Mohon tunggu...
Aria A. Ananta
Aria A. Ananta Mohon Tunggu... Freelancer - Sahabat yang Mengenyangkan

Ketemu di dunia nyata njih

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah Terakhir (Remake)

8 Januari 2016   17:10 Diperbarui: 8 Januari 2016   17:41 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Yang saya salut dari beliau apa ?! Di keadaanya yang sedang dirundung masalah pun, beliau masih memikirkan mushola ini.  Dan di kalimat terakhirnya, salam untuk anak – anak ya pak.  Itu yang membuat saya begitu bergetar membaca pesan singkat beliau!” Lanjut Pak Abdullah.

“Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh pak” Jawab aku dan teman – teman ku lirih sambil menunduk menahan agar air mata ini tak mengucur turun ke bumi.

“Dan dari pesan singkat beliau selanjutnya, beliau berpesan kepada saya untuk segera membentuk semacam kelompok muda - mudi muslim yang sedari dulu sudah beliau ingin – inginkan.  Tidak hanya dari anak – anak yang sering ikut tadarus-an.  Kalau bisa semua yang ada di desa ini dikumpulkan dan di bentuk perkumpulan itu.  Nantinya akan dibawahi langsung oleh kami para penasehat desa. Bagaimana ? setuju ? Jangan hanya bersedih menghadapi kenyataan yang memang harus kita hadapi, ayo semangat !” timbal Pak Abdullah

“Ya paaak ! InsyaAllah kami siap.” Jawab kami serentak, mengiyakan apa pesan dari Pak Umar yang memang sudah kami anggap seperti ayah sendiri.

“Yaah..Bagus nangis ! hahaha, nggak malu sama ayah tuh“ celetuk salah satu temanku.

“ih enggak yo, aku ngantuk ini.“ balas Bagus sambil mengusap kedua matanya.

Ya, Bagus adalah anak pertama dari Pak Abdullah.  Umurnya 2 tahun lebih tua dari aku.  Adiknya yang juga seorang laki – laki dan masih duduk di bangku SMP, juga sering ikut sholat jamaah di mushola ini.  Begitu juga dengan maghrib ini.  Makanya dia cukup tersipu malu saat diceletuk demikian oleh salah seorang temanku.

“haha gengsi niih” tambahku

Bagus yang tidak mau mengambil banyak tindakan, langsung mencubit kecil pinggang kanan ku. Aww, sakit !

“Sudah sudaaah.  Nah sekarang kita tunjuk satu orang buat jadi ketua nya ya.  Oiya hampir lupa, besok pagi jam 10 kita ke kota buat menjenguk Pak Umar.  Sekalian kita bawa kabar gembira tentang perkumpulan baru ini.  Pasti beliau akan senang sekali” Lanjut Pak Abdullah

Diskusi tentang siapa saja calon ketua perkumpulan ini pun dimulai.  Tak kusangka nama ku masuk dalam tiga besar kandidat yang dipilih oleh warga desaku.  Dan yang lebih mengejutkan lagi, pilihan warga desa jatuh padaku.  Mengapa ? Menapakkan kaki di desa ini saja, aku jarang sekali.  Lebih – lebih aku merasa ilmu agama ku masih jauh kurang dibandingkan dengan teman – temanku.  Aku yang merasa kurang pantas, berusaha memberi pengertian kepada semua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun