Mohon tunggu...
Aria A. Ananta
Aria A. Ananta Mohon Tunggu... Freelancer - Sahabat yang Mengenyangkan

Ketemu di dunia nyata njih

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah Terakhir (Remake)

8 Januari 2016   17:10 Diperbarui: 8 Januari 2016   17:41 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Maaf pak, bu sebelumnya.  Bukan tidak menghargai apa pendapat dan pertimbangan bapak ibu sekalian.  Namun seperti yang bapak ibu tau, saya masih kuliah, dan jarang sekali saya berada di desa ini.  Sekalipun saya sedang kembali ke desa ini, saya memang sering adzan dan mengurusi mushola ini. Itu semua karena amanah yang diberikan oleh Pak Umar dulu ketika saya masih SMA, tapi kondisi saya sekarang jauh berbeda. Yang saya takutkan, amanah ini tidak dapat saya emban dengan sebaik – baiknya.”

“Mas Akhdan.. Ya, memang kami sadar bahwa tempat kuliah mu bukanlah di desa ini. Bukan juga di kota dekat desa kita. Tapi apakah kamu sadar, setiap saat kamu pulang ke desa ini, ada sesuatu yang seakan berubah.  Seperti hp yang selalu butuh dicharge, alunan merdu adzan-mu itu yang menumbuhkan kembali semangat kami untuk sholat di mushola ini.  Dan kami dengar dari cerita ibumu beberapa hari lalu, kamu baru saja terpilih menjadi Wakil Ketua Rohani Islam untuk fakultas di tempat mu kuliah.  Itulah salah satu alasan yang membuat kami yakin bahwa kamu bisa memimpin perkumpulan ini. Kamu benar – benar seorang mahasiswa yang menjadi teladan.  Teladan bagi teman – teman mu di kampus dan bagi sebayamu di desa ini.” Jawab Pak Abdullah.

“Nah bener tuh, udah Daaan, bisa, bisaaaa”

“Iya Daan, ayo semangat.  Kami padamu deeh hahaa”

Aku tidak bisa berkata apa – apa lagi.  Warga desa dan teman – temanku begitu menaruh harapan kepadaku. Dengan mantap akhirnya ku iyakan amanah ini.

Ku terbangun dengan kegerahan yang begitu menjadi – jadi. Ternyata benar, pagi ini langit begitu mendung. Ibu yang biasa nya berangkat ke pasar setelah subuh, tidak untuk kali ini.  Bukan takut akan turun hujan atau apa, beliau lebih memilih tuk membantu ku mempersiapkan barang – barang bawaanku.  Ya, jam 6 nanti aku harus sudah berada di stasiun.  Sebuah tiket kereta kelas ekonomi sudah kupegang dengan jurusan kota dimana universitas ku berada.  Dan sehabis sholat subuh tadi aku sudah berpamitan dengan Pak Abdullah dan warga desa, serta ijin karena aku tidak bisa ikut menjenguk Pak Umar.  Seperti biasa, pagi ini kopi hitam kesukaanku kembali menemaniku.  Entah mengapa, aku begitu kecanduan meminum kopi.  Mungkin karena ayahku yang juga pecandu kopi atau karena nama yang diberikan oleh ayah kepadaku cukup unik.  Akhdan Robusta, itulah nama lengkapku.  Entahlah, tapi aku yakin nama ini adalah sebuah doa untuk ku.

            Cuss..cuss..cusss

Suara kereta begitu jelas terdengar di telingaku. Lajunya yang cukup cepat, menarik perhatianku untuk memandang keluar jendela. Pemandangan yang begitu indah terhampar jelas di kedua mataku. Tapi ada yang aneh, langit tetap mendung. Seolah mentari sedang murung hari ini. Tiba – tiba saja handphone ku berdering.  Pak Abdullah memanggil. Tidak sampai dua menit beliau berbicara. Tapi masih kutempelkan handphone ini di telingaku hingga bermenit - menit. Aku terpaku. Tidak dapat berkata sepatah kata pun. Pandangan ku pun masih pada tertuju pada langit yang begitu mendung pagi ini.

“Innalillahi Wainna Ilaihi Roji'un..” lirih ku ucapkan, seolah pada jendela kereta ini aku berbicara.

Kabar yang disampaikan Pak Abdullah kali ini bukanlah kabar baik, seorang laki – laki yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri, akhirnya meninggalkan dunia ini.  Setelah berusaha memperjuangkan hidupnya akibat kecelakaan kemarin sore, takdir tetap berkata lain.

Tak terasa, kereta pun perlahan berhenti.  Aku telah sampai.  Segera ku turun dan mencari mushola di stasiun ini.  Langsung ku ambil air wudhu dan ku laksanakan sholat ghoib.  Hanya ini yang bisa ku lakukan..Selamat jalan Pak Umar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun