"Begitu tulus Papa. Secara hukum negara, dengan alasan tertentu kehamilan karena pemerkosaan sebenarnya bisa saja digugurkan. Tapi Papa tidak membolehkan. Papa bilang biarlah janin dalam perut mama itu terus tumbuh. Kelak akan ia sayangi layaknya darah daging sendiri. Janin itu suci, prilaku pemerkosa itu lah yang haram. Kami akhirnya menikah dua bulan setelah kejadian itu. Papa bersikeras ingin mama melahirkan dalam keadaan bersuami. Meskipun ada perbedaan pendapat secara agama mengenai boleh atau tidaknya pernikahan itu."
Dadaku sesak mendengar kata-kata Mama. Aku telah berprasangka buruk dan berkata-kata kasar pada Papa yang ternyata adalah laki-laki mulia. Laki-laki yang membiarkan aku tetap terlahir ke dunia meski ia punya pilihan untuk membunuhku ketika masih berupa seonggok janin dalam rahim Mama.
Papa juga telah menyayangiku dengan segenap jiwa raganya hingga detik ini. Tapi aku malah berprasangka keji padanya.
Begitu hinanya sikapku. Apakah ini karena aku adalah anak seorang pemerkosa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H