ni sebelumnya, nnti tolong mushola nya diurusi ya. Barusan saya dpat cobaan, saya ditabrak bis kota dari blakang pak. Tapi Alhamdulillah, saya msih diberi ksempatan oleh Allah pak. Saya mohon jngan ke kota malam nanti ya, andaikata bapak mau menjenguk, bsok pagi saja tidak apa – apa pak. Saya di Rumah Sakit Peduli Kasih Ruang Anggrek 12 pak. Datang sbagai saudara muslim saja, tidak usah repot membawa apa – apa, salam untuk anak – anak ya pak. Syukron
Lemah ku mendengar pesan singkat itu dibacakan. Takdir Allah memang tidak dapat dipungkiri. Sontak, seisi mushola menjadi hening. Suara isak tangis dari bilik sholat perempuan perlahan mulai terdengar. Sosok Pak Umar memang tak tergantikan bagi desa kami. Beliau adalah sosok yang ikut membangun desa ini dari nol. Sebetulnya beliau jugalah yang pernah bertemu langsung dengan ayahku. Pernah sekali, saat selesai tadarus-an, beliau bercerita tentang ayahku. Dimana dikatakan oleh beliau, ayahku adalah sosok yang pekerja keras, semangat dan mudah berbaur dengan warga desa. Bahkan saat aku masih kecil dulu, ekonomi keluarga ku benar – benar terpuruk, dan ayahku datang ke Pak Umar lalu menceritakan niatnya untuk meninggalkan desa ini demi mendapatkan pekerjaan. Ah sudahlah, pikiran ku bercabang. Sekarang Pak Umar dan ayahku ”menghantui” pikiranku.
“Yang saya salut dari beliau apa ?! Di keadaanya yang sedang dirundung masalah pun, beliau masih memikirkan mushola ini. Dan di kalimat terakhirnya, salam untuk anak – anak ya pak. Itu yang membuat saya begitu bergetar membaca pesan singkat beliau!” Lanjut Pak Abdullah.
“Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh pak” Jawab aku dan teman – teman ku lirih sambil menunduk menahan agar air mata ini tak mengucur turun ke bumi.
“Dan dari pesan singkat beliau selanjutnya, beliau berpesan kepada saya untuk segera membentuk semacam kelompok muda - mudi muslim yang sedari dulu sudah beliau ingin – inginkan. Tidak hanya dari anak – anak yang sering ikut tadarus-an. Kalau bisa semua yang ada di desa ini dikumpulkan dan di bentuk perkumpulan itu. Nantinya akan dibawahi langsung oleh kami para penasehat desa. Bagaimana ? setuju ? Jangan hanya bersedih menghadapi kenyataan yang memang harus kita hadapi, ayo semangat !” timbal Pak Abdullah
“Ya paaak ! InsyaAllah kami siap.” Jawab kami serentak, mengiyakan apa pesan dari Pak Umar yang memang sudah kami anggap seperti ayah sendiri.
“Yaah..Bagus nangis ! hahaha, nggak malu sama ayah tuh“ celetuk salah satu temanku.
“ih enggak yo, aku ngantuk ini.“ balas Bagus sambil mengusap kedua matanya.
Ya, Bagus adalah anak pertama dari Pak Abdullah. Umurnya 2 tahun lebih tua dari aku. Adiknya yang juga seorang laki – laki dan masih duduk di bangku SMP, juga sering ikut sholat jamaah di mushola ini. Begitu juga dengan maghrib ini. Makanya dia cukup tersipu malu saat diceletuk demikian oleh salah seorang temanku.
“haha gengsi niih” tambahku
Bagus yang tidak mau mengambil banyak tindakan, langsung mencubit kecil pinggang kanan ku. Aww, sakit !
“Sudah sudaaah. Nah sekarang kita tunjuk satu orang buat jadi ketua nya ya. Oiya hampir lupa, besok pagi jam 10 kita ke kota buat menjenguk Pak Umar. Sekalian kita bawa kabar gembira tentang perkumpulan baru ini. Pasti beliau akan senang sekali” Lanjut Pak Abdullah
Diskusi tentang siapa saja calon ketua perkumpulan ini pun dimulai. Tak kusangka nama ku masuk dalam tiga besar kandidat yang dipilih oleh warga desaku. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pilihan warga desa jatuh padaku. Mengapa ? Menapakkan kaki di desa ini saja, aku jarang sekali. Lebih – lebih aku merasa ilmu agama ku masih jauh kurang dibandingkan dengan teman – temanku. Aku yang merasa kurang pantas, berusaha memberi pengertian kepada semua orang.
“Maaf pak, bu sebelumnya. Bukan tidak menghargai apa pendapat dan pertimbangan bapak ibu sekalian. Namun seperti yang bapak ibu tau, saya masih kuliah, dan jarang sekali saya berada di desa ini. Sekalipun saya sedang kembali ke desa ini, saya memang sering adzan dan mengurusi mushola ini. Itu semua karena amanah yang diberikan oleh Pak Umar dulu ketika saya masih SMA, tapi kondisi saya sekarang jauh berbeda. Yang saya takutkan, amanah ini tidak dapat saya emban dengan sebaik – baiknya.”
“Mas Akhdan.. Ya, memang kami sadar bahwa tempat kuliah mu bukanlah di desa ini. Bukan juga di kota dekat desa kita. Tapi apakah kamu sadar, setiap saat kamu pulang ke desa ini, ada sesuatu yang seakan berubah. Seperti hp yang selalu butuh dicharge, alunan merdu adzan-mu itu yang menumbuhkan kembali semangat kami untuk sholat di mushola ini. Dan kami dengar dari cerita ibumu beberapa hari lalu, kamu baru saja terpilih menjadi Wakil Ketua Rohani Islam untuk fakultas di tempat mu kuliah. Itulah salah satu alasan yang membuat kami yakin bahwa kamu bisa memimpin perkumpulan ini. Kamu benar – benar seorang mahasiswa yang menjadi teladan. Teladan bagi teman – teman mu di kampus dan bagi sebayamu di desa ini.” Jawab Pak Abdullah.
“Nah bener tuh, udah Daaan, bisa, bisaaaa”
“Iya Daan, ayo semangat. Kami padamu deeh hahaa”
Aku tidak bisa berkata apa – apa lagi. Warga desa dan teman – temanku begitu menaruh harapan kepadaku. Dengan mantap akhirnya ku iyakan amanah ini.
Ku terbangun dengan kegerahan yang begitu menjadi – jadi. Ternyata benar, pagi ini langit begitu mendung. Ibu yang biasa nya berangkat ke pasar setelah subuh, tidak untuk kali ini. Bukan takut akan turun hujan atau apa, beliau lebih memilih tuk membantu ku mempersiapkan barang – barang bawaanku. Ya, jam 6 nanti aku harus sudah berada di stasiun. Sebuah tiket kereta kelas ekonomi sudah kupegang dengan jurusan kota dimana universitas ku berada. Dan sehabis sholat subuh tadi aku sudah berpamitan dengan Pak Abdullah dan warga desa, serta ijin karena aku tidak bisa ikut menjenguk Pak Umar. Seperti biasa, pagi ini kopi hitam kesukaanku kembali menemaniku. Entah mengapa, aku begitu kecanduan meminum kopi. Mungkin karena ayahku yang juga pecandu kopi atau karena nama yang diberikan oleh ayah kepadaku cukup unik. Akhdan Robusta, itulah nama lengkapku. Entahlah, tapi aku yakin nama ini adalah sebuah doa untuk ku.
Cuss..cuss..cusss
Suara kereta begitu jelas terdengar di telingaku. Lajunya yang cukup cepat, menarik perhatianku untuk memandang keluar jendela. Pemandangan yang begitu indah terhampar jelas di kedua mataku. Tapi ada yang aneh, langit tetap mendung. Seolah mentari sedang murung hari ini. Tiba – tiba saja handphone ku berdering. Pak Abdullah memanggil. Tidak sampai dua menit beliau berbicara. Tapi masih kutempelkan handphone ini di telingaku hingga bermenit - menit. Aku terpaku. Tidak dapat berkata sepatah kata pun. Pandangan ku pun masih pada tertuju pada langit yang begitu mendung pagi ini.
“Innalillahi Wainna Ilaihi Roji'un..” lirih ku ucapkan, seolah pada jendela kereta ini aku berbicara.
Kabar yang disampaikan Pak Abdullah kali ini bukanlah kabar baik, seorang laki – laki yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri, akhirnya meninggalkan dunia ini. Setelah berusaha memperjuangkan hidupnya akibat kecelakaan kemarin sore, takdir tetap berkata lain.
Tak terasa, kereta pun perlahan berhenti. Aku telah sampai. Segera ku turun dan mencari mushola di stasiun ini. Langsung ku ambil air wudhu dan ku laksanakan sholat ghoib. Hanya ini yang bisa ku lakukan..Selamat jalan Pak Umar.
Setahun kemudian..
Sudah lebih dari setahun sejak kepergian Pak Umar, aku merasa lebih tenang sekarang. Memang, dulu aku pernah sesumbar kepada diriku sendiri, bahwa aku tidak bisa melupakan beliau. Tapi tidak, buktinya sekarang aku bisa melupakan kesedihan itu. Karena aku sudah merasa biasa dengan semua kondisi ini. Selalu teringat juga pesan beliau, untuk tidak terlalu sedih dan tidak terlalu senang, seperti yang sudah difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran.
Walaupun kepulanganku ke desa dapat dihitung dengan jari, tapi aku tetap menjalankan amanah yang telah dipercayakan kepadaku. Jarak bukanlah halangan bagi kami. Kegiatan perkumpulan pun sudah berjalan belasan kali. Bahkan pernah 2 kali, kegiatan perkumpulan kami dihadiri oleh bapak walikota, karena sasaran yang dituju memang anak – anak SMP / SMA se kota dan kabupaten. Oya, berhubungan dengan Pak Walikota, aku jadi teringat sesuatu. Kemarin sore ada sebuah surat mendarat di depan rumah pakde ku. Nama yang dituju memang betul nama ku. Alamat yang tertera juga betul alamat rumah pakde ku.
Ya, karena selama kuliah di kota ini, aku menginap di rumah pakde yang menurut silsilahnya adalah kakak pertama dari ibuku. Setelah kubuka surat itu, dituliskan pengirimnya adalah Bapak Walikota kota di dekat desa ku berada. Isinya adalah undangan untuk ku agar datang ke kediamannya Sabtu besok. Memang, sudah lama pula aku tidak pulang ke desa. Tapi ini sudah hari kamis, seperti mendadak sekali surat ini diberikan kepada ku. Hmm.. tapi ada yang sedikit aneh di kalimat terakhir Pak Walikota, beliau mengatakan telah mendengar keberhasilan perkumpulan muda – mudi islam di desa ku, dan beliau ingin menerapkannya pada seluruh wilayah perkampungan di kota itu. Guna mewujudkan pemuda – pemudi yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
“Daaaan..ada sms dari ibu nih” teriak budeku dari dapur.
Aku tersontak kaget. Kukira barusan itu teriakan ibuku. Biasanya kalo sudah begini, ibu pasti akan datang dengan muka masamnya.
“ada apaa bude ? Ibu bilang gimana ?” jawabku sembari menghampiri bude yang sedang sibuk memotong – motong wortel untuk makan siang nanti.
Aku buka hape-ku. Sambil dalam hati ku berpikir, tumben sekali ibu sms aku.
“Assalamualaikum, Nak. Ibu punya kabar gembira dan kabar buruk. Ibu tau kamu akan terkejut dengan berita ini, namun ibu mohon tenanglah dan segera kembali lah ke desa besok Sabtu. Jadi begini, kemarin ibu mendapat sebuah amplop besar di depan pintu rumah. Amplop itu berisi uang yang sangat banyaak, ibu belom berani menghitungnya, dan juga terdapat sebuah kertas di antara lembaran uang – uang itu. Intinya begini, surat itu dari ayahmu, dia mengatakan dirinya sedang di kota dekat desa kita. Dia sekarang menjadi seorang pembantu koki di sebuah restoran ternama. Pimpinan restoran tiba – tiba menggajinya sangat tinggi, dengan syarat ayahmu harus menikahi anak pertama pimpinan restoran tersebut. Ayah butuh bantuan kita nak, pulanglah, ibu harus bercerita banyak.”
Bukannya membalas pesan singkat itu terlebih dahulu, aku langsung memberesi barang – barangku. Ku siapkan uang untuk segera memesan tiket pulang. Semangatku begitu berapi – api. Rasa bahagia bercampur sedih dengan sedikit bumbu amarah menyelimuti perasaanku. Sekarang aku tahu mengapa hati ini terus memaksaku untuk kembali ke desa sesegera mungkin. Ya, tidak akan kusia – sia kan kesempatan ini. Tak ingin ku kehilangan sosok “ayah” untuk yang kedua kalinya.
sumber gambar : ihei.wordpress.com (edit)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H