*****
Sejak saat itu segalanya berubah. Aku jadi pemurung. Di sekolah aku menarik diri dari pergaulan.
Setiap bertemu Kori aku berusaha menghindar karena sudah paranoid duluan. Merasa akan di ejek. Padahal dia jelas tidak mengetahui fakta tentang diriku itu. Hanya saja, mental ku sudah terlanjur hancur. Malu karena aku anak haram.
Begitu pun di rumah. Aku yang biasanya selalu heboh dan periang, berubah menjadi pendiam. Aku jadi benci Papa dan Mama. Marah pada mereka.
Aku merasa mereka munafik. Selama ini mereka kulihat sangat taat dan dekat dengan ajaran agama. Mereka selalu menasehatiku untuk tidak pacaran, menjaga diri dari pergaulan bebas, dan menjejaliku dengan berbagai pesan moral lainnya. Namun, mereka sendiri ternyata dulu melakukan hal yang menjijikkan. Berpacaran sampai berzina, hingga akhirmya terpaksa menikah karena Mama terlanjur hamil.
Tiap diajak ngobrol, aku hanya diam. Kalaupun merespon, selalu ketus.
Setelah sekian lama, aku mulai bisa sedikit berdamai dengan hatiku. Rasa marahku pun mulai berkurang pada Mama. Aku sudah mulai bisa bersikap biasa.
Namun tidak pada Papa. Rasa benciku padanya justru makin menggunung. Aku merasa, bahwa kesalahan terbesar ada pada Papa. Karena, biasanya laki-laki lah yang agresif. Laki-laki yang terus menerus menggombali perempuan hingga akhinya terjadi zina.
Mungkin juga karena sesama perempuan, aku lebih bisa memaafkan Mama.
Dari hari ke hari sikap tak acuh serta ketusku pada Papa makin menjadi-jadi. Hatiku merutuknya sebagai orang yang bertanggung jawab menjadi penyebab aku terlahir ke dunia sebagai anak haram.
*****